72. Hanya Déjà Vu

114 24 11
                                    

"Semoga, di awal perkenalan ini, semua rintangan untuk kembali mengingatkan, sangat gampang."

Langit telah merubah warnanya tidak lagi bersinar cerah, disertai sengatan matahari yang menyengat. Hitam, tetapi dipenuhi beberapa bintang di atas sana. Jarum jam sudah menunjukkan tepat pukul 17.40 sangat di luar dugaan. Namun, bagaimana lagi, tadi Devita yang banyak beristirahat, ia sedikit terkilir di pergelangan kaki kanannya. Jadi, cara berjalannya menghambat perjalanan. Sampai, rombongan kedua pun bisa berdekatan dengan mereka. Langit yang semakin gelap, membuat kak Bubun menghentikan perjalanan.

Memerintah untuk memasang headlamp dari sekarang. Karena, takut terjadi sesuatu. Jika, menunggu langit benar-benar menghitam dan di samping kanan kiri, tidak bisa memastikan di mana jurang yang menunggu korban dan jalan landai. Setelah beristirahat sejenak mereka kembali melanjutkan pendakian. Rasanya cuaca di sana sangat benar-benar dingin, jaket telah dipasangkan, tetapi baju yang basah oleh keringat membuat beberapa pendaki masih kedinginan. Track yang dihadapi tanjakan curam dan bebatuan, mereka sangat berhati-hati apalagi sekarang malam.

Acha yang mengira-ngira jalan bebatuan di depan mencoba berhati-hati. Hampir, tubuhnya oleng ke samping kiri di mana jurang diam-diam menunggu pendaki jatuh ke dalam. Kedua bahu Acha terasa ditahan dari belakang, seseorang menolongnya dari maut. Acha berbalik, mendapati Devid yang tersenyum tenang.

"Hati-hati," pesannya.

Hingga di depan, sudah banyak tenda yang berdiri kokoh berwarna-warni. Devita sangat tidak sabaran, ia berlarian dan sialnya, kaki yang tadi terkilir masuk ke dalam lubang.

"Aaa!" jerit Devita.

Devid yang berada di belakang Acha, segera membantu temannya itu. Devita dengan wajah meringis mencoba menahan tangisan. Kakinya semakin parah, di depannya Devid mencoba mengurut area paling menyakitkan itu. Seperti yang biasa dirasakan, terkilir itu tidak gampang memberikan bekasnya. Jadi, Devid hanya meraba-raba asal, sedangkan Devita memejamkan matanya kuat. Kak Bubun pun menghampiri, memerintah untuk membawa Devita ke tenda salah satu pendaki di sana.

Tanpa membuang waktu, seorang Devid membopong Devita sampai masuk ke dalam tenda. Acha diam mematung, apakah ia pernah dibopong oleh Devid? Apakah Devid pernah sekhawatir itu kepadanya? Lamunan Acha terhenti, kala Wisnu mengajaknya untuk siap mendirikan tenda. Karena tahu keadaan Devita yang tidak memungkinkan membantu, dengan terpaksa Acha dibantu juga oleh kak Bubun. Lelaki itu juga sedikit pendiam, tidak banyak bicara, hanya memerintah sesuatu yang diperlukan lalu fokus dengan kegiatannya lagi.

Rombongan kedua sudah datang, mereka bersyukur membawa anggota lainnya aman sampai di perkemahan. Keberuntungannya lagi, tidak banyak pendaki yang mendirikan tenda di sana. Jadi, masih muat untuk 20 orang anggota itu. Bram menghampiri Acha, menanyakan keadaannya. Apakah ada yang sakit atau ada sesuatu yang terjadi? Acha menggeleng lemah dan meyakinkan ia baik-baik saja. Lalu, lelaki itu pun mencari keberadaan Devid dan menemukan berduaan di luar tenda, sedang mengurut pergelangan kaki kanan Devita.

"Kenapa, oi!"

Devita dan Devid meliriknya. "Biasa, cewek gak bisa diem!"

Devita mendengkus. "Kecelakaan! Emang gua pengen kayak gini, ha?" balas Devita dengan wajah jutek, tapi masih terlihat kecantikannya.

"Terus mau lanjut ke puncak?"

"Nah, kan, jawab!"

Sekarang Devita yang terdiam, ia masih merasakan rasa ngilu. Jika, menggerakkan kakinya itu, tetapi ia ingin menaklukan puncak atap Jawa Barat.

"Kalian mau ninggalin gua gitu? Matahin semangat gua dan gagal naklukin puncak Ciremai?"

Bram dan Devid saling berpandangan. "Semangat ... kita selalu ada buat Putri, kok," balas Bram menyemangati Devita, dengan wajah yang dimanis-maniskan.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang