140. Sepuluh Tahun Lamanya

29 8 1
                                    

"Kita sama-sama memendam luka, untuk menjaga perasaan orang yang dicinta."

R

utinitas kembali berjalan lancar. Melupakan pendakian bersama Bram yang hampir membuat Devit trauma. Perlahan tapi pasti harus disingkirkan. Acha harus memberikan materi dan beberapa ujian kepada muridnya, ia juga tidak melupakan kewajiban seorang ibu. Mengurusi apa yang diinginkan Devit, juga berkunjung setiap bulan ke rumah Sinta atau Dinda. Setelah sebuah undangan datang dari Arga, tak lama berselang satu bulan Devita melangsungkan pernikahannya dengan lelaki pilihan ayahnya.

Kabar yang membuat Acha benapas lega, tersisa tinggal Reina yang terpaksa menyamankan diri terkurung di rumah Sinta dan Mahendra. Sewaktu Acha mengunjungi, raut wajahnya terlihat menyayangkan status Acha yang sudah lima tahun berlalu bersama Devit saja. Menolak ajakan orang-orang agar meninggalkan apartemen penuh kenangan itu. Namun, Acha tetap bertahan menguatkan diri. Menanti bahwa Devid akan pulang ke rumah pertama mereka berdua.

Mungkin, saat Devid datang ia akan terkagum-kagum melihat Devit anaknya sendiri. Apakah Acha akan memercayainya jika benar-benar datang kepadanya? Menjelaskan semua peristiwa dan perjalanan pulang ke Jakarta? Acha akan tetap menerima Devid apa adanya. Seburuk apa pun fisiknya, jika memang kembali pulang pasti Devid merindukannya bukan? Acha harap begitu. Dalam doanya, selalu saja datangkan Devid dalam keadaan apa pun. Tidak peduli jika ia lupa ingatan lagi.

"Gua, udah ngerasain berjuang buat ngembaliin ingatan lo, Dev. Kalaupun kali ini lupa ingatan lagi, percaya gua bakal tetap berjuang," tegas Acha.

Duduk menyendiri, di tempat favorit memandang indahnya lampu jalanan dari lantai atas yang menyala di malam gelap. Angin berembus, memainkan rambut yang sudah ia potong sebahu. Tidak salah bukan merubah penampilan? Hanya mewakili rasa sakit saja, ia tak butuh menggerai rambut indahnya untuk dilihat orang. Yang ia butuhkan, agar semua orang memandangnya berbeda. Mengartikan, dia bukan sendiri, tetapi hanya sedang menunggu.

Kopi hitam yang tak lagi hangat diteguknya pelan, rasa pahit menjalar melalu kerongkongan. Kembali menghirup udara malam yang segar, kali ini ia benar-benar jauh dari keramaian Ibu Kota. Sengaja, agar tidak dikenali oleh orang-orang yang sok peduli dan ingin membantunya karena lama sendiri. Padahal, jika mereka berniat membantu, tolong cari keberadaan Devid di sana. Mungkin dia bisa saja kehabisan uang?

Ah, bukan kehabisan uang. Bukankah semua awak pesawat habis tenggelam? Mungkin lelaki itu tak memiliki uang untuk pulang? Layar ponsel Acha mati total, ia sengaja agar di waktu luangnya tak ada panggilan apa pun. Termasuk dari Devit, anaknya yang sudah terbiasa di dalam kamar ditemani laptop dan beberapa novel di sampingnya. Ya, Devit sudah mencintai novel semenjak Acha mengenalkan beberapa buku novel miliknya. Tentang penulis yang tak ingin menyerah dari kegagalan, sampai menciptakan alur cerita yang rumit.

Lima tahun sudah berlalu, begitu juga kejadian di puncak MT. Guntur. Semuanya benar-benar hilang, tetapi Bram tetap berjuang mencuri hati Acha yang telag dicuri habis oleh Devid. Mengartikan, Devit kecil sekarang sudah mengerti banyak hal. Termasuk masalah keluarga kecilnya, masalah sang ayah yang hilang entah ke mana. Acha yang menjelaskan pelan-pelan ke mana Devid sebenarny. Berakhir Devit tak meminta penjelasan lain.

Devit tahu, Acha susah payah menahan air mata untuk menjelaskan kebenaran. Sepuluh tahun tanpa suami. Menjaga, menghidupi, membesarkan Devit sendiri. Bocah itu sudah pintar merangkai kata, banyak sekali tentang puisi rindu kepada sang ayah yang sayang sekali dianggap orang telah meninggal. Padahal, kebenaran belum juga dibuktikan. Devit memihak kepada Acha, percaya bahwa ayahnya akan datang suatu saat nanti.

"Ma, Devit dipilih jadi perwakilan sekolah buat lomba renang!"

Bak dejavu yang Dinda rasakan. Cucunya pula menjadi Devid dahulu kala. Seorang atlet renang, menyadarkan Acha dari harapannya soal Devid yang berhasil menyelamatkan diri dari pesawat yang jatuh ke pantai. Mendengar kabar baik itu, Acha menyemangati anaknya. Ia tak ada alasan untuk melarang, ia juga menceritakan tentang Devid yang juga atlet renang. Tidak lupa Dinda membanggakan masa lalu anak hilangnya itu.

"Papa kamu juga, dia dari SD udah suka renang. Sampai, malem-malem maksa bukain pintu belakang cuma buat renang!" jelas Dinda.

"Terus, papa suka jadi juara, Oma?" tanya Devit.

Dinda mengelus bahu cucunya itu yang sudah jauh lebih tinggi tubuhnya, wajahnya juga tidak lagi kekanak-kanakan. "Suka, dong!"

Devit mengerutkan keningnya dalam. "Terus di mana piala-piala sama medali juaranya?"

Ah, itu, Dinda mulai bingung harus menjawab apa. Karena semua kenangan masa lalu itu sudah ia buang jauh-jauh. Semenjak Devid hilang ingatan. Beruntung Acha datang tepat Devit masih menanti jawaban darinya. Memotong percakapan, mulai mendiskusikan soal hari ulang tahun Devit yang kesepuluh. Dia adalah anak paling muda di antara anak sebayanya di kelas, mengapa? Karena Acha memang sengaja memasukkan Devit ke sekolah dasar tepat lima tahun usianya.

Sangat jauh berbeda dari anak lain yang masuk umur enam atau tujuh tahun. Tentu saja, Acha percaya anaknya itu bisa mengejar pelajaran dengan baik. Mengingat Devit memang sangat cerdas dari kecil. Di kelas satu SMP ini ada beberapa perubahan, Acha semakin ketat melihat diam-diam riwayat pencarian yang Devit kinjungi lewat internet. Tidak ada yang salah dan Acha bersyukur. Hanya, ia banyak menemukan pencarian soal terjatuhnya pesawat yang Devid tumpangi.

Sore hari ini, Acha pulang cepat dari sekolah. Sambil menunggu Devit pulang ia membaca novel Tentang Kamu karya Tere Liye. Sampai pintu pun terbuka, Devit yang terlihat lelah melepas sepasang kaus kakinya dengan cepat. Melihat Acha duduk di depan televisi ia segera menghampiri, menunduk memberikan ciuman hangat di pipi kanannya. Acha menoleh, melempar senyum manisnya.

"Gimana? Lancar sekolahnya?"

Devit menjawab lesu, "Alhamdulillah, tapi ...."

Acha menoleh, menatapnya penuh tanya. "Tapi apa?"

Devit duduk di samping Acha, masih dengan seragam sekolah dan ranselnya ia simpan ke atas meja televisi. "Kebanyakan temen cewek Devit cari perhatian mulu, kegatelan gitu, Ma! Devit gak suka, gimana dong?"

Acha terbahak. Beruntung, Devid belum datang di kehidupannya dan mendengar keluhan anak lelakinya itu. Jika Devid mendengar, bisa-bisa menyarankan untuk meladeni semua perempuan kegatelan itu! Mungkin Devit juga akan menjadi playboy seperti Devid dulu? Ah, Acha takkan membiarkan itu. Anaknya harus menjadi seseorang yang hanya memiliki satu perempuan dan tak menyakiti perempuan lainnya.

"Kalo mereka ganggu waktu kamu belajar, coba lapor ke BK," saran Acha.

"Ya! Gak gitu juga, Ma, nanti apa kata temen Devit? Masa dideketin cewek aja lapor ke BK," protesnya.

Tuh, 'kan sifat Devit yang satu ini membuat Acha mendengkus sebal. Sudah meminta saran, malah ditolak tak terima.

"Ya udah, terserah kamu mau diapain cewek-cewek itu." Acha siap beranjak pergi, tetapi ia mengingat sesuatu, lalu berkata, "Minggu depan, kamu ultah, kan? Mau dirayain kayak gimana?"

Devit mengembuskan napas kasar, menghempas tubuhnya tiduran di sofa. "Gak usah, Devit bukan anak kecil, Ma."

"Devit ... kamu mau apa?"

"Gak usah," tolak Devit lagi, lalu ia memilih beranjak pergi.

Sebelum tubuh jangkungnya yang sudah melebihi tinggi badan Acha masuk ke dalam kamar, Acha kembali berkata, "Gimana, kalo undang semua temen cewek kamu itu?"

Devit sontak berbalik. "Jangan ngaco, deh, Ma!" komentarnya.

"Haha! Ok." Acha menjeda, lalu kembali melanjutkan, "Kita ke Bandung? Kalo kamu mau, kita bisa naik gunung sekalian?"

Tawaran bagus, tetapi Devit tak bisa. Ia tetap menggeleng lemah. "Devit, gak mau ke mana-mana."

Baiklah, Acha tak bisa memaksa. Toh, yang berulang tahun adalah Devit. Saat Acha bersiap duduk kembali, dari belakang Devit berbalik menatap sedih ibunya. Apakah ia akan terus memendam rasa sakitnya seperti Acha? Setelah hampir sepuluh tahun ini tanpa Devid sosok ayahnya?

"Devit ...."

Acha menoleh. "Apa?"

Devit menggeleng cepat, lalu menutup pintu kamarnya. Bersandar di balik pintu, memejamkan matanya keras-keras. "Devit, mau papa pulang, Ma," batinnya.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang