"Jangan melarang seseorang menyukai. Jangan pula memaksa seseorang untuk mencintai."
Sesampainya di tempat yang akan dihabiskan dua hari satu malam itu, Devit dan temannya yaitu Firman mereka disuguhkan oleh ramainya anak sekelas sudah berkumpul di depan villa. Nuansa alam memberikan kenyamanan, setelah seharian berjibaku dengan bising knalpot motor, kemacetan di jalanan dan, ya, seperti hiruk pikuk Ibu Kota saja. Sekarang berbanding terbalik dan Devit tidak menyesal datang memenuhi undangan wali kelasnya.
Bu Yasmin melambaikan tangan, memberi kode agar Devit dan Firman segera bergabung. Menyiapkan untuk nanti sore sampai malam, untuk bersiap bakar-bakar jagung. Di sebelah lain terkhusuus anak perempuan sibuk memotong daging sapi dan sosis. Tanpa menunggu lama Devit dan Firman menghampiri Bu Yasmin, mencium punggung tangannya.
"Akhirnya kalian dateng!" seru Bu Yasmin, "simpan bawaannya ke dalam, ibu juga udah list semua anak-anak ibu untuk masalah kamar tidur! Tadi yang masih kosong di lantai dua sama depan tv. Kalian bisa milih, soalnya kayaknya gak bakal ada yang dateng lagi!"
"Oh, gitu ... ini lumayan banyak kok, emang siapa aja yang gak dateng?" tanya Firman penasaran.
Bu Yasmin melirik ponselnya, mengecek catatan. "Adam, Annisa, Dian sama Gita."
Mendengar nama Gita disebutkan Devit diam membatu, lalu berkata, "Gita gak ada, Bu?"
"Dia izin gak bisa ikut, katanya ada kepentingan keluarga," balas Bu Yasmin.
Firman menatap curiga Devit. "Hayo ... napa lu nyariin dia, Dev?" godanya dan langsung mendapat tatapan setajam silet dari Devit, sedangkan Bu Yasmin sudah pergi mendekati kumpulan anak cewek.
"Diem lu!" Ancam Devit seraya melangkahkan kakinya ke dalam, Firman tentu saja membuntuti.
Devit memilih kamar yang ada di lantai dua, ia pula terpaksa harus berbagi ranjang yang ukurannya sangat besar bersama Firman. Pikirannya masih tentang Gita, ke mana anak itu? Apakah karena paralel tadi? Ah, ya, tadi pula Devit tak sempat berbincang setelah pengumuman selesai dan sayangnya lagi Gita tak ia temukan di kelas, mungkin masih galau?
Setelah menyimpan ranselnya, Firman pamit keluar untuk bergabung dengan yang lainnya. Memberikan ruang bagi Devit yang memilih duduk di luar balkon, menikmati hijaunya pohon pinus berjejer di sana. Namun, pikirannya tetap mempertanyakan, ada apa dengan Gita? Sampai ia pun mengeluarkam ponselnya, mencari nomor Gita yang ia namai dengan Putri Judes.
Kesalahannya tadi tidak berbasa-basi saat diumumkan bahwa Gita mendapat paralel ketiga. Jadi, ia akan beralasan bahwa ia hanya ingin berbasa-basi soal paralel tadi berujung menanyakan mengapa ia tidak ikut bersenang-senang? Di villa ini? Devit menekan panggilan, lama tak terjawab. Panggilan pertama tak berbuah hasil, ia kembali menekan panggilan. Sampai terjawab, di seberang sana Gita memberikan salam.
"Waalaikumsalam," balas Devit.
"Apa?" tanya Gita, suaranya terdengar parau.
Devit menelan ludah cepat. "Eh, gak nyangka, ya, si anak baru itu bisa ngalahin lu!" Spontan Devit berkata, di ujung sana Gita menunduk bingung harus menjawab apa.
Hening. Devit merutuki ucapannya.
"Eh, napa lo galau?" tanyanya diakhiri cekikikan.
Terdengar Gita mengatur napas berat. "Lo gak tau, sih, perasaan gua sekarang! Lo kan juara mulu," lirihnya.
Devit jadi serba salah. "Sorry, gua bukan ngetawain juga, Git, sorry ...."
Gita diam, pandangannya menatap sertifikat yang tadi siang diberikan Bu Siti untuknya. Paralel 3 ah! Sekarang ia bukan lagi harapan wali kelasnya. Makanya, Gita tak berani ikut ke villa, hanya untuk bersenang-senang bukan? Sedangkan hatinya berkata tidak! Kecewa, ia sedang bersedih, biarkan sendiri saja! Itulah jawaban mengapa Gita memilih diam di rumah.
"Lo kenapa gak ikut ke villa?" tanya Devit.
"Penting banget emang?" tanya balik Gita, ia mengembuskan napas kasar. "Dah, ya, gua sibuk! Lo juga ngapain nelpon gua, fokus aja sama bakar-bakar, nyanyi-nyanyi di sana!"
"Ya udah, sorry, udah ganggu," putus Devit.
Gita hanya bisa pasrah, kala panggilan terputus. Ini kan yang ia mau? Tapi, ah! Mengapa Devit tidak peka? Ia ingin seseorang tahu perasaannya, bukan menjadi seseorang yang sama seperti mereka! Tahunya hanya bersenang-senang saja! Tak mempertanyakan keadaannya bagaimana setelah kalah oleh anak baru!
Devit sendiri memilih merebahkan tubuhnya di kasur. Ah, ia jadi menyesal datang ke sini jauh-jauh tak ada orang yang membuatnya tersenyum! Hah? Devit tersadar, mengapa ia berharap Gita datang dan menjadi orang yang membuatnya tersenym? Sialan! Ia pun beranjak dari kasur, membuka pintu, lalu berjalan cepat menuruni anak tangga.
"Siapa dia, ih, kok gua aneh banget!" batin Devit.
Langkahnya mendekati sekumpulan anak laki-laki. Mulai menyiapkan alat untuk bakar-bakar jagung, bakso, sosis dan mars mellow. Intinya Bu Yasmin membuat acara ini, ya memang untuk bersenang-senang, mengakhiri masa kelas 7A. Tak terasa satu tahun berlalu dengan cepatnya.
Tatapan Devit menangkap seorang lelaki yang diperkirakan lebih tua dari Bu Yasmin. Ternyata dia bertugas mengabadikan momen lewat kameranya. Membuat video dan foto untuk kenang-kenangan? Dan, ya Devit mendapat bagian untuk memberikan pesan dan kesan selama menjadi murid terbaik di kelas 7A.
"Saya sangat berterima kasih kepada Bu Yasmin. Karenanya, saya mampu dan bisa menjadi juara di kelas!" jelas Devit diakhiri senyum manisnya.
Riuh tepuk tangan dari kumpulan anak perempuan. Bu Yasmin terlihat murung, lalu berkata, "Gak ada Gita, ya."
Devit tersenyum kecil. "Harusnya lo dateng, Git, jangan egois karena lo kalah! Ini keluarga kita, sementara kita happy-happy, bukan berarti gak ngehargain perasaan lo! Harusnya elo sendiri yang ngehargain kita, keluarga ini, keluarga kelas kita, gak bakal sama lagi, kalo kita udah kelas delapan." Devit hanya mampu membatin, menyalahi keputusan Gita.
Setelah acara bakar-bakar, jam yang sudah menunjuk bahwa mereka harus menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim. Memaksa masuk ke dalam villa, Bu Yasmin dan suaminya meminta anak-anaknya itu agar segera mengambil wudhu di kamar masing-masing. Acara akan dilanjut selepas isya, yaitu acara karokean dan games seru lainnya! Terakhir untuk hari esok adalah menikmati perjalanan alam, menuju pohon pinus menjulang di belakang villa yang rimbun.
"Kalian istirahat dulu, nanti kita keluar lagi, siap?!"
"Siap, Bu ...!!"
Devit dan Firman masuk ke dalam kamar. Selesai melaksanakan salat magrib, keduanya memilih memainkan ponsel, Devit sendiri gatal ingin mengirim pesan kepada Gita. Bahwa keputusan cewek judes itu salah besar! Namun, Devit tak berani, ia memilih tidur tidak jelas, sedangkan Firman sedang fokus memainkan permainan di ponselnya.
"Keliatan banget lu, kagak semangatnya!" ujar Firman disela permainannya.
Devit menoleh. "Maksud lo?" tanyanya.
Firman menghentikan permainannya. "Gua tau, lu suka kan sama si Gita?"
![](https://img.wattpad.com/cover/225183986-288-k554922.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Teen FictionPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...