"Akhirnya berada di titik Tuhan mempersatukan. Walaupun ada orang yang sakit melihat kebahagiaan."
Pada hari selasa cuaca pagi di bulan Januari sangat cerah tidak biasanya yang selalu mendung atau mungkin, nanti? Entahlah yang penting perlengkapan dan kebutuhan mendaki sudah siap Acha bawa di belakang punggung. Tracking Pole sudah ada digenggaman, kepalanya ditutupi kupluk hitam, sedangkan rambut sebahu masih tergerai indah di belakang.
Jadi, Bram akan menjemputnya sekarang. Ia pun segera meninggalkan kamar kosan, turun ke bawah dan mendapati Ardila sedang bergosip ria dengan bu Siti. Melihat penampilannya yang tidak biasa, Ardila melompat dari tempat duduknya seraya bertanya-tanya mau ke mana gerangan, Acha hanya menjawab ingin meringankan beban saja. Tidak lupa bu Siti mendoakan agar lancar di perjalanan, mobil hitam yang sudah Acha kenal berhenti tepat di seberang gerbang.
Ia memberikan salam lalu melambaikan tangan siap pergi dari sana. Ardila mengubah topik dari membicarakan tetangga sebelah, menjadi Acha yang pacarnya diumpetin mulu. Sampai, mobil hitam itu berjalan lagi hingga hilang tidak terlihat. Di dalam mobil, Acha menyimpan carrier ke jok belakang, sedangkan Bram masih menatap ke depan jalanan.
"Semoga gua bisa tenang nanti di puncak," harap Acha, seraya meregangkan kedua ototnya.
Tatapan Bram tertuju melihat Tracking Pole milik Acha, seketika ia mengingat kembali apa yang dibawanya. "Ada yang ketinggalin! Ke rumah gua dulu, ya," ucap Bram langsung tancap gas.
Acha hanya mengedikkan bahunya. Ternyata rumah Bram tidak sejauh yang Acha kira, mungkin hanya butuh dua puluh menit bisa sampai. Hingga sekarang mobil berwarna hitam masuk ke pekarangan, di saat Bram siap keluar Acha segera mencekal pergelangan tangannya.
"Gua nunggu di sini?"
"Mau masuk?" tanya balik Bram.
Acha berpikir sangat lama. "Ya udah ikut, deh! Gak sopan gua," balasnya seraya membuka pintu.
Bram sedikit ragu, apa yang akan dikatakan ibunya nanti? Ah, tidak penting ia pun segera membawa Acha masuk ke dalam rumahnya, lalu mempersilakan duduk dan berbasa-basi tidak akan diberi minuman atau makanan ringan. Sebelum Bram kembali melanjutkan langkahnya, seorang wanita dengan jilbab menutupi dada datang menyapa. Wajahnya terlihat sangat muda dan cantik sempurna.
Sekarang Acha yang merasa tidak karuan. Pertanyaan datang beruntun, mengingat Bram tidak pernah sekalipun membawa perempuan ke rumah. Mau dibilang banyak pacaranya, tetapi anaknya itu tidak pernah serius. Namun, apakah perempuan dengan kaus putih sesiku yang ditambahi manset agar kedua tangannya tetap tertutup. Ini jawaban lama yang ditunggu-tunggu?
Bram datang membawa Tracking Pole di tangan. "Yuk, takut telat," ajak Bram tidak mempedulikan tatapan ibunya yang bertanya-tanya siapa perempuan di sampingnya.
"Kalian mau ke gunung berdua?" tanya Wina dengan cepat.
"Enggak, kita banyak temannya kok."
Agar tidak menciptakan pertanyaan baru, Bram segera menarik Acha untuk pergi. Padahal, Wina masih ingin bertanya mengapa perempuan mungil itu bisa menaklukan Bram sampai masuk ke rumah.
"Eh, nanti mobil kamu gimana? Bukannya naik kereta?!" teriak Wina, mengingat kepergian anaknya itu.
"Nanti ada yang nganterin!" balas Bram seraya melajukan mobilnya, keluar dari pekarangan rumah lalu klakson pun terdengar menjadi akhir.
Dalam diam, Bram selalu melirik arloji dan merasakan apakah ada notifikasi dari ponselnya? Bahwa Devid sudah menunggu di stasiun atau bahkan, memberitahu bahwa ia kesiangan? Ah, pikiran Bram terus saja ke mana-mana. Hingga di depan mata, kumpulan orang-orang yang bersiap bepergian terlihat jelas, menunggu kereta yang akan membawanya pergi.
Bram menepikan mobilnya di parkiran, membawa carrier miliknya dan milik Acha sekalian. ia terdiam, mematap arloji, lima menit lagi kereta akam sampai dan membawa Acha pergi. Apakah dengan dirinya atau Devid nanti. Setelah menggendong carrier Acha menatap Bram seolah memikirkan sesuatu. Bukankha mereka tinggal masuk ke dalam? Tunggu di gerbong, sampai suara seorang wanita memberitahukan bahwa kereta jurusan Porwokerto akan datang dan peluit pun ditiup.
Namun, yang didapati Bram seolah menunggu seseorang dan Acha hanya bisa diam saja di bawah sinar matahari yang baru keluar. Mereka masih di parkiran, entah menunggu apa. Hingga, suara wanita yang dinantikan terdengar.
"Nungguin apaan, sih? Yuk, cabut sebelum keretanya jalan!" ajak Acha, seraya berjalan mendahului Bram yang melangkahkan kaki dengan ragu.
Benar saja, apa yang ditakutkan terjadi. Bram memaki di dalam hatinya. Sialan, Devid tidak datang di waktu yang tepat. Jadi, ia akan berbalik sekarang? Sebelum kereta benar-benar meninggalkan? Sebuah tangan menarik Bram sampai berjalan cepat ke depan. Kedua tangan Bram mengepal, ia akan kembali menghabisi Devid, setelah kepulangan mereka nanti.
Sebelum Bram melangkahkan kaki ke pintu kereta, ia menahan Acha untuk diam menunggu satu menit sebelum keberangkatan. Di sana, Acha masih menahan keingintahuannya. Sampai, orang yang ditunggu datang berlarian, tanpa Acha sadari, bahwa itu lelaki yang dihindari. Karena sekarang, waktunya ia mengistirahatkan pikiran, menatap pemandangan di atas puncak ketinggian. Namun, apa yang Bram tadi tunggu? Adalah orang itu?
Acha menatap Bram menunggu penjelasan. Tubuh tegap terbalut jaket hiking dipadukan celana cargo hitam sudah ada di depan keduanya. Napasnya tersenggal karena berlarian dari arah parkiran. Hingga tatapan Acha dan Devid bertemu, lalu Bram menepuk bahu teman yang datang di ujung kematian.
"Lo dateng! Gua titip Acha, ya."
Seketika, bola mata Acha terbelalak, titip? Apa maksud Bram? Anggukan kecil dari Devid juga menjadi ribuan pertanyaan yang ingin Acha lontarkan, tetapi piluit sudah ditiup menandakan kereta siap berangkat. Bram segera menyerahkan Tracking Pole miliknya kepada Devid yang untungnya tidak membawa, sedangkan carrier yang dibawanya tidak lagi berfungsi. Sekarang yang akan menemani Acha adalah Devid bukan dirinya.
Ada rasa kehilangan yang teramat menyakitkan. Tadi, ia memaki karena kedatangan Devid yang lama dan dipastikan takkan datang. Namun, yang dirasakan sekarang adalah penyesalan. Bukankah Acha ingin pergi dengan dirinya? Bukan dengan Devid? Bram menahan sakit, ia tersenyum kecil mengiringi kereta yang akan berjalan melaju.
Selanjutnya, Devid dengan canggung mengajak Acha masuk ke pintu kereta sebelum benar-benar berjalan meninggalkan Ibu Kota. Acha masih bingung apa yang barusan terjadi, bayangannya ditemani Bram sirna begitu saja, lelaki yang selalu ada untuknya kala kekecewaan terasa, berjalan pelan sambil melambaikan tangan menuju parkiran, sedangkan kereta yang kini membawanya, berjalan cepat meninggalkan suara keras khasnya.
Mereka mendapati tempat duduk, Acha di sebelah jendela kereta. Ia dibantu Devid menyimpan carrier beratnya. Jadi, dia akan menghabiskan waktu dengan lelaki itu? Lelaki yang menciptakaan beban sampai ia harus menenangkan diri? Namun, mengapa harus Devid? Tubuh yang mengeluarkan parfum harum khas itu sudah duduk tenang, menghirup udara panjang.
Acha melirik kaku menatap wajah Devid dari samping. Masih sama, hidungnya seolah menantang ke depan, rahangnya terlihat bersih tegas dan alis tebal hitamnya, tidak lupa bulu mata yang berkedip-kedip entah kapan sudah menatapnya langsung sekarang. Acha tersentak, lalu memalingkan wajahnya melihat pemandangan luar.
Sebaliknya, Devid menahan senyum, ia tahu Acha tidak memercayainya sebagai orang yanga akan menemaninya sampai puncak gunung Prau. Katanya, dia ingin menenangkan diri dari beban yang diciptakan oleh seorang manusia, yaitu dia sendiri. Pejalanan terasa melambat, seolah memberikan jeda bagi mereka berdua untuk saling menyapa. Namun, sampai kereta berhenti bergerak belum juga ada yang membuka percakapan.
Alasannya hanya tidak memercayai bisa bersama lagi. Devid membawa Acha naik bus tujuan Wonosobo. Ia pernah menaklukan puncak Prau dan masih ingat harus ke mana ia sekarang. Kembali duduk manis di atas bangku yang terasa keras, Acha tetap berada di samping jendela, itu adalah kebiasaannya dan akan selalu begitu. Turun dari bus mereka melanjutkan naik microbus menuju Dieng.
Cieee akhirnya .... Ehem, tapi kasian juga si Bram, ya 😢
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Teen FictionPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...