102. Mendidik?

115 22 15
                                    

"Angkat bicara! Sebelum ketidakadilan menindasmu dalam-dalam."

Ketakutan itu datang. Menyergap waktu yang tadinya dikira hanya untuk tertawa lebar. Mengulang lagi kenangan masa lampau, saling bertukar salinan kehidupan tanpa orang yang diinginkan. Segalanya sirna, kala sirene polisi mendekati rumah petakan yang ditempati seorang pemuda, tanpa ibu dan bapak yang telah pergi untuk selamanya. Kompleks yang biasa sepi waktu malam karena hawa dingin menusuk, enggan keluar lama-lama.

Kini, beberapa penghuninya mulai keluar, melongok mengapa malam damai tanpa hujan terdengar gemuruh ketakutan? Tidak ada suara letusan mengintrupsi bahwa pelaku lari. Semuanya aman dan secara kekeluargaan. Hanya saja, si pelapor yang tanpa pikir panjang mencari sang anak dengan cara demikian. Lewat GPS dan sang polisi yang berhasil meringkus keduanya masuk ke dalam mobil. Berangkat menuju Ibu Kota, meninggalkan kota Bandung yang damai dan tentram.

Dari balik jendela, pemuda berambut gondrong itu hanya mampu menatap kepergian iringan dua mobil polisi dan satu mobil hitam tingkat kelas atas. Di dalamya, ia sempat melihat wanita dengan selendang hitam menutup kepala. Dia adalah Sinta, duduk di samping kemudi, menunggu polisi membawa anaknya. Tatapan pemuda itu beralih, tertuju kepada pengemudi. Arga ada di sana, tersenyum miring atas keberhasilan menemukan Acha dan orang yang menculik calon istrinya.

Setelah iring-iringan mobil itu pergi, menyisakan motor Devid yang terparkir di tengah rumah, rasanya ia membisu tak mampu berucap apa pun. Barusan, empat polisi masuk seolah menggerebek buronan narkotika. Menyodongkon pistol kebanggaan, lalu salah satunya menatap Acha tajam, sambil menyamakan gambar di ponsel. Ternyata, bukan buronan narkoba, hanya manusia yang lari dari kenyataan, ditangkap malam itu pula.

Di mana, Devid dan Hamdan menyiapkan kamar hanya untuk Acha, sedangkan mereka berdua siap begadang di depan televisi yang entah menyiarkan sinetron apa. Karena mereka akan banyak bercerita, tentang memainkan kakak kelas waktu lalu. Mendekati mantan, ancang-ancang pinjam mobil barunya. Ah, rasanya Hamdan seolah bermimpi. Baru juga mereka siap berpisah siap tidur, tiba-tiba pintu depan didobrak.

"Ada juga, ya, orang tua kek gitu. Ngekang, protektif, sensitif, lebay. Anjir!" Hamdan meneruskan langkahnya, mendapati kamar miliknya yang siap dijadikan tempat tidur Acha.

Semua masih aman, belum disentuh oleh siapa pun kecuali dirinya. Di luar sana, mobil polisi masih menyalakan sirenenya. Padahal untuk apa? Toh, yang dicari dan ketemu bukan buronan! Mungkin, ingin banyak drama? Sesuai pemintaan nyonya Sinta? Ah, rasanya benar-benar tidak dapat dipercaya. Devid dan Acha duduk berdampingan, untungnya mereka duduk manis di mobil sedan, bukan khusus tahanan.

Bukan pewangi lemon atau jeruk. Rasanya, membuat perut melilit ingin memuntahkan isinya. Rasa apa? Rasa keringat yang menempel. Tentunya bukan Devid atau Acha pelakunya. Namun, jangan dikatanlah, mereka tetap diam enggan berucap. Sebelum tahu siapa yang berbuat demikian, Acha sudah menebak Sinta dalangnya. Mengingat mobil di belakang, adalah milik Arga.

"Sampe pake ginian segala, ya, nanti masuk ke dalam sel gak, nih?" tanya Devid, sepelan mungkin.

Acha tersenyum kecil, lalu menoleh. "Pasti, dong! Sebagai hukuman lari sama pacarnya sendiri!"

Mereka sama-sama menahan tawa, Devid paling senang saat Acha menjawab dengan konyol. Seperti tidak memilki beban dan itu keinginannya. Sebelah tangannya menarik Acha untuk mendekat, mengingat ada dua polisi duduk di depan mereka Acha menolak. Namun, Devid malah memaksanya, sampai berhasil mengunci Acha di sampingnya dengan erat.

"Dibayar berapa, Pak, berhasil nangkep kita?" tanya Devid, dengan nada bersahabat.

Polisi yang duduk di samping kemudi menoleh. "Kurang tahu, saya hanya menjalankan tugas saja," balasnya, tanpa senyuman.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang