"Kita tak ingin semua terjadi, tetapi memang inilah skenario Tuhan telah mempertemukan."
Minggu telah berlalu, Acha masih mendapatkan nilai tertinggi di kelasnya. Namun, Firman yang tersingkarkan menjadi peringkat ketiga, sedangkan Richard berada di bawah Acha. Devid mengetahui, ia sangat bangga memiliki seseorang yang mementingkan pendidikan, melupakan sejenak permasalahan keluarga. Sayangnya, Sinta tak memberikan penghargaan bagi anaknya, ia tak peduli. Hanya satu, pekerjaan yang dicintai.
Anehnya lagi, Acha semakin semangat mendekati Richard lewat beberapa novelnya yang memiliki tiga bahasa. Reina pula sering bermain bersama hingga kini mereka dikenal empat sekawan. Yang selalu hadir tak terlewatkan. Devid tetaplah Devid, dia kadang menghilang pergi entah alasan apalagi, hanya untuk mengecek kondisinya yang diam-diam semakin parah, tanpa sepengetahuan Dinda tentunya.
"Makin mepet aja sama si Richard, bukannya udah dilantik jadi ketua basket, ya?" tanya Devid.
Acha mengangguk di sela suapan nasi gorengnya. Semenjak ia memaafkan Devid, mereka kembali bersama. Tanpa mengungkit masalah yang entah siapa terbukti salah.
"Heem, gua suka novelnya, kok, jadi pengen beli. Tapi ... di mana coba?" tanya balik Acha.
"Kata Reina, kalian banyak kesamaan, kok bisa, ya?" Devid menggigit sendoknya.
Acha mendongak. "Kecuali main basket, gua gak terlalu. Katanya dia suka karena ayahnya, kalo tentang sastra ibunya guru Bahasa di salah satu SMP Malaysia," jelas Acha mengulang penuturan Richard.
Devid mengangguk, tangannya memainkan helaian rambut Acha yang lepas dari jepitannya.
"Jangan deket-deket," lirih Devid.
Acha meletakkan sendok dan mengerutkan keningnya. "Semua orang pada nyangka, lo pacaran sanma Richard, sedangkan gua sama Reina. Mana ada coba? Walaupun gua sekarang lagi gak pacaran—"
"Lo mau maksa Richard ngejauh gitu? Kayak kak Alex, hah?" potong Acha, matanya menajam.
Devid menegakkan tubuhnya. "Ya ... gua gak nyalahin lo, sih, seenggaknya bikin Reina deket banget ama si Richard aja," balas Devid.
Acha tertawa. "Hahaha, elu itu aneh, ya, Dev! Aneh banget, serius!" ketus Acha. "Kenapa? Lo gak suka gua deket ama, Richard, 'kan? Biar gua sendirian! Iya, 'kan?!"
Napas Devid memburu, ia tak suka dengan keadaan seolah memojokkannya dan tak mampu menjawab pertanyaan Acha, yang sama.
"Gua takut lo sakit hati, dari tatapan Richard dia kayak risi lo deket mulu."
Penjelasan Devid yang membuat Acha sakit hati, seolah dirinya paling tidak pernah serasi dengan makhluk Tuhan yang berupa lelaki. Acha bangkit dari duduknya, Dinda sedang mengantarkan pesanan membuatnya bebas meneriki Devid di rumahnya sendiri.
"Gua cape, Dev, stop ngurusin hidup gua. Dan, gua gak bakal lupa tentang penjanjian kita, gak bakal pacaran kok, santai aja," terang Acha dengan napas tersenggal-senggal.
"Jangan merasa terbebani dengan nasehat bokap gua buat menjaga anak tak diinginkannya, gua udah gede, Dev. Lo bukan siapa-siapa, cuma tetangga!"
Cuma tetangga. Kata terakhir, membuat kepala Devid terasa berputar, ia ingin meneriaki Acha detik itu pula. Namun, ia tak bisa, diam adalah jawaban. Bersabar adalah tujuan. Ia pun bangkit, mendekati Acha yang mengepalkan tangannya.
"Tetangga? Ok, lo lebih memilih orang yang baru di kehidupan lo?" Bola mata Devid berkaca-kaca. "Gua gak bakal peduli lagi, tapi ... gua gak bisa, Cha," lirihnya.
Acha membatu, ia tak bisa berkata apa-apa. Ia lelah, pusing, semua begitu saja memasuki pikirannya. Sampai, kakinya memilih mundur, berlari, meninggalkan Devid yang masih menunggunya berucap lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Teen FictionPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...