"Marah? Menjauh karena kecewa? Mungkin jangan dulu jika urusannya sedang memperjuangkan seseorang. Yang kerap orang bilang, dibutakan oleh cinta"
Sesampainya di dalam apartemen, Devit segera membersihkan diri. Ia melihat Acha sedang duduk ditemani secangkir kopi yang masih mengepul dan pastinya adalah kopi hitam pahit. Menatap kosong ke depan, tak mempedulikan kedatangan Devit. Hanya alunan lagu yang terputar dari ruang televisi mengisi ruangan, sampai Devit selesai membilas tubuhnya dengan cepat.
Berhenti menatap sendu keadaan ibunya di luar balkon, jam dinding sudah menunjuk pukul enam sore. Menandakan langit tak lama akan menghitam, memaksa semua aktivitas berhenti sejenak untuk mengistirahatkan diri juga beribadah wajib sebagai seorang muslim. Sayup-sayup kuumandang azan terdengar di kejauhan, Devit sudah biasa menjadi imam bagi Acha.
Untuk kesekian kalinya, Acha berbalik malas mendapati Devit yang sudah siap dengan sarung dan peci duduk di atas sajadah. Tanpa menunggu lama ia segera mengambil air wudu. Menghirup udara dalam-dalam, mulai mempersiapkan diri menghadap kepada Tuhan. Percaya keajaiban sedang menanti mereka di depan sana. Balasan sepuluh tahun menunggu bersabar, setia mempertahankan niat tak pernah melupakan.
"Assalamulaiakum," salam Devit.
Acha mengikuti gerakan salat akhirnya, lau mulai zikir. Diakhiri Devit yang mencium punggung tangan kanannya dalam. Acha siap melapas genggaman Devit itu, tetapi Devit sengaja menahannya, lalu mendongak menatap ibunya serius.
"Jangan nyerah gitu aja, Ma," pintanya.
"Maksud kamu?" tanya Acha bingung.
"Kita bakal nunggu, papa pulang, kan?" harap Devit.
Acha memalingkan pandangannya, bingung harus menjawab apa. Bukan saatnya mereka membicarakan masalah yag sudah biasa bagi keluarganya, masalah yang masih saja berharap akan kedatangan Devid yang dinanti. Padahal sangat tidak mungkin kembali, sudah sepuluh tahun. Ditambah informasi bahwa beberapa penumpang dinyatakan tidak ditemukan.
Termasuk Devid yang dinantikan. Mungkin, lelaki itu adalah jasad yang tak ditemukan? Jasad yang mati tenggelam? Jasad yang sulit dievakuasi sampai sekarang? Mustahil juga, jika pencarian dilakukan kembali setelah sepuluh tahun lamanya tragedi pesawat yang jatuh ke lautan luas di sana. Richard yang meminta Devid ke Jerman saja nampak tidak peduli, apalagi orang-orang yang bertanggung jawab di sana?
Sekarang dan sampai kabar Devid dikabarkan, mereka berdua memang harus terbiasa menanti. Jangan juga berharap lebih, tetapi Acha sudah tenggelam dalam harapan yang tak dikabulkan dengan cepat oleh Tuhan. Manusia itu pasti merasakan bosan jika lama yang diharapkan tak kunjung datang, berakhir menyesal. Mengapa tidak belajar ikhlas dari dulu? Mengapa harus berharap melulu?
"Ma," panggil Devit, menyadarkan Acha yang bingung harus menyerah atau kembali berjuang. "Kita bakal set—"
"Dev," potong Acha, "jalani saja, jangan pikirkan apa yang mama bilang. Anggap saja angin lalu, kamu juga tau, bukan? Sepuluh tahun lamanya tanpa kepastian atau satu saja harapan yang bisa membuat mama kembali berjuang!"
Devit tahu, Devit sadar bahwa ibunya akan merasa bosan pada waktunya, merasa sangat bodoh menangisi segalanya. Tugasnya, jangan memaksa seseorang biarkan mereka berjalan sesuai keinginan. Devit mengangguk paham, ia segera melepas genggamannya. Acha sendiri memilih diam di atas sajadah. Masih dengan tatapan kosong, tetapi dalam diam ia selalu membatin, memohon kepada Tuhan cepat kembalikan Devid kepadanya.
Di dalam kamar, laptop sudah menyala menampilkan beberapa pesan masuk ke email. Yang menurut Devit penting segera dibalas satu per satu. Sampai ia pun menyalakan ponselnya, membuka instagram lagi-lagi banyak permintaan dari beberapa orang yang sama sekali tidak ia kenal. Ya, Devit sengaja mengunci profilnya. Agar bisa memilih, tidak semua orang bisa mengikutinya lewat media sosial.
Bukannya sombong, di usianya yang baru menginjak remaja ia fokus mengurusi banyak beberapa prestasi yang harus digapai. Bukan membanggakan tampang, seperti Devid papanya dulu. Ternyata ia memiliki sifat enggan dikenal banyak orang dari Acha, sedangkan fisiknya benar-benar menurun dari Devid seorang.
"Penggemar novel THANKS MOM?" Devit mengeja salah satu bio dari seseorang yang meminta persetujuan darinya, siapa dia?
Dilihat dari beberapa postingan pemilik akun itu sudah lima kali memposting bab pertama dari novel karangan Devit. Seulas senym tersungging, apakah itu pertanda bahwa Devit sudah memiliki penggemar yang menyukai tulisannya bukan tampangnya? Semoga saja dan tanpa berpikir ulang, Devit menyetujui akun instagram bernama Anindita untuk mengikutinya.
Baru juga Devit selesai mengkonfirmasi, tiba-tiba pemberitahuan datnag begitu cepatnya dari akun yang sama. Memberikan boom like, Devit mengerutkan keningnya dalam, lalu memilih mematikan data di ponselnya. Kembali ke rutinitas biasanya, mengecek tugas sekolah sebelum berleha-leha dan merebahkan diri bergelungkan selimut tebal.
"Dev." Acha mendorong pintu kamar Devit, melongok menatap anaknya yang duduk di kursi meja belajar.
Devit menoleh. "Ya, Ma?"
Acha menghirup udara dalam sebelum berkata, "Besok, kamu mau temenin mama ke Bandung?"
"Devit, besok masih sekolah. Mama, juga 'kan ngajar," ujarnya.
"Kita bisa izin dua hari, mau, kan?"
Ada apa sebenarnya? Apa jangan-jangan Acha akan meminta restu kepada ibunya untuk menikah dengan Bram karena sudah menyerah akan penantian panjangnya? Ah, jangan sampai! Devit akan menolak cepat jika itu tujuannya.
"Devit gak bisa," tolaknya, seraya kembali berbalik memunggungi Acha.
"Ya udah, mama pergi sama om Bram," putus Acha sambil menutup pintu kamar.
Sial! Mengapa harus bersama Bram? Ada apa memangnya di Bandung? Toh, jika ada kabar tidak diharapkan pasti Sinta juga menghubungi Devit juga, bukan? Lalu sekarang Acha ingin ke Bandung di waktu yang tidak tepat. Bukan hari libur apalagi cuti sesuai kalender. Besok adalah hari kamis. Jadi, Devit akan sendirian?
"Kamu udah besar, bisa masak sendiri dan cuci baju sendiri, kan?"
Pertanyaan Acha waktu lalu terngiang. Memaksa Devit agar bisa hidup tanpanya. Namun, apa jadinya jika Devit membiarkan ibunya dalam keadaan tidak baik-baik saja bersama Bram? Ah! Devit mengerang frustrasi, menutup kasar buku pelajarannya, lalu menghempas tubuhnya ke atas ranjang. Memejamkan kedua matanya, berharap niat konyol Acha hanya bualan saja.
Sayang, bukan mimpi buruk yang hinggap di malam hari, lalu mampu dilupakan begitu saja. Karena, di pagi harinya, Acha sudah bersiap untuk pergi, sedangkan Bram sudah duduk manis ditemani cemilan manis di meja tamu. Penampilan keduanya sangat rapi, Devit tak perlu bertanya akan ke mana mereka. Toh, tadi malam ia diajak, tetapi menolak. Melihat kedatangan Devit yang sudah rapi dengan seragam SMP Bram melempar senyum hangat.
"Sayang banget, kenapa gak ikut?" tanya Bram.
Devit bertanya balik, "Emang kalian mau ngapain ke Bandung?"
Acha yang baru saja keluar dari kamar mandi mendekat. "Nanti kamu telat, Dev, apa perlu diantar Om Bram?"
"Gak usah!" tolak Devit cepat, raut wajahnya terlihat masam dan Bram menyadari itu.
Di dalam apartemen, tertinggal Bram dan Acha yang juga sudah bersiap pergi. Sebelum keluar, Bram ingin mempertanyakan apa yang Devit tanyakan tadi. Karena ajakan Acha malam kemarin, hanya memintanya untuk mengantar ke Bandung dan menghabiskna waktu selama dua hari.
"Lo ada urusan apa ke Bandung?"
Acha yang sedang sibuk memilih sepatu menoleh. "Emm ... gak terlalu penting, sih, tapi lo mau 'kan nemenin gua?"
Bram mengangguk. "Iya, tapi lo sebenarnya mau ngapain?"
Setelah memilih sepasang sepatu yang cocok dengan busana yang dikenakan, Acha menjawab, "Mencoba mengobati rasa rindu, di sana ada banyak kenangan bareng dia. Mungkin, gua bisa bertahan setia nunggu lagi?"
Bram tak mampu membalas ucapan Acha. Lalu, sekarang Acha menganggapnya apa? Teman yang wajib disakiti? Pura-pura tidak menyadari bahwa Bram masih mengharapkan Acha menerima cintanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Dla nastolatkówPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...