165. Pesta Pernikahan Bram

44 7 3
                                    

"Ternyata bahagia yang terasa itu nyata. Bukan imajinasi, apalagi halusinasi."

Di parkiran, agar menambah kesan romantis Devid memilih mengajak Acha malam sabtuan dengan sepeda motor. Agar dia dapat merasakan pelukan dari sang istri yang lama tidak ditemui. Suasana malam sabtu yang terasa dingin membekukan, tak menjadikan Devid ataupun Acha membatalkan acara keluar mereka berdua.

Sebuah mall menjadi tempat sasaran, membeli barang yang dibutuhkan esok hari. Juga siap memenuhi lemari Devid yang lama dihuni baju yang sudah kekecilan, gerak gerik keduanya tak tergambar sudah menikah dan memiliki satu anak. Rasanya semua orang memandang mereka masih duduk di bangku kuliah berada di zona pacaran, anak remaja yang izin ke orang tua menginap di tempat teman, ternyata main keluar bersama pacar.

"Ihhh gua bilang stroberi!" rajuk Acha, mendapati es krim yang dimintanya salah rasa.

"Udah gua abisin, lo lama, sih, ke toilet kayak ketiduran sejam!" protes Devid.

"Rasa coklat 'kan punya elo? Kok, ngabisinnya es punya, gua!" komentar Acha tak terima.

"He! Kalian cepet pulang, gak baik masih main di luar udah tengah malam!" tegur seorang wanita yang diperkirakan sudah 50 tahun umurnya.

Acha dan Devid hanya mampu menahan tawa. Apakah mereka berdua terlihat sebagai remaja tanggung yang masih berkeliaran di malam sabtu ini? Sambil mempermasalahkan es krim yang salah rasa? Setelah kepergian wanita yang menjinjing belanjaannya itu keluar mall, barulah Acha dan Devid baru bisa terbahak.

"Kayaknya, tuh, si ibu nganggep gua anak SMA, deh!" tebak Acha, mengingat tubuh mungilnya.

"Enak aja dia cuma liat lu doang, gua juga punya wajah yang enak dipandang alias babyface! Awet muda, anjay!"

"Gua juga awet muda! Emang ada bahasanya awet tua, ha?"

Malam sabtu bagi keduanya berjalan menakjubkan, tawa bahagia menjadi teman perjalanan pulang. Sampai Acha kembali memeluk pinggang Devid, memiringkan kepalanya di panggung lelaki nyata miliknya. Beruntung malam sabtu ini tidak terlalu banyak kendaraan dan polisi yang berjaga. Jadi, Acha dan Devid merasa aman tanpa memakai helm.

"Dev!" panggil Acha.

"Hem?"

"Lo gak amnesia lagi, kan?"

Devid mengembuskan napasnya kasar. "Masih ragu aja, nih, anak! Buktinya gua masih inget alamat apartemen, nama lo terus anak kita. Apalagi, ha? Si Bram juga masih inget, dia yang masukin lo ke MAPALA biar bisa ketemu ama gua, kan?"

Acha mengangguk cepat. "Eh, gua baru sadar! Kita kan belum ngabarin keluarga? Lo gak kangen apa sama nyokap?"

"Oh, iya, anjir! Gua kangen banget sama lo, siii jadi lupa ama nyokap sendiri!" teriak Devid baru mengingat, bahwa ibunya sendiri belum ia temui.

"Tenang aja, sebelum mereka dateng gua bakal bilang. Jangan ada yang nanya cerita panjang kehidupan lo di luar sana!"

"Thanks, ya, gua juga bakal tunda pertanyaan gimana cerita lo sama bayi mungil kita dulu."

Acha memainkan ujung baju kaos yang Devid pakai. "Lo janji, 'kan gak bakal ninggalin gua lagi?"

"Gak bakal, Changcuts ... kalo perlu waktu gua mo mandi juga lo harus ikut!"

Acha menepuk keras bahu Devid. "Serius, ih!"

Tangan kiri Devid segera menggenggam jemari Acha yang terasa dingin. "Iya, gua akan selalu pergi sama lo, gak bakal ke mana-mana lagi, kok!"

Acha mengulum senyum. "Gua gak lagi mimpi, kan?" tanya Acha.

"LAGI NGIGO!" balas Devid kesal karena Acha kembali mengulang pertanyaan yang membuatnya bosan.

Sampai di apartemen tepat pukul satu malam, Devit sudah nyenyak sambil memeluk gulingnya. Karena sama-sama mengantuk, Acha dan Devid segera membersihkan diri terlebih dahulu, lalu merebahkan tubuh dan saling memeluk. Enggan terpisahkan, takut salah satu diantaranya hilang kembali.

Tak ada percakapan lagi, Acha semakin menyelundupkan kepalanya mengendus dalam aroma tubuh Devid dan tak lama kedua matanya mulai terpejam. Namun, tidak dengan Devid hati kecilnya terus memuji nama Allah, bersyukur karena malam ini dunianya sudah kembali. Nyata tak ada lagi mimpi buruk di setiap malam.

"Gua bingung harus cerita dari mana," gumamnya, lalu mengecup puncak kepala Acha. "Masih pendek aja lo, Changcuts ...."

Langit yang menghitam dihiasi kerlap-kerlip bintang perlahan tergantikan, oleh sinar fajar dan satu per satu lampu rumah ataupun bangunan percakar langit mulai redup dimatikan. Memaksa kelopak mata mengerjap cepat, dering alarm menggema membuat sesosok mungil meregangkan otot tubuhnya. Tangannya menggapai, mencari tubuh lain di kegelapan kamar tanpa penerang.

Ketakutan mulai merasuki, Acha segera terduduk menarik gorden kamar agar bisa menerangi gelapnya ruangan. Tidak ada tubuh lain di kamarnya. Tidak ada lelaki yang terbangun dari tidur lelapnya. Tatapan Acha mencari-cari keberadaan barang milik Devid. Ransel hitam hilang! Bukankah tadi malam menggantung di samping jaket Acha?

"Gak mungkin! Devid pasti lagi di dapur!"

Acha segera berlari keluar. Namun, di dapur tidak ditemukan sosok Devid yang ia cari. Sampai kupingnya menangkap suara siulan dari luar balkon, Devid dengan santai sedang menjemur beberapa baju kotornya dan ransel hitam miliknya ternyata siap dijemur! Ah, Acha bernapas lega.

"Kirain ke mana!" ketus Acha seraya duduk di salah satu kursi samping jemuran.

Devid menoleh. "Lima menit lagi azan subuh, biasanya Devit jadi imam?"

Acha mengangguk, rambut sebahunya masih berantakan dan Devid baru tersadar rambut Acha sudah dipotong pendek.

"Sekarang gua yang jadi imam, tenang gak lagi mimpi, kok!" sindir Devid mengingat pertanyaan Acha yang selalu mempertanyakan apakah ia sedang mimpi?

Acha mengerucutkan bibirnya kesal, lalu pergi siap mengambil air wudu. Di samping ruang TV sekarang terhampar tiga sajadah. Devit yang baru bangun sedikit terperanjat melihat kehadiran Devid yang sangat baru di kehidupannya.

"Yuk, kalo salat harus tepat waktu," ajak Devid.

"Iya, Pa, bentar." Devit pun berlarian, memasuki kamar mandi.

Acha keluar dari kamarnya dibalut mukena berwarna putih bersih, segera berdiri di barisan paling belakang tidak lama Devit menyusul dengan sarung hitamnya.

Iqamat dilantunkan, takbir bergema diakhiri salam yang menenangkan jiwa. Awal hari yang diharapkan semua keluarga, salat berjamaah, membereskan rumah bersama-sama sampai sarapan penuh tawa. Diakhiri siap menghadiri pernikahan Bram yang sangat dinantikan, apakah Bram akan terkejut dan tidak memercayai kehadiran Devid di samping Acha?

Beruntung tadi malam, Acha memilih baju batik yang sama dengan kemeja Devid, sedangkan Devit memilih latihan renang bersama temannya. Ia enggan mengganggu hari bahagia bisa berduaan antara papa dan mamanya.

"Kamu serius gak mau ikut? Kemeja yang mama beliin juga cukup 'kan di badan kamu."

Devit menggeleng. "Enggak, deh, lagian Papa udah ada buat Mama sekarang."

Acha mengelus sayang puncak kepala Devit. "Ya udah, mama berangkat dulu." Dikecupnya sayang pipi kanan Devit.

Setelah Acha keluar, Devid pun membuntuti. "Bilang aja mau maen sama cewek!" sindir Devid sebelum menutup pintu.

"Cewek yang mana," gumam Devit seraya menyambar handuknya siap membersihkan diri.

Di tempat lain, suasana gedung pernikahan Bram dan Anya sudah dipenuhi hiasan elegan yang bisa ditebak bukan pesta pernikahan biasa. Deretan mobil seharga langit memenuhi parkiran, Devid membukakan pintu mobilnya untuk Acha.

"Andai pesta topeng, pasti Si Bram kepikiran siapa yang dateng sama lo ke sini!"

Acha tersenyum kecil. "Gak usah ditutupin! Gua bisa pamer sama dia!"

Tangan kanan Devid menarik pinggang Acha untuk mendekat. "Ok, mari kita buktikan Acha Sastro Marisa itu ... masih dan selamanya akan tetap milik?"

Acha menoleh. "Devid Prabu Androno, dong ...."

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang