88. Cara Yang Salah

107 26 9
                                    

"Dekat boleh, tetapi jangan menghakimi, yang dekat menyukai."

Langkah Devita cepat memasuki pekarangan rumah Devid yang terlihat bersih tanpa dedaunan dari pohon rindang, berserakan tidak enak dipandang. Dibukanya pintu dengan cepat, mendapati bayangan Dind berada di dapur. Devita langsung menghampiri seraya mencari-cari keberadaan seseorang yang dari kemarin menghindar, semenjak sore disertai hujan, Devid tidak lagi menghubungi.

Dinda berbalik, mendapati raut wajah Devita yang mencari-cari. Sudah dipastikan gadis itu akan bertanya Devid di mana dan ia tidak tahu. Tadi pagi, Dinda tidak mendapati Devid di kamarnya. Sudah beres saja kamar bernuansa monokrom itu. Menyisakan parfum yang biasa dikenakan, sedangkan suara motor yang keluar, tidak terdengar. Devita mendekati Dinda, ternyata ibu satu anak itu sedang membuat kue bronis cokelat.

"Kamu cari Devid?"

Devita mencomot sedikit cokelat hasil parutan. "Iya, dari kemaren aku telepon enggak diangkat mulu."

"Tadi malam, sih, dia kehujanan, tante kira bareng kamu keluar."

"Serius?" Padahal, tidak ada janji pertemuan dengan orang lain dalam daftar. Jika, memang ada pun Devita harus datang juga, atau jangan-jangan Devid pergi dengan perempuan lain? Batin Devita.

"Iya, dia kehujanan tapi enggak cerita udah dari mana."

Sekelebat bayangan Acha yang kegatelan membuat Devita menegakkan tubuhnya. Diam-diam ternyata mereka ketemuan? Gitu, ya, Devita akan menceritakan sekarang juga. Karena akan lebih gampang, Dinda membelanya dan nama Acha menghilang selamanya.

"Pasti sama cewek kegatelan itu!" ketus Devita, mengingat Acha yang dekat-dekat kepada Devid.

Dinda mendongak, menatap langsung raut wajah Devita yang kentara menahan cemburu. "Cewek mana? Biar tante yang basmi, hahaha."

"Ihh ... Tante! Serius dong, Vita kesel sama cewek yang namanya, Acha!"

Seketika, ingatan masa lalu mulai berdatangan. Ketakutan Devid yang mengingat kebenaran dan menyadari apa yang dia ucapkan adalah bohong belaka. Dinda menyimpan pisau hias untuk kue, ia mengajak Devita menceritakan siapa Acha yang disebutkan. Dari awal, sampai pertemuan terakhir mereka. Hingga, Dinda meminta apakah mereka pernah berfoto? Dan detik itu pula, ketakutan Dinda menjadi nyata. Potret kebersamaan anak MAPALA menyembul wajah yang tidak bisa ia lupakan, wajah yang berada di dalam rekaman CCTV bersamaan truk menghantam Devid sampai terpental.

Sesak dada Dinda mengingatnya. Ia menjauhkan potret itu kepada Devita, matanya kosong, takut Devid diingatkan tentang masa lalunya. "Kamu tahu di mana rumah perempuan itu?"

Devita menyelipkan ponselnya ke dalam saku jins. "Dia ngekos, Tan, katanya enggak jauh dari UI."

Jadi, Acha masih dengan cita-citanya. Ingin menjadi novelis, itu yang Dinda ingat selama bertahun-tahun hidup bersama. Namun, semenjak kenyataan bahwa Acha terlibat dalam kecelakaan, tetapi seolah bungkam tidak tahu menahu, tercipta kesal yang harus dipendam. Ia memilih menjauh pergi, menciptakan kehidupan baru, dengan cara melenyapkan ingatan Devid tentang masa lalu, lewat obat racikan dokter yang dipercayai.

Setelah mengirimkan nomor ponsel Acha, Devita izin untuk pulang saja. Ia harus latihan tes vokal, mengingat minggu depan akan menjadi penyambut acara besar. Seharusnya bersama Devid, tetapi lelaki itu tidak ada, dengan terpaksa Devita melangkah pergi masuk ke dalam rumahnya. Di atas sofa, Arinda sedang melihat beberapa potret seorang lelaki berkacamata. Dia adalah kakak perempuan Devita, umurnya hanya berbeda dua tahun saja. Jadi, sedikit masih bermanja-manja.

Devita duduk bersandar ke sofa, melihat kelakuan kakaknya. Ternyata yang dibicarakan teman sekampusnya memang benar, dosen Sastra Indonesia memang tidak ada tandingannya. Apalagi mengingat statusnya yang masih kosong, tidak pernah ditemui berjalan dengan perempuan lain. Ah ... idamannya, Arinda pun menyimpan beberapa foto dosen itu, Devita sempat melirik dan tidak mengenali siapa dosen yang dimaksud.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang