41. Cemburu?

304 35 15
                                    

"Jujur, akan menjadi luka bagi si pendengar. Berbohong, akan menjadi rutinitas selama hidup dan takkan pernah ada ujungnya, jika belum terbongkar."

Acha memainkan tanaman bunga milik Nia, sambil sesekali mengingat kejadian tadi malam, ia mengembuskan napas panjang, mencoba memulai hari yang sudah menjadi kenyataan pahit di hidupnya. Sampai suara bising motor terdengar, menandakan Devid dan Reina datang.

Reina berlari menghampirinya, lalu mulai memantulkan bolanya dengan semangat. Devid dari belakang memutar-mutar kunci motornya di tangan, Acha masih mematung, Devid pun menghampiri.

"Main? Jangan diem mulu, Cha," ujar Devid, tangannya mengelus pelan bahu Acha.

Sudut bibir Acha menyunggingkan seulas senyum. "Gua gak selemah itu!" ketus Acha diakhiri menjitak kepala Devid.

Reina menatap dua temannya itu, Acha menghindar dari tangan Devid yang siap menggelitiki pinggangnya. Namun, entah perasaan apa tiba-tiba muncul, Reina enggan menyaksikan itu semua. Ia masukkan bola ke ring penuh emosi.

Tangannya yang siap melempar kembali bola, terhenti, punggung seseorang menabrak bahunya keras. Karena kedua kaki Reina yang selalu siap, ia tak sampai jatuh, tetapi menahan berat badannya dengan gaya menyamping.

Namun, seseorang yang menabraknya dari samping terbentur keras. Ternyata Acha, Devid dengan cepat membantunya bangun, begitu pula Reina. Dilemparnya bola basket lalu memapah Acha sampai duduk di bangku depan rumah Yogi.

"Aww!" pekik Acha merasakan lutut kirinya tergores, beberapa kerikil masih menempel.

Devid berlutut di depan luka Acha yang sedikit memerah. Ia tiup perlahan agar mengurangi rasa sakitnya. Lagi. Reina merasakan sesuatu yang enggan ia lihat langsung oleh matanya.

'Mereka cuma sahabatan, Rei' batin Reina mencoba memfokuskan akan luka Acha.

"Rei, tolong jaga, Acha, ya, gua bawa kotak P3K dulu!" seru Devid sambil berlari menuju rumahnya.

Reina mengangguk. "Sorry, gua malah ngehindar. Jadinya elo jatoh," ucap Reina merasa bersalah.

"Apaan, sih, ini salah si Kucrut! Main kejar-kejaran lagi," sungut Acha, tangannya menyelipkan sehelai rambut yang lepas dari jepit hitamnya.

Reina terkikik. "Kalian udah kayak orang pacaran tau, gak, Cha?"

Acha mendongak. "Bukan pacaran, Rei, kita sodara jauh yang Tuhan dekatkan lewat status tetanggaan," jelas Acha.

Devid sudah kembali, langsung saja membersihkan luka Acha dengan teliti, pelan tapi pasti. Reina tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah Devid yang baru ia kenal itu, keringat membanjiri dahi, sampai dekat hidungnya.

Alis tebal hitam bertaut dan bibir bawahnya yang sedikit memerah tergigit. Secepat mungkin Devid membersihkan lukanya, hingga Acha mulai membaik dengan olesan alkohol. Setelahnya ditempelkannya plester bergambar pisang kecil, membuat Acha dan Reina tertawa melihatnya.

"Apa? Emang adanya yang ini!" ketus Devid mengulum senyumnya.

Acha mengangguk lalu kedua tangannya mencengkram bahu Devid agar menatapnya. Devid hanya menurut dengan alis yang bertaut.

"Makasih!!" teriak Acha, dengan cepat merangkul Devid.

Devid terkikik, ia membalas pelukan Acha dengan erat. Reina hanya bisa menelan ludahnya kasar, kembali berdiri dan mengambil bola sendirian. Melihat Reina mulai bermain, Devid menghampirinya, kecuali Acha yang hanya bisa menonton saja.

Sedang seru-serunya bermain, sampai Reina lelah dengan cara Devid yang terbilang rumit. Seorang pria tambun dengan kacamata bulat menghentikan permainan bola basket mereka, Reina terkesiap karena yang datang adalah Pak Wawan, pemilik perumahan.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang