145. Datang Tanpa Diminta

29 10 2
                                    

"Dia kembali, mengulang masa lalu penuh luka. Melupakan kesalahannya yang hampir menjatuhkan rasa, kesetiaan cinta."

Jadwal pulang yang dipercepat terasa sunyi tanpa pembicaraan. Karena dua insan saling memalingkan pandangannya itu, masih kaku dengan apa yang didengar dan dikatakan tadi malam di tengah lapang bersama lebatnya hujan. Sebuah ungkapan penantian panjang, sepuluh tahun lamanya setia mencinta. Memaksa diri bahwa harapan yang diiingkan pasti tercapai, dengan syarat berjuang.

Kalaupun dua puluh tahun lagi, keduanya rela. Asalkan Tuhan memberikan ujung dari penantian. Mau Devid datang dengan selamat dan sehat atau kabar haru karena Devid sudah meninggal di kejauhan sana tanpa pendamping hidupnya. Namun, sampai sekarang rasanya belum ada juga sebuah tanda, akan terbongkar penantian lama. Apakah berujung kecewa? Memilih menyerah saja?

"Gua mau minta permintaan, Cha."

Suara Bram berdengung, memaksa Acha mendengar ucapan lelaki itu selanjutnya.

"Tanpa lo tau, di setiap malam ibu gua selalu berdoa. Berikan pendamping hidup bagi anaknya, yang terbaik dan akan tetap yang terbaik sampai kapan pun," jelasnya.

Acha tetap diam, maksud dari permintaan Bram apa?

"Gua minta, dari sekarang sampe setahun kemudian. Lo, tentuin pilihan, gua atau masih nunggu Devid lagi?"

Acha menoleh dengan tatapan sinisnya. "Tanpa lo tunggu setaun lagi juga, gua udah nolak lo dari dulu dan sekarang juga, Bram."

Bram tidak bergeming, ia tetap menatap ke depan, lalu Acha melanjutkan, "Lo aja yang bodoh, masih berharap padahal tau perasaan gua buat siapa."

Ya, Bram sudah menyadari kebodohan menanti selama sepuluh tahun tanpa hasil. Apakah ia akan membiarkan ibunya meninggal karena penyakit dan stres memikirkan anak lelaki satu-satunya begitu saja? Lalu berujung Bram yang harus memulai asmara dari mana? Ah, lagi-lagi penyesalan selalu ada di akhir! Semua percuma, hanya menjadi teman dalam sunyi kehidupan Acha.

Karena sampai kapan pun Acha akan tetap menanti. Namun, tidak salah bukan jika Bram mencoba setia satu tahun lagi? Semoga saja kabar meninggalnya Devid datang nanti di pertengahan tahun dan mereka akan menikah? Baik, Bram akan meminta itu kepada Acha. Jika Devid benar-benar meninggal, maka Acha harus menjadi istri sahnya. Tidak lagi menerima alasan apa pun!

Mendengar permintaan Bram barusan Acha bersungut, "Lo, sama aja minta sama Tuhan agar Devid bener-bener meninggal, gitu? Biar lo bisa sama gua, ha!"

Bram yang masih mengemudi tergagap, "B—bukan gitu, Cha, mak—"

"STOP!" pekik Acha, pandangannya menatap jauh keluar jendela. "Kalo Devid datang buat gua, lo harus nikah sama cewek lain, ngerti? Jangan sampe lo alesan ngejaga gua lagi takut Devid hilang entah keberapa kalinya!"

Tidak ada balasan dari Bram, lelaki itu memilih fokus menatap ke depan. Sampai sepanjang jalan yang penuh kesunyian, mobil menepi tepat di seberang apartemen Acha. Tanpa berucap terima kasih atau tawaran untuk masuk, Acha begitu saja keluar. Menyeberangi jalan cepat, berlarian dan hilang masuk ke dalam.

Bram menyandarkan tubuhnya, menghirup dalam udara. Satu tahun yang tersisa, menjadi penentuan apakah Acha akan menjadi milik dia seutuhnya? Salah Bram juga, mengapa ia harus meminta satu tahun? Mengapa tidak selamanya saja menanti Devid sungguhan ke dunia Acha? Ah, sudah terjadi dan Bram harus menelan pahit ucapannya sendiiri.

"Mama?"

"Dev."

Acha memeluk erat anaknya itu, memberikan ciuman dalam di puncak kepalanya lalu duduk berdampingan. Devit melihat sekilat tatapan berkaca-kaca ibunya, tetapi ia tetap diam. Kalaupun masalahnya sangat besar, pasti ibunya akan bercerita. Namun, bukankah Acha sudah bersenang-senang di Bandung? Mengapa membawa raut kesedihan?

Sebentar, di maa oleh-oleh khas Bandung? Mengapa ibunya hanya menjinjing tas tangannya saja? Ah, ya, Devit tidak seharusnya berharap seperti itu. kedatangan Acha dengan selamat juga sudah menenangkan, dirangkulnya sayang sang ibu, lalu memilih tiduran di paha Acha.

Suasana sore itu terasa damai bagi Devit, tetapi tidak bagi Acha. Ia segera memisahkan diri dari anaknya, memilih merendamkan diri di bak mandi. Memejamkan kedua matanya, mencoba relaks. Namun, bayangan Bram dan segala perjuangannya terngiang. Acha mulai dibuat bingung, siapa lelaki yang akan dipilihnya?

Bram yang benar-benar mencintainya atau Devid yang entah di mana sosoknya? Sekali lagi Acha mengatur napas, lalu memilih beranjak membersihkan diri menyusul Devit yang masih berada di depan TV menyala.

"Besok sabtu, ya?" tanya Acha, seraya menuangkan cokelat dingin.

Devit mengangguk. "Aku ada jadwal renang."

Acha menahan tegukan pertama cokelat dinginnya, lalu berkata, "Mama, boleh ikut?"

Devit terbahak. "Gak boleh, Ma ... tanpa sensor kalo nekat ikut!"

"Oh, hahah!"

Keduanya tak mampu menahan tawa, sampai suara bel pintu bergema menghentikan tawanya. Devit yang berjalan, menuju pintu. Siapa gerangan di jam menjelang magrib bertamu? Saat pintu terbuka, Devit menemukan lelaki berjaket hitam, dengan wajah khas blasteran dan pucat! Tanpa menunggu lama, Acha menyusul langkah anaknya.

Hampir saja gelas kaca berisi cokelat dinginnya jatuh ke lantai, Acha menahan amarah. Dia, orang yang meminta Devid datang ke Jerman dengan alasan ada amanah dari ibunya yang sekarat. Padahal sampai sekarang ibunya masih sehat! Untuk apa dia datang? Apakah memberi kabar bahwa Devid telah menemuinya di Jerman?

"Cari siapa, ya, Om?"

Pertanyaan Devit menyadarkan Richard yang seolah berhadapan dengan Devid, saudara tirinya. Bahkan berbedaan keduanya hanya Devit yang terlalu muda saja. Bak kembali ke masa SMA, pikir Richrd.

"Maaf, saya mengganggu waktu kalian," ucap Richard, masih tersisa logat Inggris yang kental.

Acha tetap diam, sedangkan Devit yang sama sekali tidak mengenal Richard mencoba bersikap ramah.

"Ah, gak gangg—"

"Lo, ganggu kehidupan gua selama sepuluh tahun ini!"

Devit menoleh, menatap bingung perkataan ibunya barusan. Berarti lelaki di depannya itu dikenali ibunya? Siapa dia?

"Cha, saya datang dengan niat baik dan sebelumnya, kejadian masa lalu itu sangat tidak diharapkan bagi saya dan ibu saya," jelas Richard.

Acha tersenyum miring, lalu balik badan. "Tutup pintunya, Dev," titahnya.

Devit yang masih bingung dengan keadaan hampir terkalahkan oleh kekuatan Richard yang menahan daun pintu, agar ia bisa masuk. Namun, dengan sekuat tenaga Devit berhasil menutup pintunya rapat. Langkah Acha yang gontai berakhir masuk ke dalam kamar. Ada apa sebenarnya? Siapa gerangan lelaki di luar? Devit terus bertanya-tanya. Sampai malam menjadi akhir berpikir kerasnya.

Menyiapkan baju untuk latihan esok hari, mengikuti jejak lelaki yang tak kunjung datang memberi pelukan. "Nanti, kalo papa dateng. Devit, janji, bakal ngasih kejutan sebagai juara!"

Di samping kamarnya, Acha masih meringkuk manatap kosong ke depan. Menyaksikan bayangan satu persatu masa SMA bersama Richard. Lelaki pintar, dingin dan ia mencintainya dengan sadar. Namun semua pupus karena Richard mencinta Reina sahabat dan saudara tirinya sendiri. Lelaki dengan bola mata biru gelap, sorot mata elang dan pengakhir rasa bahagia dalam kehidupan Acha.

Note : Maaf, ya, aku gak up udah berapa hari, nih. Karena banyak kerjaan di rumah, lepas 7 hari almarhumah dilanjut kakak aku nikah. Langsung pindahan juga ke Karawang, jadi super sibuk hehe.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang