54. Jatuh Lagi

251 35 2
                                    

"Seenggaknya, gua butuh penyemangat gak sampe pacaran, kok, cuma deket gak lebih, Dev."

Acha

"Richard, anak dari istri ke duaku."

Bukan bom atom yang meledak. Devid tak bisa menahan emosi, entah datang dari mana—seharusnya ia menghajar Prabu. Namun, kekesalannya tak dapat ditahan sebuah bogem mentah begitu saja mendarat di rahang Richard yang tak siap. Ia langsung tersungkur ke lantai.

"Devid!!" jerit Dinda.

Jantung Devid sudah tak beraturan, ia pusing harus menyalahkan siapa. Hingga emosinya mengingat Acha mulai menyukai Richard membuatnya menghajar beberapa kali hujaman tinju sampai ke perut dan mulut Richard. Prabu dengan cepat menahan tinju yang akan diberikan Devid lagi, memberikan kesempatan anak tirinya untuk berlari keluar.

"Lepas, Brengsek!" umpat Devid, mencoba melepaskan cengkraman Prabu yang kuat.

Tak segampang itu, Prabu menahan kedua tangan Devid di belakang punggungnya, sampai Richard menghilang dengan berlari tertatih-tatih. Di luar, langit semakin menghitam. Warna jingga sudah menghilang, Richard tak tahan kembali berjalan, hingga kedua tangan seseorang menahannya berdiri bersandar di tembok pagar.

"Ric, lo kenapa?"

Suara Acha, ia terdengar gemetar menatap lebam di sudut bibir Richard, sedangkan matanya masih tertutup merasakan denyutan di perut. Acha pun memapahnya ke dalam rumah, karena tubuh yang jangkung sangat menyulitkan Acha, perlahan Richard pun menggerakan tubuh yang terasa remuk itu.

Di kursi ruang tamu, Richard terbaring lemah sambil memegangi perutnya yang beberapa kali Devid pukul. Ia pastikan besok takkan bisa memasuki kelas, dan parahnya lagi ulangan harian akan dimulai. Acha berlarian menghampirinya membawa sebaskom air hangat dan obat-obatan.

Perlahan, Richard mulai duduk bersandar. Acha dengan cepat membasahi kain dengan air hangat lalu memerasnya, ia ragu untuk membersihkan bercak darah tepat di sudut bibir Richard. Namun, dengan mendengar ringisannya Acha pun mendekat, sampai kain putih di tangannya menempel di sudut bibir yang robek.

"Aww!" pekik Richard meringis.

"Maaf, mau dilanjutin?" Acha tersentak menahan tangannya.

Richard hanya mengangguk. Tangan Acha membersihkan kulit yang sobek itu, hingga tatapannya terkunci kepada tahi lalat yang berada di ujung hidung Richard. Untuk pertama kali Acha merasa dekat, aroma napasnya terasa hingga bola mata di depan yang menggantikan semua.

Mereka berdua terpaku. Baru disadari oleh Acha, semenjak ia mengenal Richard hanya ada permusuhan tanpa menatap dalam bola mata satu sama lain. Warnanya biru gelap, karena ruang tamu tak menampakkan lampu yang menyorot tajam. Membuat Acha tenggelam, mendati cahaya kecil di dalam biru gelap sana.

"Acha."

Richard menyadarkannya, ia tergugup lalu mulai memberikan plester kecil di luka Richard. Selesai membereskan barang yang diperlukan, mereka sama-sama terdiam. Tak ada yang mampu membuka percakapan, degupan jantung Acha masih berpacu dengan cepat. Apakah benar, cinta dari mata turun ke hati? Pikir Acha.

Acha memainkan dasi yang masih terpasang. "Lo ... berantem sama Devid, 'kan?" tanya Acha tanpa memandang langsung pemilik mata biru tua itu.

Richard menelan ludahnya kasar. "Tau dari mana?"

"Siapa lagi? Dia nyuruh buat lo ngejauh dari gua, 'kan?"

Alis tebal hitamnya mengerut dalam. Mengapa Acha berpikir seperti itu? Pikirnya. Sampai sebuah ide terlintas, Richard akan membuat Acha benar-benar menjauh darinya. Lewat dari apa yang Acha tuduhkan barusan, agar tak mencurigainya sebagai teman yang tak mau berdekatan, kecuali bersama Reina, teman sebenarnya.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang