105. Kematian Selalu Ditakutkan

102 24 4
                                    

"Pernikahan berjalan dengan lancar, kebahagiaan sudah terasa dan dilewati bersama. Namun, jika kematian yang datang, bagaimana keadaan selanjutnya?"

Cuti yang diharapkan telah dilewati oleh Acha dan Devid. Siangnya mereka memilih liburan lagi, menggantikan bulan madu yang terlupakan. Dari pandangan orang lain mereka bisa dibilang masih dalam zona pacaran, bukan sudah halal untuk bergenggaman. Tentu saja, umur mereka baru menginjak 20 tahun masa seharusnya fokus di bangku perkuliahan. Namun, nyatanya sudah berpikir keras demi masa depan mereka bersama. Terutama bagi Devid, ia diam-diam mengukir harapan dan dihitung-hitung berapa pengeluarannya. Tanpa sepengetahuan Acha pula, ia mulai menginvestasi ke beberapa perusahaan.

Devid takut, sewaktu-waktu ada masalah yang membuatnya tidak bisa bekerja lagi. Memang, gaji Acha sebagai ketua perpustakaan masih di bawah gaji miliknya, tetapi masih bisa layak menghidupi keduanya. Termasuk bayaran listrik. Untungnya soal apartemen dan kendaraan tidak kendala bayaran karena mereka tinggal membayar pajak saja, tidak dengan cicilan disebabkan kredit. Pagi ini, Devid mengajak Acha ke puncak. Mereka ingin menghirup udara segar yang biasanya hanya melakukan pekerjaan tidak hentinya.

Di hari libur Acha memang ada di apartemen, tetapi kembali menyibukkan diri membereskan rumah sampai tidak ada debu yang tertinggal, sedangkan Devid setiap harinya selalu ada jadwal manggung. Mereka sama-sama dengan ikhlas tanpa tekanan melakukan, demi malaikat kecil yang mereka nantikan. Jadi, Acha resmi akan menjadi calon ibu di usia mudanya. Mengetahui niat yang ditunggu-tunggu, Devid tidak bisa terpisahkan menggenggam jemarinya. Kadang, tanpa sadar mengelus pelan perut Acha yang rata, lalu mereka kembali tertawa.

"Ngakak, lu elus apaan!" seru Acha, waktu lalu.

Devid membalas, "Dede bayi yang belum jadi, haha."

Udara dingin menerpa keduanya. Pemandangan yang terlihat adalah kendaraan yang beranjak pergi seperti siput, terlalu lamban karena macet. Setelah menenangkan pikiran sekejap, mereka pergi menuju warung kecil. Menyediakan beberapa cemilan khas di puncak. Seperti jagung bakar, steak panggang dan ubi-ubian. Devid pun membawa dua jagung yang telah dibakar, menikmati kebersamaan yang langka dilakukan.

"Semoga niat yang kita mau cepat Allah kabulkan, Aamiin!" seru Devid, sambil menarik hidung Acha gemas.

Dibalasnya dengan senyum haru. "Semoga aja, nanti kira-kira mau cewek apa cowok? Tapi, gua pengennya cewek, sih!"

"Dih, nanya jawab sendiri lagi!" Tangannya mrndarat di atas rambut Acha, lalu seperti biasa mengubek-ubek dengan wajah tersenyum ceria. "Gua pengen cowok, biar bisa jaga lo."

Anehnya, Acha merasa ucapan Devid seperti pesan yang harus diingat. Namun, ia menggeleng cepat. "Cewek, dong! Manis, imut, kalo cowok entar bobrok kek lo!" tolak Acha, seolah ia sendiri menjadi penentu anaknya nanti.

Kedua tangan Devid menarik tubuh mungil Acha untuk mendekat, kembali memeluk wanitanya itu, lalu menekuk dagunya di bahu Acha. "Cowok aja, nanti namanya Devid juga, kan seru! Double Devid!"

Kepala Acha menggeleng tegas. "Entar gua susah manggil kalian!" tegas Acha.

Devid mulai mendekati keningnya Acha, tentu saja untuk digigit. Namun, dengan cepat Acha menghindar menggantikan dengan jagung bakarnya yang sudah menempel di bibir Devid.

"Pengen cowok, namanya Devid!" Tatapan Devid sangat serius, tetapi Acha menganggapnya hanya candaan saja.

"Iyain, ah! Cerewet ...."

Senyum lebar terukir, lalu Devid mengajak Acha untuk pergi dari sana. Masih ada banyak tempat yang belum mereka singgahi. Termasuk tempat yang biasa Devid merenung memendam luka. Sebuah danau tidak jauh dari sana. Masih memeluk erat pinggang lelaki paling beruntung dimilikinya, motor yang dulu terparkir di dalam rumah Hamdan sekarang membawa mereka mengelilingi Jakarta. Menatap keindahan dan hiruk pikuk kenyataan, pedagang kaki lima, pedagang asongan dan tukang ngamen bersorak ramai.

Sesekali Acha meminta berhenti, menemukan objek untuk mengabadikan momen mereka di hari cuti itu. Seperti biasa, dengan gaya konyol Devid berpose, tanpa harus berlama-lama kembali lagi mengelilingi Ibu Kota. Masuk ke gedung bersejarah. Sampai, ke Masjid Istiklal. Solat Duhur berjamaah, berdoa mengingat niat baik yang dulu ditunda oleh mereka. Lanjut lagi, menuju danau akhir perjalanan.

Suasana di sana sangat tentram. Cocok untuk menentramkan hati yang terluka. Pantas saja menjadi tempat favorit bagi Devid menyendiri. Mereka pun duduk di salah satu bangku yang terbuat dari besi khusus pengunjung. Menatap riak air danau yang tenang, sebuah perahu kecil yang bisa memuat tiga orang membuat Acha meminta ingin menaikinya. Awalnya Devid ragu karena tidak pernah sekali pun menyentuh benda itu, tetapi kali ini Acha memaksa. Jadi, ia hanya bisa memurut saja.

"Gua paling ahli ngedayung. Jadi, lu kagak usah gemetar!" Acha melihat rasa khawatir yang tersirat, tetapi Devid tidak menanggapi.

Keduanya berhasil duduk manis menyeimbangkan diri, lalu Acha segera mendayung perahunya. Bohong apa yang Acha katakan, Devid menertawakan kepolosan Acha, lalu merebut dayungnya. Acha tidak kuat akan beban yang dibawanya, bukan tidak bisa mendayung. Sekarang, mereka tepat berada di tengah-tengah danau,  dengan mudah menatap sekeliling keadaan sisi danau. Hijau, penuh rumput setinggi lutut, sedangkan di arah lain pepohonan pinus menjulang tinggi.

Hanya berdua dan merasakan ketenteraman, di saat itu pula Acha mengubah cara duduknya, sekarang ia berhadapan langsung dengan Devid. Di mana kedua tangan lelaki itu menggenggam dayung. Acha segera merebutnya lalu menyimpan di samping keduanya. Matanya berkaca-kaca, Devid tahu Acha tidak bisa memercayai kebersamaan mereka sekarang.

"Gua bersyukur, lo tetep ada buat gua sampe sekarang," lirih Acha, mencoba menahan air matanya.

Devid menarik kedua tangan itu, menggenggam jemari mungil yang terasa dingin. "Gua lebih bersyukur, lo masih nerima gua."

Acha menggeleng lemah. "Gak tau mau ngomong apalagi, gua sayang sama lo!" jerit Acha, lalu memeluk Devid dengan erat.

Devid sangat menyayangi Acha juga. Ia membalas pelukan istri yang diharapkan cepat mengandung si malaikat kecil. Mereka mengurai pelukannya dan Acha, mencipratkan air danau ke wajah Devid. Mereka kembali tertawa lagi, bersorak seperti orang gila karena merasa hanya mereka berdua yang tertawa bahagia di danau itu. Sayangnya Devid tidak membawa gitarnya. Jadi, mereka hanya bersenandung seraya mendekati daratan.

Uluran tangan dari Devid disambut oleh Acha dengan senang. Mereka kembali duduk-duduk santai, tiba-tiba suara perut yang ingin diisi terdengar, berasal dari Acha. Secepat mungkin Devid mengajaknya pulang. Namun, stok bulanan sudah habis di lemari es. Jadi, mereka harus berbelanja dahulu! Apa yang tidak mungkin? Devid berseru mengikuti alaur kehidupannya yang sangat membahagiakan. Acha pun sama, ia menikmati jalanan lenggang menuju tujuan, tertawa merasakan angin menerpa.

Tepat di depan tempat belanja, Devid segera menelusupkan tangan kanannya menarik pinggang Acha. Masuk ke dalam, merasakan pendingin udara menerpa lalu membawa keranjang barang seraya melewati beberapa makanan ringan. Pasangan muda yang siap menunggu calon buah hati, masih terlihat polos-polosnya dengan lelucon yang biasa Devid berikan. Senyuman mungil menahan tawa, tangis pecah karena terharu akan kebersamaan bersama.

Dalam diam, di benak masing-masing selalu ada ketakutan. Apakah semuanya akan seperti itu selalu? Bersama takkan terpisahkan lagi? Mereka tidak seutuhnya tertawa dalam bahagia. Selalu saja, sesuatu mengingatkan, ada hari di mana semuanya terasa imajinasi. Sebuah kematian, akhir dari segalanya. Namun, awal bertemu dengan Sang Pencipta, kekal di sisi-Nya.

Semoga cepet dapet momongan 😁

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang