"Bertahan demi malaikat kecil di pangkuan, merintih hanya meluapkan rasa rindu yang mendalam. Percayalah, akan ada masa di mana kesabaran mendapat kejutan membahagiakan."
Berulang kali sudah ditegaskan, menjauhlah dan anggap semuanya tak pernah sangat dekat. Jangan menganggap asing, hanya menjaga jarak saja, tahu di mana harus hadir dan tidak. Karena semua orang takkan beranggapan sama, bahwa dia adalah teman biasa bukan teman spesial, setiap hari diundang! Acha telah menjelaskan ucapan anaknya kepada Bram. Terbukti, Devit sangat keberatan akan keberadaan lelaki itu, apalagi di mata teman-temannya sendiri. Terasa aneh, jika bukan seorang papa, lalu siapa? Selingkuhan ibunya?
Menduga dan salah sangka. Setelah mendengar Acha meminta untuk menjauh dahulu, memberikan ruang untuk Devit bahwa Bram bukan papa ataupun pacar ibunya, menggantikan lelaki yang seharusnya dipanggil papa. Namun, tidak datang lagi entah alasan apa. Bram pasrah dengan keadaan, ia juga dapat merasakan bagaimana Devit ditanya oleh beberapa temannya, sedangkan ia sendiri masih ragu untuk menjawab. Esok sampai entah kapan berakhirnya, ia akan menuruti sosok mungil wanita dengan wajah masam menatap lurus ke depan.
"Gua bakal lakuin apa yang lo minta, tapi kalo ada apa-apa hubungi gua," jelas Bram, masih berdiri di samping Acha.
"Kita cuma teman, Bram gak lebih. Jadi, jangan pernah lo merasa bertanggung jawab." Acha menoleh. "Gua sayang sama, Devit, gua kasian sama anak gua. Lo tau, kan? Gimana polosnya dia jawab pertanyaan temennya? Kebayang?"
Bram mengangguk. "Sorry, selama ini gua ganggu kehidupan lo terus," putusnya lalu memilih melangkahkan kakinya pergi.
Terasa sesak, frustasi dan menyesal. Acha masuk ke dalam apartemen, membanting kasar pintunya. Tersungkur lelah menghadapi segalanya. Ke mana ia harus menyandarkan kepala dengan tangisan kerinduan? Kepada siapa ia bercerita tentang luka? Selain kepada dirinya sendiri. Menatap kosong dinding kamar, masih tertata rapi pula baju yang ditinggalkan oleh lelaki tak memiliki perasaan. Kembali hilang! Tak bosankah menghindar? Kapan perjuangan dihargai?
Lagi, menjerit memanggil nama yang diharapkan datang. Takkan pernah lelehan air matanya berhenti, langkah Acha gontai menuju kamar mandi. Untuk meredakan emosi, ia hanya mampu merendam tubuh kakunya di dalam air dingin. Tanpa busa dengan harum bunga, termenung. Di saat masa sulit itu, kadang terbesit ingin menancapkan pisau dapur yang tajam. Menusuk perlahan urat nadi, hingga berakhir terpekik merasakan sakit. Namun, terbayang lagi, sosok bocah yang berlarian memanggilnya sayang.
"Gak mungkin juga, Dev ... gua cari lo ke tempat kejadian. Lautannya luas, gua gak sanggup cari dalam beberapa hari ataupun bulan."
Kenangan pahit itu datang membayang, menegaskan jangan pergi ke Jerman, tapi semua sirna. Janjinya pula tak ditepati hingga kini. Sampai Devit sudah berusia lima tahun.
"Gua yang akan ada di samping lo waktu persalinan, gua yang akan azanin anak kita, pegang janji gua."
Selanjutnya, Devid meremas kedua bahu Acha, lalu mencium kening Acha dalam dan lama, sambil memejamkan kedua matanya. "Gua janji gak lama," putusnya.
Acha berteriak, membanting apa pun yang bisa ia gapai ke dinding. Menyumpahi janji sialan di akhir pertemuan. "Lo tau bullshit, ha! Lo itu gak pernah tepatin janji, DEVID!"
Selanjutnya, Acha memilih sadar akan kenyataan ia segera melepas helai benang di tubuhnya. Mengganti dengan baju mandi, keluar penuh tatapan kosong lalu masuk ke dalam kamar. Ada banyak ingatan, tawa saat awal kepindahan. Berbagi cerita, larangan saat ibu hamil, sampai ocehan manja sosok Devid. Acha menarik salah satu baju tidurnya, di samping lipatan baju yang tertata rapi ada barisan baju lelaki lama tak dipakai lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Fiksi RemajaPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...