"Jika, memang dijodohkan bersama, tenanglah semua akan baik-baik saja."
Waktu berjalan begitu cepatnya. Satu semester menjadi seorang mahasiswa telah dilalui. Dari tugas yang dikerjakan dengan cepat, dosen kiler yang sok benar, sampai gombalan maut terasa hambar menjadi teman menuju impian yang cepat ingin tergapai. Bukan lagi persoalan pribadi, menginjak dewasa diharuskan fokus dengan orang sekitar. Orang tua, sahabat, saudara apalagi kekasih yang menjadi penyemangat, kala orang-orang yang diharapkan mendukung harapan, malah putar balik menolak semua impian.
Termasuk Acha dan Devid. Meskipun dalam status pacaran, mereka pula disibukan akan tugas kuliah dan pekerjaan paruh waktu. Di mana Acha sendiri menjadi guru honorer di salah satu Taman Kanak-kanak yang dekat dengan kosannya, sedangkan Devid masih aktif manggung bersama Devita di beberapa kafe Jakarta. Kadang pula, Acha harus menahan cemburu, mengingat Double D sudah terkenal dan diharapkan selalu bersama, tidak terpecahkan. Bahkan, banyak orang meminta Devid untuk melamar Devita segera.
Bukankah seolah menghilangkan Acha yang nyatanya pacar Devid? Beberapa potret kebersamaan mereka pernah Devid unggah ke media sosial. Tanggapannya sangat di luar dugaan pastinya. Para penggemar menyayangkan, apalagi Devid sudah serasi di atas panggung bersama Devita. Acha sendiri? Entah datang dari mana tiba-tiba menghebohkan jagat maya, pikir semua netizen. Acha tetaplah menjadi dirinya sendiri, ia sudah berjanji bisa dan akan melewati semua cibiran orang-orang termasuk Sinta.
Arga yang tahu status Acha sekarang menjadi gencar mendekati, sedangkan Bram pelan-pelan menghilang. Walaupun di saat berhadapan dengan Acha, matanya seolah menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Namun, siapa yang tahu isi hati seseorang? Bram masih mengharapkan keinginannya, hingga suatu waktu ia berbicara sendiri. Bahwa ia akan menunggu Acha sampai kapan pun. Ia tahu, semua memang sangat di luar logika, apalagi ibunya yang tahu soal Acha. Perempuan yang satu-satunya berhasil masuk ke dalam rumahnya, sayang, setelah lama menanti ibunya tidak lagi mendapati gadis yang memiliki bibir mungil itu.
Masih di balik layar laptop, kedua tangan Acha menari-nari di atas keyboard. Melancarkan imajinasi yang didapati, menuangkannya menjadi untaian kata berakhir sebuah cerita. Ya, dia berhasil menjadi seorang penulis novel. Dikenal penggemarnya akan genre fiksi remaja. Namun, beginilah nasib seorang penulis, terkenalnya hanya sebatas pembaca novel saja. Kecuali, jika Tuhan memberikan bonus yang spesial. Diangkat menjadi film layar lebar dan itu keinginan Acha.
"Masih sibuk aja, nih?"
Acha menoleh, mendapati sosok Bram yang memainkan kamera DSLR-nya.
"Yoi, enggak ada kerjaan emangnya?" tanya Acha, mengingat Bram akhir-akhir ini terlihat sibuk mengembangkan bakatnya, seperti memotret model majalah atau hanya sekedar membuka jasa pemotretan. Nyatanya, Bram hanya menghindar.
Bram duduk di samping Acha, seraya menopangkan dagunya di meja. "Lagi kosong, lu sendiri mau sampe jam berapa di kafe?"
Diliriknya arloji di tangan, menunjukkan pukul sembilan malam. Jadi, dia asik sendiri di kafe yang mulai sepi? Lalu, mengapa Bram pula ada di sana?
"Lo sendiri ngapain ke sini? Jangan bilang ... mau ketemuan, ya?" tebak Acha. Karena ia sendiri belum pernah melihat Bram jalan dengan perempuan selain dirinya.
Wajah Bram menjadi muram. "Gua gak pernah niat pacaran sama cewek, percuma, kalo udah se-frekuensi, ya, langsung aja!"
Namun, sayang, perempuan yang Bram inginkan sudah menjadi milik orang. Meskipun belum terikat tali pernikahan, tetapi ia juga tidak ada niatan menikung. Toh, dia sendiri yang memperjuangkan agar mereka kembali bersatu.
"Ya udah, semoga lo cepet dapet tuh cewek! Inget." Tatapan mata Acha menajam, dengan seriusnya membuat Bram terdiam. "Undang gua, Bram, kalo perlu gua bawa anak TK buat ramein tuh acara!"
Mereka sama-sama tertawa. Padahal, Bram menahan sakit di dada. Begitu nyatakah apa yang dirasa? Jadi, dia berhasil masuk ke dalam jurang kecewa? Mencintai dalam diam? Memendam rasa sendirian, tertawa melihat teman dekat bahagia? Namun, tidak begini juga Tuhan, batin Bram. Detik itu pula, ia ingin berbicara empat mata, mengungkapkan isi hati yang sebenarnya. Lagi, Tuhan menahannya. Acha lebih tertarik mencerikan soal Arga dosennya, di mana ia takut dijodohkan, padahal Sinta tahu Devid sudah menjadi pacarnya.
Panjang lebar Acha meminta Bram untuk menjadi seorang pendengar. Meskipun dia sendiri sudah menceritakannya kepada Devid dan tanggapannya, mereka akan berjuang bersama, sedangkan Bram mendengarkan bibir mungil di depannya yang tak hentinya memaki manusia bernama Arga. Katanya ada dua pilihan, tinggal di rumah dosennya tetap sebagai mahasiswa, atau Sinta akan benar-benar menjodohkan anaknya dengan anak sahabat lamanya.
"Cinta itu gak bisa dipaksakan, lo ngerti juga kan, Bram?" Bola mata Acha mendelik sebal. "Kalaupun gua nikah tuh sama dosen, akhirnya pernikahannya juga bakal berantakan! Lu setuju gak sama pendapat gua?"
Bram mengangguk lemah. "Iya, dalam pernikahan selain satu iman, yang dapat menahan keguncangan adalah cinta yang dimiliki satu sama lain. Jika, hanya dicintai tanpa mencintai juga, rasanya masih sama. Sama kek hidup sendiri."
Sebuah jempol diberikan Acha untuk Bram atas tanggapan pintar teman baiknya itu. "Tapi, kalo nyokap gua udah angkat tangan, di pihak lain Devita sama tante Dinda gimana, anjir! Beban gua banyak banget, ya ...."
Sentuhan lembut di punggung Acha membuatnya menatap Bram. "Percaya, lo bisa lewati itu semua. Tentunya bareng cowok yang benar-bener cinta sama lo."
Terukir senyum lebar, Acha menggeser kursi yang didudukinya. Sampai, kepalanya bersandar di bahu Bram. Bukan apa-apa, ia menganggap Bram sebagai sahabatnya, begitu pula Devid, ia takkan mempermasalahkan. Toh, Acha pula paling menderita kala semua penggemar tidak menyetujui hubungan mereka. Karena takut menjadi fitnah dan berakhir pertengkaran, Bram memilih beranjak pamit. Acha hanya mengiyakan saja, tidak ada firasat sedikit pun bahwa Bram memendam luka.
Malam itu, jalanan terasa sunyi. Kali ini Ibu Kota tidak lagi merasakan guyuran air langit. Bram menjalankan mobilnya melaju cepat, tadinya ia ingin mengajak Acha pulang bersama, tetapi ada bisikan bahwa ia harus benar-benar menjauh perlahan. Walaupun rasanya sulit untuk dilakukan, tetapi jika dengan pelan-pelan semua akan terbiasa, bukan? Masih di dalam kafe, Acha membuka ponselnya. Mendapati notifikasi dari akun instagram Double D yang dipegang oleh ayah Devita.
Mereka sedang melakukan siaran langsung, ada di dalam sebuah kafe dengan pengunjung yang tidak diragukan lagi, penggemar mereka. Seulas senyum terukir. Sampai kapan semuanya terus berjalan? Sosok Devid terlihat memetikkan senar gitarnya, memberikan senyum lebar teruntuk para penggemar. Jadi, pacarnya juga belum istirahat? Lagi-lagi Acha akan tersenyum kecil, mengingat hari-harinya bersama Devid.
Tidak lama, sebuah pesan datang dari Sinta. Acha ragu membuka, tetapi ia penasaran mengapa malam-malam begini mengirim pesan? Sangat tidak biasanya. Secepat mungkin ia membaca pesan yang tidak diinginkan. Kebiasaan ibunya adalah, memberikan kabar secara mendadak dan wajib harus dilakukan.
Mama
Besok mama jemput jam delapan pagi, keluarga Arga mau kenal dekat sama kamu, Sayang. Selamat malam, jangan telat bangun, ok.
Mau ngapain, coba? 😑
![](https://img.wattpad.com/cover/225183986-288-k554922.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Teen FictionPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...