55. Pameran Tahunan

242 35 0
                                    

"Sebuah permainan. Namun, tak salah mencobanya, 'kan? Hanya ingin merasakan keanehan."

"Gua pulang dulu, ya, ada urusan. Kalian duluan aja," ujar Devid sambil menepikan motornya di samping mobil Richard.

Reina mendelik. "Mau ke mana lagi, Dev? Banyak banget alesan! Kali ini aja kita barengan jalan," omelnya.

Devid melirik Acha, kentara masih terlihat marah kepadanya. Saat tatapannya menangkap Richard, emosinya kembali. Namun, dengan sekuat tenaga ia simpan rasa bencinya.

Suara motornya meraung keras, Reina hampir menggapai ranselnya, tetapi dengan cepat Devid menghindar. Motornya melaju kencang, menyisakan Reina yang mengenbuskan napas kasar.

"Gimana? Lo duluan aja sama si Richard, Cha, gua mau panggil sopir."

Penjelasan Reina membuat Acha terbelalak. Ia akan berduaan dengan Richard? Tak segampang itu, secepat mungkin Acha menyambar ponsel Reina, lalu memasukkannya ke dalam saku rok.

"Apa-apaan, balikin!" pinta Reina kesal.

"Elo yang apa-apaan! Udah kita bertiga aja, ngapain bawa sopir, ribet tau!" ketus Acha.

"Euh ... ungtung gua baik!" balas Reina. "Ric, kita langsung ke pamerannya," ajak Reina sambil membuka pintu belakang mobil.

Richard hanya mengangguk mengiyakan. Dalam perjalanan, Reina terus saja berceloteh yang hanya mendapat respon sebuah anggukan saja, membuatnya mati kutu. Sampai lapangan, terlihat pengunjung hilir mudik. Beberapa kebanyakan anak-anak yang bermain.

Mereka pun memilih salah satu bangku dekat permainan bola air. Reina sudah menemukan bilik yang akan mereka kunjungi. Namun, Acha menolaknya untuk diam dulu mengistirahatkan badan sejenak. Karena Reina tak suka hanya diam, ia meninggalkan Richard dan Acha untuk menikmati area bermain lain yang selalu datang di awal tahun saja.

Bukan kesal ditinggalkan dengan Richard berduaan, anehnya Acha menikmati momen itu. Datanglah anak kecil berlarian, lalu menubruk Acha sampai duduk di pangkuan. Gadis yang kurang lebih berumur lima tahun itu terus saja berceloteh panjang, tetapi Richard malah tak suka. Ia merasa teringat kepada ibunya yang ia tinggalkan sedang mengandung anak haram.

Devid membuka pintu perlahan, menampakkan Dinda yang sedang sibuk dengan hiasan kuenya. Langkah Devid semakin mendekat. Tiba-tiba, kepalanya merasakan serangan mendadak, berarti hidungnya akan kembali mimisan dan kerongkongannya yang teramat gatal.

Berlagak kegerahan, Devid berlari menaiki anak tangga, Dinda yang melihatnya hanya geleng-geleng kepala. Napas Devid semakin memburu, dadanya terasa sesak, padahal ia ingin cepat-cepat kembali untuk menyusul teman-temannya.

Tangannya gemetar, perlahan gumpalan merah keluar dari hidung sampai memenuhi kerah baju putihnya. Suara langkah kaki membuat Devid terpaku, sudah dipastikan Dinda akan bertanya detik itu pula, dengan cepat Devid mengunci pintu lalu menyandarkan tubuhnya.

Di balik pintu kamar, Dinda mengetuknya pelan. Namun, tak ada jawaban, tangannya mendorong knop pintu, tetapi terkunci dari dalam.

"Dev ...," panggil Dinda.

Devid menahan napas, darah semakin keluar dengan derasnya. Hingga kini terasa gatal di kerongkongan. Sekuat tenaga, untuk menahan agar tak terdengar oleh Dinda. Sampai suara ibunya hilang, Devid bisa melepas rasa gatalnya dengan berbatuk.

"Cape banget ...," ucap Devid terpatah-patah, lalu membersihkan wajahnya dengan tisu.

Awan hitam terlihat dari jendela kamar, menggantung siap menyemburkan tetesan air yang memburu. Devid mengganti bajunya dengan kaos berwarna abu, lalu memadukannya dengan jaket kulit hitam.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang