"Tuhan, selalu memberikan skenario yang tidak bisa ditebak. Yang awalnya memaki, tiba-tiba tersadar, bahwa kenyataan tadi memang terbaik bagi diri ini."
Pesona alam waktu fajar sangat menghipnotis mata, enggan berpaling barang sedetik pun. Terbukti, dari tatapan Devid yang menatap matahari berwarna jingga dengan pelan, mulai memberikan kehangatan ditaburi keindahan menakjubkan. Kedua tangannya berada di saku masing-masing jaket hangatnya, menghirup napas panjang, merasakan beban di jalur pendakian yang sangat membebankan. Mengingat Devita, orang yang harus ia jaga.
Acha dengan kaku mendekat, beruntungnya Devid memang sendirian di sana. Jadi, ia bisa leluasa berduaan membuka percakapan. Mendapati Acha yang berada di sampingnya, Devid melirik lalu memberikan senyum simpul dan kembali menatap awan bergelung. Suara kebahagiaan terdengar di belakang, tidak mampu memecah waktu senyap sendirian, tetapi tidak masalah ada seseorang yang menemaninya.
"Dingin banget," ucap Acha, seraya mengeratkan kedua tangan memeluk tubuhnya sendiri.
"Mau gua peluk?" tanya Devid, menghapus kecanggungan.
Acha terkikik. "Boleh emangnya?"
Devid mengangguk. "Kayaknya boleh kalo emang kedinginan, kecuali buat yang kegatelan itu harus disingkirkan."
Mereka berdua sama-sama terbahak. Ah, rindunya dengan lelucon Devid, batin Acha. Diam-diam juga, ia memerhatikan wajah sahabatnya itu, tetap sama, sama gantengnya.
"Ini pendakian pertama buat lo?"
"Yaps dan gua, gak percaya bisa sampe puncak." Tatapan Acha berhenti di satu titik, ke depan yang penuh gulungan awan putih tersinari matahari pagi.
"Semuanya berkat, Bram, dia orang yang patut dipertahanin!"
Diliriknya Devid, lalu berkata, "Sayangnya, gua masih berharap dipertemukan sama sahabat kecil gua."
"Sahabat? Siapa namanya, mungkin gua kenal atau fotonya?"
Dada Acha terasa sesak. Jadi, sekaranglah kebenaran harus terungkap? Lalu mengetahui bahwa ia orang yang mendorong Devid sampai berakhir kecelakaan? Tidak, Acha belum mampu mengungkapkan kebenaran. Ia menggeleng lemah, matanya berkaca-kaca menahan tangis. Devid menepuk bahunya menenangkan, ia tahu pasti Acha merasa kehilangan sekali. Juga, sahabat yang belum ia tahu siapa namanya, dipastikan sangat berarti.
"Lo ...," lirih Acha. Sebelum bibirnya kembali berucap, ia melangkah pergi, tubuhnya terasa bergetar akibat menahan tangis juga dinginnya udara.
Di seberang, Devita masih asik mengabadikan momennya bersama pendaki lain, sedangkan Devid menatap kepergian Acha dengan kening mengerut dalam. Dirasa ia sendiri yang terdiam menyaksikan keindahan alam, Devid pun mengikuti Acha sampai terlihat, perempuan itu siap turun ke bawah. Beberapa pendaki lain sangat jauh dari jalur turun. Karena takut terjadi apa-apa, Devid memerhatikan Acha yang mulai menuruni turunan curam, disertai pasir dan bebatuan.
Terlihat aman, tetapi Devid ragu meninggalkan Acha yang turun sendirian. Meskipun di bawah sana ada beberapa pendaki yang telah sampai, siap menuju perkemahan. Detik berikutnya Devid berbalik, berniat menghampiri Devita yang melambaikan tangan kepadanya, sedangkan di bawah jalur pendakian yang menurun, Acha melangkahkan kakinya gemetar. Terasa sesak dadanya mengingat beberapa menit lalu, hampir saja ia memperlihatkan potret dirinya dan Devid waktu lalu.
Jika, ia benar-benar mengungkapkan kebenaran, bahwa sahabatnya adalah orang yang bertanya, Devid pasti memandangnya aneh. Acha menjejakkan kakinya di salah satu batu paling besar, ia terdiam sebentar melihat turunan yang sangat curam dan bebatuan sebagai pegangan membuatnya bergidik ngeri. Ia berbalik menatap bayang pendaki yang masih berada di puncak, hingga tatapannya menangkap tubuh menjulang Devid memunggunginya. Seketika Acha refleks melangkahkan kakinya asal, sampai hilang pijakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Fiksi RemajaPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...