"Tanjakan curam, tetapi menjanjikan lukisan alam yang teramat mengagumkan di puncak ketinggian. Penuh rintangan, kesabaran, sampai membatin,
"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"
(QS. Ar-Rahman 55: Ayat 13)"Bukan lagi tanah yang akan diinjak oleh kaki, tetapi bebatuan yang menanjak di depan. Kanan kiri ditumbuhi rumput liar, lalu langsung jurang yang menakutkan. Berpegangan, menjejak batu dipenuhi kerikil kecil, takut tergelincir. Menaiki tanjakan curam, dengan cara merangkak karena begitu sulitnya untuk cepat dilalui. Acha dengan susah payah menjejaki batu menahan berat tubuhnya, sialnya lagi penerangan di sana hanya dari headlamp masing-masing pendaki. Karena, langit masih hitam legam dan jangan lupakan dinginnya udara yang menusuk-mengubur semangat bersiap teriak, angkat tangan menyerah menuju puncak.
Namun, tidak segampang itu. Bram di belakang Acha dengan hati-hati berjaga. Ia sudah biasa dengan track macam itu, ada juga yang paling menantang. Kali ini, ia seolah menjaga gelas yang jangan sampai jatuh dan pecah. Apalagi Devid di depannya, menjaga Devita yang kakinya bisa dibilang belum maksimal sembuh, sedangkan dua rekan kak Bubun, masing-masing dijaga oleh anak MAPALA lain. Jadi, mereka dipastikan aman. Tidak ada tali ataupun khusus pegangan tangan, hanya meraba-raba, di mana batu paling kuat menahan tubuh saja.
Kedua tangan Acha yang terbalut sarung tangan terasa kebas, ia mulai ketakutan, tetapi ingat kembali pesan Bram, jangan panik di saat pendakian. Ia mulai relaks, mengatur napas, tetapi tangannya memang terlalu dingin, apalagi batu yang ia pegang. Bram menyadari masalah Acha, digenggamnya kedua tangan yang gemetar itu. Di belakang, seseorang mempertanyakan keterdiaman mereka, lalu Bram memberitahu Acha kedinginan. Ia sendiri bingung, takut sesuatu terjadi seperti hipotermia. Namun, dari wajah Acha, ia terlihat baik-baik saja.
"Masih dingin?" tanya Bram, ia masih menghangatkan kedua tangan Acha, lalu menghembuskan napasnya agar terasa hangat lagi.
"Dikit, kita udah deket ama puncak, ya?"
Bram menatap ke depan, rombongannya sudah jauh dari mereka. "Nanti kita istirahat dulu kok sebelum puncak, tenang aja. Gimana, bisa lanjut?"
Acha melirik orang-orang di depan, sangat jauh, hanya pantulan headlamp saja yang terlihat. "Lanjut, bismillah," ucapnya, seraya merangkak lagi karena jalanan berbatu masih menanjak.
Track menanjak dan berbatu sudah dilalui, di depan sebuah persimpangan membuat Acha menghentikan langkahnya. Karena di sana juga ada beberapa pendaki yang mengabadikan momennya, lewat potretan foto. Bram pun segera mengaktifkan kamera miliknya, lalu memerintah Acha untuk berpose. Namun, Acha menolak, wajahnya pasti terlihat sangat lelah dan jelek.
"Cepetan, mau gak?" tanya Bram.
"Enggak, ih, lanjut aja!" tolak Acha, pandangannya menyapu para pendaki, tidak mendapati Devid di antaranya.
Setelah Bram mengambil foto beberapa pendaki lain tepat di persimpangan Apuy-Palutungan, tidak lupa ia pun membidik kamera menuju Acha yang menahan dingin, dengan gigi bergemeretak. Acha terbelalak. "Gak izin lagi, dasar kang nyuri!" oceh Acha, kedua tangannya mendekap dadanya.
Bram terkikik. "Udah, yuk, lanjut," ajaknya.
Perjalanan kembali dilanjut, masih bebatuan dengan jalan memanjang, tetapi tidak menanjak. Hingga mendapati sebuah Goa Wallet, banyak pendaki yang berdiam diri menghangatkan tubuh mereka, membuat api unggun. Di sana pula, Acha mendapati Devid yang sedang memijit pergelangan kaki Devita. Romantisnya mereka, sedangkan kepala Devita bersandar nyaman di bahu Devid. Apa kakinya terkilir lagi? Tapi raut wajahnya tidak memperlihatkan kesakitan. Ia pun duduk di samping api unggun, mengulurkan tangannya yang dingin.
![](https://img.wattpad.com/cover/225183986-288-k554922.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Teen FictionPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...