152. Istimewa Sebenarnya

23 6 0
                                    

"Ternyata, lo juga istimewa. Selalu siap siaga, ngasih kejutan mengartikan bahwa gua aman."

Dipaksa memilih dua lelaki. Adalah hal yang tak pernah Acha pikirkan. Benar nyata dalam kehidupannya sekarang, Bram menjadi penolong untuk kesekian kalinya. Pasti melibatkan rasa bernama cinta, tetapi tidak dengan Acha. Ia masih mencoba setia mencintai Devid. Namun, hati kecilnya menjerit, mengingatkan apa yang Bram berikan untuknya.


Devit juga tahu, Bram adalah pengganti ayah yang sampai detik ini belum juga datang menemui. Apa yang  harus Acha berikan sebagai imbalan kebaikan Bram? Apakah hanya berterima kasih saja? Melupakan bahwa lelaki itu terbukti sedang menanti. Acha membalas rasa cintanya yang lama didamba.

Setelah hari buruk yang Acha ceritakan kepada Devit tentang kepergiannya sore itu, semua kembali berjalan dengan lancar. Tak ada Richard dan Reina yang semakin memperburuk kehidupan Acha. Tanpa maaf dan pamit, keduanya hilang begitu saja. Acha malah banyak berdoa, agar dua manusia itu memilih menjalin kasih saja.

"Besok, Devit ikut lomba di luar kota, Ma."

Acha menoleh, mendapati wajah Devit yang melempar senyum. "Kamu tetep ikutan renang?"

Devit mengangguk. "Bukannya, Mama setuju? Termasuk ikutan lombanya juga?"

Ah, ya, akhir-akhir ini Acha hampir melupakan alur kehidupannya. Seakan tak menjejak bumi lagi. Apalagi setiap melihat postingan di media sosial, kebanyakan para guru di sekolah tempat mengajar menyindirnya halus. Sok jual mahal, padahal orang yang dikenalkan kepada Acha bukan orang biasa. Mereka terhormat, berpendiidkan.

Harusnya Acha bersyukur. Jika ia menerima pinangan salah satunya, mungkin ia tak perlu lagi mengajar, bukan? Namun, Acha tetap menolak, tak mempedulikan omong kosong yang mereka lontarkan. Bukan hanya itu saja, postingan Arga dan istrinya semakin harmonis. Banyak mahasiswa memberikan doa, agar cepat diberi momongan.

"Alhamdulillah, ya, Arga dapat pasangan hidup yang dia idamkan," ucap Sinta, kala ia mampir ke kediaman anaknya.

"Iya, Ma," balas Acha malas.

"Kamu, gaada niatan cari pengganti Devid emangnya?"

Pertanyaan itu selalu Sinta lontarkan, sedangkan ibu mertuanya sendiri malah memberikan banyak nasihat jika mereka berdua sedang berkumpul.

"Jangan tenggelam dalam kesedihan, Cha, Devit butuh sosok ayah dalam kehidupannya. Mama, udah ikhlas kalo dia udah tenang. Ataupun memang masih hidup jauh di sana, kamu bisa bangkit sebagai Acha di masa lalu!"

Tanpa Devid yang menemani? Tanpa lelaki yang tak lelahnya memancing semua orang untuk tertawa menanggapi guyonannya? Apakah Acha mampu hidup dengan pengganti lelaki itu? Rasanya tidak, lebih baik seperti ini. Menanti. Berharap. Juga berdoa di setiap malam.

Selesai sarapan, Devit siap beranjak dari tempat duduknya. "Nanti pulang jam berapa?" tanya Acha, menahan langkah kaki Devit.

"Sore, mungkin."

Acha tak mampu melarang. Toh, tidak ada yang salah bukan? Yang salah hanya rasa khawatir berlebihan. Acha harus sadar, biarkan ia menyelesaikan masalahnya sendiri, sedangkan Devit harus melalui semua keinginan masa remajanya. Tanpa kekangan orang tua yang mungkin akan berakhir banyak masalah. Penuh salah paham dan keegoisan.

Devit kembali mengendarai motornya, meninggalkan Acha yang masih berdiam diri di ambang pintu kamarnya. Memikirkan kehidupannya lagi, tanpa tawa menggelegar. Tahun nanti, adalah akhir penantian Bram sesuai ucapan lelaki itu dan Acha sangat tidak peduli. Semoga saja, sebelum akhir tahun Bram memilih menyerah lalu menikahi Anya. Gadis manis cocok untuknya.

Ting! Ting!

Bel berbunyi. Pertanda seseorang datang di pagi hari. Acha berjalan pelan, sebelumnya ia mengintip terlebih dahulu. Memastikan bahwa tamunya adalah bukan orang yang tak diharapkan.

"Ngapain dia ke sini?"

Sebelum Acha memilih balik badan, enggan membukakan pintu. Ponselnya bergetar, sebuah pesan dari Kepala Sekolah SMP ia mengajar. Memberitahukan, bahwa lelaki yang ada di balik pintu itu akan menjemput Acha. Pergi ke sebuah seminar, menjadi perwakilan.

"Kenapa harus gua, sih?" gerutunya.

Suara bel kembali terdengar. Acha menarik paksa pintu, menemukan Haris menatapnya senang, lalu melempar senyum menawan.

"Selamat pagi, Bu Acha ...."

Acha mendelik tak suka. "Pagi."

"Emm, sudah tahu kedatangan saya ke sini? Sungguh, ini sangat tak saya pikirkan datang memenuhi undangan seminar bersama, Anda. Ini juga pertama kali buat saya," jelasnya panjang lebar.

Acha nampak peduli? Tentu saja tidak! Namun, ia harus mengikuti skenario yang Kepala Sekolah buat pagi ini. Ia harus duduk manis di samping kemudi mobil Pak Haris Wijaya. Guru Matematika yang masih lajang dan sedang mencoba berjuang, untuk mendapatkan hati Acha si Janda muda.

Tanpa menunggu lama, Acha segera berjalan mendahului. Sesampainya di parkiran, Haris membukakan pintu mobil untuk Acha. Terlalu berlebihan! Dari arah lain, Bram menyembunyikan tubuhnya di balik tembok. Mengintai kepergian Acha, padahal tadi ia merasa datang kepagian untuk mengantar wanita itu ke sekolah.

Berharap juga Acha menceritakan masalah bersama Richard dan Reina kepadanya. Namun, sayang niatnya itu sudah pupus. Karena kedatangan lelaki yang sama sekali tak ia kenali. Pergi ke mana mereka? Bram pun segera menjalankan mobilnya, siap membuntuti diam-diam. Ia harus menjaga Acha tetap menjadi miliknya, apalagi tersisa satu tahun ke depan! Jangan biarkan orang baru yang menang.

"Sebelumnya pernah ikutan seminar?" tanya Haris memecah keheningan.

"Belum," balas Acha singkat.

Haris menoleh. "Udah sarapan?"

Acha tidak menjawab, memilih memainkan ponselnya yang lagi-lagi menampilkan potret mesra Arga dan sang istri.

"Gak salah 'kan kalo saya mau berjuang, berharap kamu menyukai  saya?"

Salah besar! Bram yang berjuang dari dulu juga tetap mendapat penolakan, apalagi Haris yang mungkin baru sebulan datang ke kehidupan Acha. Sungguh! Dibutakan oleh cinta itu benar-benar nyata adanya. Merasa menjadi orang paling beruntung, padahal bukan hanya dirinya saja yang mengejar Acha mati-matian.

Sampai di tujuan, Acha segera membuka pintu sebelum Haris yang berlari cepat keluar membukakan pintu untuknya. Beberapa banner terpampang jelas memberitahukan, di sebuah gedung pertemuan yang sudah biasa diadakan seminar. Kali ini mengusung tema Literasi Masa Kini. Bram langsung tahu tujuannya, berarti lelaki yang bersama Acha adalah guru juga.

Melihat wajah Acha yang tak jauh dari pandangan, dengan mimik menahan kesal membuat bibir Bram tertarik. Tercipta senyum kemenangan. "Lagi berjuang juga kayaknya."

Tidak lama, Haris mengajak Acha untuk masuk ke dalam. Acha terlihat menolak berjalan di sisi lelaki itu. Lalu beralasan ada pesan datang yang harus dibalas, melihatnya sontak sebuah ide muncul di kepala Bram. Ia segera mengeluarkan ponselnya, mulai mengetik pesan yang siap dikirim kepada Acha.

[Santai, gua bakal bawa lu dari tuh cowok.]

Acha mencari-cari keberadaan Bram setelah membaca pesan itu, sedangkan Haris sudah berdiri tak sabar di ambang pintu menunggu Acha.

[Lo ngikutin gua?]

Bram tersenyum geli, memilih melajukan mobilnya. Berhenti tepat di seberang Acha yang masih menatap layar ponselnya, lalu menurunan kaca mobil.

"Acha!" serunya.

"Bram," batin Acha.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang