141. Gak Seharusnya Nunggu

27 6 0
                                    

"Terluka tak bisa dapatkan seseorang yang diharapkan seutuhnya."

THANKS MOM. Sebuah judul novel yang sekarang Acha pandang dengan mata berkaca-kaca. Karena penulisnya sendiri adalah Devit anaknya. Ia merangkai kata penuh diksi di tiap bait puisi yang menghiasi awal bab sebelum menceritakan kisah tragis, manis dan rasa rindu yang mendalam kepada seorang ayah.

Juga tak hentinya Devit sebagai penulis banyak berterima kasih atas apa yang Acha berikan kepadanya. Dalam lembaran berjumlah 400 halaman terdapat rintihan kerinduan, mempertanyakan kepada Tuhan di setiap sujud salatnya. Ke mana ia harus mencari? Atau bisakah Tuhan memberikan jalan gampang memulangkan sang ayah ke pelukan?

Bukan lagi setetes air mata yang menggenang di kedua pipinya, Acha sudah menghambur ke pelukan Devit.  Mencari kenyamanan di sana, menelan pahit kenyataan bahwa ia sudah menunggu Devid sepuluh tahun lamanya. Bukan tiga tahun seperti dulu, apa jangan-jangan Tuhan kali ini menghilangkan Devid selamanya dari kehidupan? Karena Acha tak pantas!

Tak pantas hidup sampai mati bersama Devid yang ia cinta. Ada banyak pengorbanan terbalas luka, Acha tahu itu dan ia mulai menyesal. Namun, bukan hanya Acha saja yang menyesal jauh di ujung sana. Reina masih nyaman menyendiri, bukan tanpa alasan, tetapi karena ia ingin merasakan apa yang sahabat dan saudara tirinya itu juga rasakan. Sepahit itukah berjuang?

"Papa, punya calon untuk kamu, Rei. Jangan menolak lagi, berapa umurmu, ha?"

"Emang salah, Rei, mau kayak Acha?"

"Apa? Kamu juga nunggu Devid datang?"

Pertanyaan Mahendra sontak membuat Reina bingung juga. Mengapa ia harus berbuat hal bodoh? Nyatanya ia mulai taruhan dengan dirinya sendiri, bodoh bukan? Apa manfaatnya? Reina tetap nyaman di zona menyendiri. Jika Devid yang dinanti Acha juga datang, pasti lelaki yang serius ingin dengannya juga akan gampang ditemukan, tapi siapa? Tipe Reina tetap Devid seorang.

Kembali berada di tengah hiruk pikuk Ibu Kota. Devit membiarkan ibunya itu meluapkan emosi di sore itu, meluapkan rindu yang tak mampu ditahan lagi. Menjerit, tertahan oleh dekapan hangat Devit. Mengapa kehidupannya hanya dihiasi luka? Apakah Tuhan tak berniat memberikan bahagia? Devit tidak sepemikiran dengan Acha. Tuhan sudah memberikan luka dan bahagia sesuai batas kemampuan umat-Nya.

Tuhan tidak jahat, Tuhan tahu kapan makhluknya sadar diri dan mensyukuri perjuangannya. Devit percaya, bahwa ayah yang entah ke mana itu akan datang segera. Mengapa ia percaya? Sepuluh tahun sungguh lama, tetapi jika takdir memintanya untuk bersabar menunggu lima tahun ke depan lagi. Dipastikan, ia aka tetap menanti. Siap memeluk erat tubuh lelaki yang lama dirindunya.

"Ma ... kita pulang, yuk?" Perlahan, Devit mendorong tubuh Acha.

Sebagian wajah Acha tertutup rambutnya, lagi Devit menjadi orang yang menyingkirkan helaian rambutnya ke belakang telinga. Melempar senyum tipis yang hanya Acha ingat. Bahwa itu senyuman suaminya bukan anaknya.

"Yuk? Hujan udah reda juga." Devit memandang ke luar sana, tadi siang Acha menjemputnya dari sekolah.

Keinginan Devit tepat di hari ulang tahunnya ke sepuluh, hanya ingin makan siang bersama ibunya di luar. Diiringi suara musik, sampai tak lama tetesan air hujan datang memaksa pejalan kaki menepi. Berteduh di beberapa gerai toko yang tadinya sepi pengunjung. Setelah hujan hanya tersisa gerimisnya saja, mereka mulai keluar tanpa membeli aneka makanan yang dijual.

Diliriknya Acha lagi, ibunya masih menunduk dengan tatapan kosong. Menatap secangkir kopi hitam dingin yang sudah menjadi kebiasaan. Devit iseng bertanya, "Ma, kalo degan kopi hitam bisa mewakili jiwa yang penuh luka. Mau gak, dari sekarang tinggalin kopi pahit itu untuk menyambut hasa manis yang lama dinanti?"

Dahi Acha mengerut, ia sama sekali tidak mengerti apa yang Devit katakan barusan. Untuk memperjelas, Devit melanjutkan, "Mulai lagi dengan yang manis, mulai lagi tanpa tangis. Bisa, kan?"

Acha menoleh. "Buat seakan kita bakal menyambut kedatangan papa kamu, Dev?"

Ya, semoga saja begitu. Devit memberikan senyum kaku. "Semoga saja," cicitnya.

Dengan lemah, Acha berdiri menatap beberapa pengunjung yang masih asik mengobrol.

"Kita emang gak seharusnya nunggu, Dev."

Maksudnya? Acha menyesal menunggu Devid yang tak kunjung datang sampai sepuluh tahun lamanya? Dan sekarang ingin menyerah? Tiba-tiba Devit mengingat sosok Bram yang selalu ada untuk ibunya itu. Lihatlah, dengan telepon milik Acha yang sengaja dimatikan pasti panggilan dan pesan dari Bram mungkin sudah terkumpul banyak karena khawatir.

Devit sudah biasa akan hal itu. Namun, yang tak biasa ucapan tadi. Ibunya menyerah menanti? Lalu akan memasrahkan diri ke pelukan Bram begitu? Sebelum Devit menanyakan maksud ucapan Acha, tak bisa dihentikan Acha berjalan cepat keluar mengemudikan mobilnya jauh entah ke mana dan Devit memilih diam. Ia tak bisa memaksa untuk kembali setia menanti, berharap Devid datang tak lagi pergi.

"Devit, ya?"

Devit menatap gadis yang menyapanya di depan. Jangan bilang dia salah satu gadis yang ada di SMP Bima sekolahnya? Jika benar, pasti ujung-ujungnya mengajak pacaran karena menyukai fisiknya saja. Ah, jangan sampai!

"Gua Tara, kelas kita sebelahan. Inget, gak?"

Gadis yang tanpa diminta memperkenalkan diri itu tiba-tiba mendudukkan bokongnya, di tempat yang tadi Acha tinggalkan. Devit mulai menyesal tidak mengikuti langkah ibunya untuk keluar dan sekarang, ia berakhir terjebak ditatap buas oleh bola mata hitam berbinar itu. Penampilannya sangat sederhana, tidak seperti gadis lain yang memaksa Devit menerima hubungan konyol bernamakan pacaran.

Melihat Devit yang tetap diam, tanpa menunggu lama Tara menyodorkan ponselnya, lalu berkata, "Boleh bagi nomornya? Gua janji, kita bakal jadi sahabat sampai maut memisahkan, ok?"

Apa? Siapa dia? Devit sama sekali tidak ada niat bersahabat dengan seseorang apalagi dengan perempuan! Yang ada semua orang menganggap mereka berpacaran lagi. Jangan sampai! Dengan cepat Devit menyambar buku novelnya yang sama sekali tak dilirik Tara, pikirnya. Mengartikan, bahwa gadis itu sama seperti gadis lainnya. Hanya mengincar rupa!

Devit beranjak dari duduknya. "Gua duluan," pamitnya.

"Eh! Gua 'kan bilang minta kontak lo!" seru Tara, beberapa pengunjung di sana meliriknya tak suka.

Devit yang sudah berdiri tak peduli, ia segera berjalan keluar dengan cepat. Sial! Bukankah ia tidak membawa motor? Ah, ya, ibunya yang meninggalkannya begitu saja. Jadi, Devit harus mencari taksi segera sebelum gadis bernama Tara itu membuntutinya!

"Jadi, doi penulis novel?" lirih Tara, di samping ambang pintu restoran, ia melanjutkan, "Thanks Mom karya Devit Prabu Androno?"

Seulas senyum penuh kemenangan membuat Tara dengan cepat menuju parkiran. Mencari sepeda motor kreditnya. Siap menjelajahi toko buku, di mana beberapa biodata Devit pasti akan dapat dengan gampang ia temukan di dalam novelnya. Tara segera melajukan motornya menuju tempat buku terdekat, paling sering ia kunjungi juga hanya untuk menyobek plastik dari buku yang ia rasa seru, lalu begitu saja menyelipkan ke rak lain tanpa berniat membeli.

Kali ini, Tara ingin benar-benar membeli buku. Menuju rak novel fiksi remaja, dengan kemampuan yang tak banyak orang miliki. Tara langsung menemukan novel karya Devit di jajaran yang penuh berisi puisi. Penuh luka dan bahagia yang tertunda. Tara mengelus sampul bukunya, siluit seorang ibu yang mengelus sayang puncak kepala anak lelaki, tepat membelakangi warna jingga senja.

"Prabu Androno?" Tara mencoba mengingat lagi nama yang pernah ia baca di selember koran. "Eh, salah orang ternyata, harusnya Prabu Siliwangi," kekehnya seraya membawa novel itu menuju meja kasir.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang