"Ingin menyerah karena terlalu panjang likuan, tetapi tidak mudah karena kaki telah jauh melangkah."
Tempat aman berbagi cerita dipilih Bram tepat di keriuhan pinggir jalan, mengingat sekarang adalah malam minggu. Malam paling menyeramkan bagi para jomlo. Namun, tidak dengan semua insan yang memiliki pacar. Termasuk Bram dan Acha, mereka duduk beralaskan karpet, sedangkan di depan tersaji nasi goreng hangat yang masih mengepulkan asap. Tidak ada niatan dimakan sekarang juga. Karena, niat mereka mengungkap kehidupan Devid yang Bram proleh, bukan makan malam romantis di pinggir jalan.
Bram memulai, di mana ia memerintahkan temannya yang satu fakultas dengan Devid. Namanya Diki, dia tetangga jauh Devid dan Devita. Walaupun jauh, tetapi ia tahu awal mula keluarga Devid dikenal beberapa orang, termasuk Diki. Katanya, Dinda masih sendiri, tidak ada niat untuk kembali menikah, tetapi fokus dengan karier sebagai manajer di perusahaan kakaknya sendiri, sedangkan soal masa lalu Devid pindah ke Jakarta terdengar masuk akal.
Di mana, Dinda juga asli orang Jakarta, keluarga kecilnya pindah ke Bandung hanya karena tugas Prabu yang merasa kejauhan, di saat tugas mengabdi kepada negara tidak selamanya berada di titik perbatasan yang sama setiap tahunnya. Namun, yang membuat Acha berpikir keras adalah di mana Bram mengatakan, bahwa ayah Devid telah meninggal karena kecelakaan. Devid selamat dari kecelakaan itu, hanya benturan keras saja membuat ingatannya hilang total.
Ternyata, Dinda telah membuat drama, demi menghapus jejak masa lalunya. Bahkan menyebarkan, bahwa suaminya sendiri sudah meninggal? Acha menggeleng tidak percaya. Sampai, kenyataan juga mengatakan, Devid memang tidak pernah mengingat segalanya, sedangkan Dinda tidak pula memusingkan, mengingat ia sendiri ingin melupakan masa lalu.
"Jadi, cerita yang benernya gimana? Devid ketabrak truk karena lo dorong atau karena kecelakaan sama bokapnya?" tanya Bram, setelah menjelaskan apa yang didapati dari mata-matanya.
Acha menatap tajam Bram. "Lo percaya sama gua gak? Ngapain gua ngarang coba?"
Ada benarnya. Buktinya, mengapa harus menjauh dan Dinda pergi tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Jadi, selanjutnya apa yang akan Acha lakukan? Menyadarkan Devid lewat potongan kenangan? Atau potret masa lalu mereka?
"Gua bingung, selanjutnya ngapain," resah Acha, seraya mengurut keningnya yang terasa pusing.
"Besok, lu ajak Devid ketemuan, jujur aja dulu, Cha, daripada kesempatan yang Tuhan kasih malah hilang?" saran Bram.
"Jujur? Terus kalo dia tahu gua penyebab kecelakaan, akhirnya dia juga hilang, Bram ...."
Bram terdiam, lalu berucap, "Bukannya dia sempat ngungkapin perasaannya? Coba lu ulang aja."
Sekarang pikiran Acha sudah buntu, ia lelah dengan segala masalahnya. "Pulang, yuk!"
Baiklah, Bram tidak bisa memaksa juga, toh, yang punya masalah adalah Acha. Setelah membayar pesanan dua piring nasi goreng tanpa dimakan, mereka beranjak pergi melewati aneka makanan dan dagangan yang berjajar di sepanjang jalan. Cahaya lampu dari mainan anak-anak mengingatkan Acha akan masa lalu, berlarian mengelilingi taman, bergantian menggelitiki pinggang sampai tertidur pulas di kamar.
Andai ... semua bisa terulang, tertawa di bawah sinar rembulan dan gemintang, bernyanyi lantang diiringi petikkan gitar. Semua tinggal kenangan, sekarang nyatanya hanya sepi yang menyelimuti. Mereka berdua sudah masuk ke dalam mobil, Bram segera menjalankannya dengan kecepatan yang stabil. Ia tidak ingin terburu-buru mengantarkan Acha pulang, bukankah sekarang malam minggu? Namun, tidak baik juga untuk anak kosan, nanti di depan ibu kos sudah menunggu kedatangan.
Mobil pun menepi, Acha segera melepas sabuk pengamannya. "Makasih, ya, gua masuk dulu."
Sebelum Acha keluar dari dalam mobilnya, Bram mencekal pergelangan tangannya. "Gua akan selalu ada buat lo, kita berjuang dapetin Devid yang lu kenal."
Penuturan Bram membuat Acha terdiam. Sebaik itukah teman barunya? Ia mengangguk mengiyakan, lalu kembali berterima kasih dan pintu mobil ditutup rapat dari luar. Acha berhenti di samping ambang gerbang karena mobil Bram belum juga kembali berjalan. Didapatinya senyuman hangat yang biasa Bram berikan, Acha pun melambaikan tangan dan suara mesin mobil menjadi akhir pertemuan.
Bu Siti menyambut kepulangan Acha dengan wajah berseri-seri. "Eee ... anak siapa, nih, udah malam mingguan?"
Acha mengulum senyum lalu mencium punggung tangan bu kosnya itu. "Selesai ngerjain tugas, Bu ... cewek seperti saya mana ada waktu malam mingguan," tukas Acha.
"Wah, hoax, tuh!" seru Ardila, berjalan cepat menghampiri mereka berdua, tubuhnya terbalut baju tidur, sudah dipastikan malam ini dia tidak keluar untuk malam mingguan.
"Apaan, lu! Udah, ah ... mau istirahat dulu," pamit Acha, tidak mempedulikan celotehan Ardila yang membicarakan Bram.
"Ganteng cowoknya, Bu ... tapi si Acha enggak ngasih tau namanya, kan, sombong!"
"Eee ... terserah dia atuh, kamu juga biasanya masih keluyuran!"
Ardila mendengkus. "Pacar saya lagi dinas ke luar kota, biasa sibuk!"
Bu Siti mencebik. "Terserah kamu!"
Waktu rebahan dimulai. Acha merentangkan kedua tangan dan kakinya, merasakan pegal yang sangat meresahkan. Mengingat kelas pak Arga, masalah Devid, strategi menyingkirkan Devita dan terakhir ia harus menemukan Dinda. Ada banyak pertanyaan selama ini Acha pendam. Ditatapnya langit-langit kamar berhiaskan ukiran bunga, kelopak mata Acha mulai berat, hingga menutup rapat.
Di balik dinding dengan wallpaper batik. Seorang perempuan yang masih duduk manis di meja kerjanya sedang berbincang seru, dengan teman lamanya yang baru terdengar kabar, bahwa rumahnya bisa dibilang sangat dekat menuju kosan Acha. Ia bercerita panjang lebar, takut akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepada anak gadisnya itu. Sampai, teman lamanya meminta bertemu langsung untuk memperkenalkan Acha kepadanya.
"Nanti bicarakan kembali, jeng, soalnya dia itu susah diatur ... dipastikan, ya, pokoknya kita jadi ketemu, deh!"
"Iya, serius loh, Sin ... lagian anakku juga ngajar di UI mungkin mereka saling mengenal."
"Siap, besok aku kabarin lagi, ya," putus Sinta, seraya mematikan sambungan telepon.
Wajah yang masih terlihat muda itu semakin cantik saja, ia akan bertemu teman lamanya yang dengan senang hati akan menampung Acha di rumah miliknya. Kebetulan, anaknya juga mengajar di UI dan dipastikan, Acha akan dengan gampang bertanya-tanya soal pelajaran. Meskipun Sinta belum tahu pasti sebagai dosen apa anak lelaki jeng Sani, teman semasa kuliahnya di Bandung yang menikah dengan pengusaha asal Jakarta. Namun, kabarnya telah meninggal dunia.
Setelah menyimpan ponselnya ke laci, Sinta masuk ke kamarnya mendapati sang suami yang sefatng berbicara dengan seseorang lewat telepon. "Makanya, papa kan sudah bilang, kamu tinggal saja di sini."
Sinta tahu, Mahendra sedang berbicara dengan anaknya yang sama seperti Acha, memiliki sifat keras kepala. Walaupun, jika dibandingkan Acha orangnya tidak banyak protes tentang keuangan, sedangkan Reina lebih banyak mengeluh mengingat kehidupannya kebanyakan berbelanja semenjak mengetahui ayahnya menikah lagi. Reina terpaksa bersikap demikian, ia ingin ayahnya sadar bahwa ibunya lebih penting dibanding Sinta yang bisa dibilang bisa mencari uang sendiri.
Apalagi, mengingat menikahi seorang sekretaris pemecah keluarga atasannya sendiri, Reina semakin muak saja. Sambungan telepon terputus, Mahendra mengembuskan napas panjang sambil menyandarkan tubuhnya ke ranjang. Sinta pun duduk di sampingnya, menatap wajah lelah sang suami.
"Sudah, jangan dipikirkan nanti juga menyerah sendiri," ucap Sinta menenangkan.
Mahendra tersenyum kecil. "Semoga saja, ibunya juga sudah mulai sakit-sakitan lagi karena ulah konyol Reina."
"Nanti juga berubah, kamu harus yakin."
Malam itu mereka mencoba melupakan masalah yang terasa enggan berhenti. Mengalihkan pikiran dengan menonton film di dalam kamar yang remang-remang.
Hayoo siapa anak sahabatnya Sinta yang ngajar di UI cobaa.
🤔
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Roman pour AdolescentsPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...