"Dengan jaminan rasa kesal akan cepat pudar."
Devid menghentikan laju motornya tepat di depan apotek, ia langsung menyuruh Acha hanya berdiri di samping motornya tanpa mengikuti.
"Panas, Dev," keluh Acha.
"Kan, pake helm, gimana, sih!" ketus Devid seraya berlari meninggalkan Acha yang terus saja menggerutu.
"Dasar, tai kuda!"
Seorang apoteker menghampiri Devid dengan senyuman manis menyambutnya.
"Mau beli apa, Dek?"
"Hmm ada, cat warna rambut, Mba?"
"Ada, mau warna apa?"
"Hijau tua aja, mereknya bebas, deh, soalnya saya baru beli jadi gak bisa bedain bagus yang mananya, Mba," jelas Devid.
"Ohh, iya, Adek kelas berapa?" tanyanya sambil menilai postur tubuh Devid.
"Minggu depan party perpisahan SMP, jadi calon anak putih abu, hehehe," jawabnya.
"Buat party, ya? Takutnya Adek masih sekolah normal."
"Enggak, Mba."
Dibayarlah pewarna rambut yang dipilih Devid dan kembali menghampiri Acha. "Yuk!"
"Beli apa, sih, lu?" tanya Acha penasaran mencuri-curi pandang isi kantong yang dijinjing Devid.
"Urusan pria ganteng, lo gak usah tau!" Devid memakai kembali helmnya dan menaiki motornya.
"Entar juga tau, ayo naik!" serunya karena Acha masih saja mematung menatap kantung yang ada di tangannya.
"Pelit, lu!" Acha pun menaiki motornya.
Di perjalanan pulang mereka tetap membisu, sesampainya di depan rumah Devid ia langsung memarkirkan motornya di halaman, Acha pun turun, tetapi lengannya dicekal oleh Devid.
"Paan?"
"Masuk dulu, tolongin gua."
Acha mengerutkan keningnya, dengan cepat Devid menariknya masuk ke dalam rumah.
"Kalian udah pulang?" sambut Dinda masih bersama kue-kue buatannya di dapur.
"Iya, Ma!" jawab Devid sembari menyampirkan jaket hitamnya ke lengan kursi ruang TV.
"Acha, gimana kebayanya?"
"Ada, Tan, cantik loh, tapi Devid tadi gak mau ambil foto, Acha!!"
"Heh! Tadi, kan, lo yang ngeloyor ke belakang aneh banget!" sela Devid tak terima disalahkan.
"Itu gara-gara elo manggil gua, 'Changcuters', ya, pastilah mood gua ambyar deket pramuniaganya, lagi!" jelas Acha sembari mendekap tangannya di dada.
Devid meniru-niru cara bicara Acha membuatnya semakin naik darah, ia pun duduk di depan TV yang sedang menyiarkan sinetron.
"Udah, gak usah diperpanjang, nanti juga Tante liat di hari H," ucapnya menenangkan. "Bukannya kamu mau nginep di sini, Cha?"
"Nah, tuh! Lo juga mau nginep!!" seru Devid mengacungkan remote TV merasa menang.
"Ihh ... tai kuda!! Gua mau pulang ajalah!" umpat Acha mulai angkat kaki.
Di dapur Dinda hanya bisa geleng-geleng melihat tingkahnya.
"He, Changcuters! Gua minta bantuan bego!!"
"Tauk!"
Segera Devid bangkit membawa kembali kantung yang tadi berisi pewarna rambut, berlari mengejar Acha yang sudah menuju rumahnya di sebelah.
"Ngambek mulu ...," goda Devid berjalan beriringan.
Acha menghentikan langkahnya dan berkata garang, "Lo mau apa, sih?!"
"Balik lagi, yuk! Gua minta maaf and minta tolong ama, lu!" jawabnya dengan mengapitkan kedua tangannya memohon.
Acha mendengkus sebal. "Berani bayar berapa, hah?!" tanya Acha mengingat kebiasaannya sejak kecil selalu ada jaminan uang recehan.
"Kuota sebulan gua yang beliin, deal?!" Disodorkannya tangan untuk mengajak berjabatan.
"Deal, dong!" jawab Acha menjabat tangan Devid keras.
"Ok!"
Mereka pun saling bergenggaman tangan tertawa geli karena tingkah yang masih kekanak-kanakan itu, menuju kolam renang yang ada di halaman belakang rumah Devid.
"Ngapain, sih?" tanya Acha masih penasaran.
"Lo tunggu di sini, ya, gua mau ambil sesuatu dulu di kamar!" Devid pun berlari dengan tangan kiri masih menjinjing kantong kresek yang entah apa isinya pikir Acha.
Acha memilih duduk santai di pinggir kolam, menenggelamkan setengah kaki membiarkan celana jinsnya basah.
"Basah dong celana, lo!" ucap Devid duduk di samping Acha menggenggam sisir rambut dan peralatan yang entah untuk apa.
Acha mendongak. "Biarin seger juga, nih!"
Dikeluarkannya bungkusan yang membuat Acha kepo banget dengan isinya. Sudah terkumpul pula alat-alat yang dibawa Devid dari kamarnya, seperti kaca kecil, wadah khusus kacang polong, dan sendok.
"Lo mau warnain, tuh, rambut?!" terka Acha melihat produk yang sangat terkenal itu.
"Napa? Tambah ganteng?" goda Devid terkikik.
"Ganteng pala, lu!"
"Hahaha, biar beda gitu, elo, kan, pake make up, nah, gua pake aja pewarna rambut!"
"Kenapa warnanya ijo? Biasanya anak nakal lo misalnya, warna kuning atau apalah gua kagak tau!" jelas Acha seraya mengibaskan tangannya ke depan muka Devid.
"Kan, biar couple sama kebaya, elo!"
Acha menyipitkan matanya curiga. "Kok gua? Bukannya pasangan sehidup semati lo itu Kanada, ya!" gurau Acha meledek nama pacar Devid yang terakhir, Nada Syahita.
"Calon putih abu masa pacarnya yang lama, yang baru dong, Chang!" jawab Devid sok ganteng.
"Tai kuda! Udah kagak laku juga sok mahal, lu!" ledek Acha mulai membuka bungkusan pewarna rambut itu.
"Sebagai sahabat, masa gak ada hati liat Changcuters gua kagak punya pasangan waktu perpisahan? Sahabat macam apa gua ini?!" jelas Devid merutuki nasib yang akan mendatang jika dirinya tetap bersama kekasih kecilnya.
"Lebay, lu!"
"Udah bantuin gua aja, nih, susah kayaknya."
Mereka pun sibuk membaca cara memakainya, karena itu hal baru bagi mereka.
Tunggu cerita selanjutnya, ya jangan lupa vote and komen 😙😙
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Подростковая литератураPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...