150. Tak Kunjung Datang

33 9 0
                                    

"Padahal yang selalu dipanjatkan dalam doa adalah dia, mengapa Tuhan malah mempertemukan dengan manusia yang tak diharapkan datang?"

Kedatangan Richard yang tak diharapkan menjadikan hari sabtu, sangat membosankan bagi Devit. Terpaksa anak itu mengikuti perintah ibunya agar tidak keluar dari apartemen. Alasannya, tentu saja karena Richard, Acha takut lelaki itu akan mencelakai orang satu-satunya yang masih bertahan di dalam genggaman. Jangan biarkan Devit menjadi korban selanjutnya.

Padahal siapa juga yang mau Devid hilang sampai sepuluh tahun tak kunjung datang, Richard juga merasa terpukul. Undangannya datang ke Jerman bukan berarti ingin menghancurkan kebahagiaan Acha dan Devid dengan cara melenyapkan salah satunya lewat insiden kecelakaan tak diharapkan itu.

Sama sekali Richard tidak ada sangkut pautnya. Namun, sangat sulit menjelaskan rasa berdukanya kepada Acha. Buktinya kedatangan Richard menjadi pertemuan yang wajib dihindari. Tak jauh dari hunian Acha, Richard masih memandang lobi apartemen memastikan dua orang yang barusan ditemui tidak dapat kabur dengan gampang.

"Udahlah, lagian niat lo cuma mau minta maaf, doang!"

Richard menoleh, menatap kesal wanita di sampingnya itu. "Maaf, Reina. Saya juga harus menjelaskan apa yang ingin ibu saya sampaikan. Sangat penting, makanya saya rela berlama-lama di kafe ini menunggu mereka keluar."

Reina yang menerima permintaan Richard agar menemaninya sampai ke depan apartemen Acha, tersenyum miring. Jika pesan masa lalu sangat penting, mungkin Richard ataupun ibunya pasti memaksakan diri ke Indonesia sebelum sepuluh tahun berlalu, bukan? Jadi, nyatanya apa tujuan lelaki itu?

Hanya Richard dan ibunya saja yang tahu. Almarhum Prabu ayah kandung Devid menitipkan banyak harta di tanah air. Keduanya tak mampu menghabiskan harta itu, tanpa tanda tangan anak kandung yaitu Devid Prabu Androno. Jelas bukan? Tentang uang akan cepat dikejar. Kebenaran bahwa Devid meninggal, akan dengan gampang jatuh kepada Acha atau keturunannya.

Sudah waktunya sepuluh tahun berlalu, Richard harus mengulang permintaan tertundanya. Kali ini tidak ada kata tertunda, apalagi masalah besar lainnya. Reina yang tak tahu apa-apa hanya mengikuti keinginan Richard saja. Sampai langit siang berganti malam, memaksa keduanya beranjak pergi mencari hunian sementara.

"Saya sudah tunangan di Jerman, jangan berharap bahwa saya masih menyukai kamu," terang Richard sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam mobil, meninggalkan Reina yang menatapnya dengan kerutan kening dalam.

Mobil yang Richard kemudikan melaju kencang, Reina bergumam, "Terus gua peduli?"

Ponselnya memanggil nomor Acha. Lima kali panggilan tidak terhubung, Reina mengalihkan panggilannya. Mendengar sapaan dari Devit di ujung sana.

"Tante, lagi dinas di Jakarta. Beruntung kantornya deket apartemen kalian, jadi boleh dong nginep?"

Di seberang sana, Devit terdengar bertanya terlebih dahulu kepada Acha. Namun, ibunya itu sama sekali tidak mengeluarkan suara apa pun.

"Mama kamu baik, Dev?" Suara Reina pura-pura terdengar khawatir.

"Eh, maaf, tan. Mama, lagi gak en—"

"GUA GAK NERIMA LO, REI!"

Reina terdiam membatu. Acha baru saja menolak dirinya yang ingin menginap? Tentu saja dan Reina sangat tidak terima! Siapa Acha? Bukankah apartemen yang ditinggali dari uang Devid? Kekasihnya yang tak kunjung kembali itu? Sebelum Reina membantah, panggilan telepon begitu saja terputus.

"Sialan!" makinya, tatapannya tajam menatap deretan jendela apartemen yang sebagian sudah menghitam tanpa penerang. "Dasar, Janda!"

Di dalam kamar tanpa penerang, Devit keluar mengendap-endap meninggalkan Acha yang semakin menahan erangan tangis. Mengapa harus ditangisi? Devit sama sekali tidak mengerti! Apakah lelaki tadi adalah seseorang di masa lalu yang kelam? Si penghancur keluarga kecilnya?

Devit duduk di atas ranjangnya, besok adalah hari minggu. Apakah ia akan absen dari latihan lagi? Tanpa ia periksa semua pesan di ponselnya saja. Sudah bisa ditebak, pelatih dan teman komunitas renang menanyakan ketidakhadirannya. Devit bingung apa yang harus ia jelaskan? Bahwa ibunya takut ia diculik? Tentu saja sangat memalukan!

"Dev ...."

Panggilan Acha dari kamar sebelah menyadarkan. Devit segera beranjak, memasuki kamar gelap ibunya.

"Mama, mau kamu tidur di sini," pinta Acha.

"Devit, 'kan punya kamar, Ma," balas Devit.

"Kamu denger apa yang mama minta?" sentak Acha membuat Devit menurut berjalan kaku berbaring di belakang punggung Acha.

Dalam kesunyian, tanpa lampu penerang. Suara isakan Acha terdengar, bukan ketakutan yang mengerjap. Namun, iba dan kasian. Devit dengan berani memeluk erat Acha. Berharap ibunya bisa tenang dalam pelukan.

"Dev ...," lirih Acha di sela tangisannya.

"Iya, Ma?"

"Kamu janji gak bakal ninggalin, Mama?"

Devit mengangguk cepat. "Devit akan selalu ada buat, Mama, Devit janji!"

Masih dengan posisi memunggungi, Acha berkata, "Jangan pernah turuti kemauan seseorang, tanpa seizin mama, ngerti?"

Kembali Devit menganggukkan kepalanya. "Dia, saudara tiri papa kamu. Dia, lelaki yang mengundang papa kamu datang ke Jer—"

"MA ...!" Devit memotong ucapan Acha. "Devit, akan selalu ada untuk Mama, Devit janji."

Acha membalikkan tubuhnya, direngkuhnya wajah bak pinang dibelah dua dengan Devid suaminya. "Mama, tau kamu akan menepati janji itu."

Dalam dekapan seorang ibu, Devit tertidur dengan pulas. Melupakan sementara masalah yang datang. Satu persatu menggoda untuk tidak lagi setia, berpaling kepada mereka yang terus mengejar. Meminta kepastian bertahun-tahun rela menjadi teman spesial. Kegelapan menyelimuti, napas keduanya teratur. Dalam hati, Acha selalu memanjatkan doa agar Tuhan kembali mempertemukannya dengan Devid. Kapan pun dan di mana pun.

"Chang, lo masih inget, kan?"

Acha terdiam mematung. Seluruh tubuhnya bak patung, tak mampu bergerak apalagi mulutnya, sedangkan bola matanya menatap tak percaya orang yang ada di depan. Nyata! Jika tangannya bisa terulur, ia akan menyentuh lengan lelaki itu. Apakah bisa digenggam? Ditariknya ke dalam pelukan?

"Kok lu diem mulu, Changcuts! Jangan bilang lu amnesia kayak gua dulu, anjir! Basi tau," oceh lelaki itu.

Penampilannya sangat berbeda. Dari setelan baju, warna kulitnya sampai potongan rambutnya! Hidup di mana selama ini lelaki itu? Apakah tidak pernah merindukan keluarganya? Hanya tingkah konyol dan panggilan sayangnya saja yang tidak berubah dan takkan berubah sampai kapan pun.

"D—dev!" jerit Acha sekuat tenaga, sampai air matanya meluncur bebas tak tertahankan.

Lelaki itu terdiam, tatapannya membalas bola mata kerinduan wanita di depannya. Tak mampu berucap diiringi tawa. Lelaki itu meneteskan air mata kerinduan, ingin memeluk erat tubuh kaku dengan penampilan baru. Rambut sebahu, kantung mata menghitam pertanda selama ini kehidupannya tidak baik-baik saja.

"Lo ke mana aja!" pekik Acha, dadanya terasa sesak. "Lo jahat, jahat!!!"

Lelaki itu tetap diam, sampai Acha tersungkur ke lantai. Menatap sepasang sepatu yang dipakai lelaki itu. "Lo gak mati, lo masih hidup, kan?" Gemetar Acha berkata, ia menoleh mendapati wajah lelakinya masih diam membatu.

"Puas? Berapa kali lo ngilang? Puas liat gua berjuang sendirian, ha!" Kedua tangan Acha mengepal, meninju lantai tanpa tenaga. "Apa salah gua, Dev ... kenapa lo ninggalin gua? Kenapa, DEVID!!!"

"Ma!" sentak Devit.

Acha terbangun, bola matanya mencari-cari. Namun, yang didapati hanya kegelapan di dalam kamar. Kosong, tak ada lelaki yang berdiri kaku di ambang pintu.

"Mama, mimpi buruk?" tanya Devit.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang