108. Maaf, Ma

71 18 0
                                    

"Awal itu hanya emosi sesaat, tetapi ingatlah seorang Ibu selalu pemaaf."

Hari yang dinantikan pun datang. Persiapan mental dan rangkaian yang akan diucapkan pula sudah ada di luar otak, tinggal mengungkapkan tujuan mereka datang. Seperti biasanya, Devid hanya memakai baju monokrom, sedangkan Acha celana panjang dan kemeja kotak-kotak. Karena Acha sendiri tidak bisa mengendarai motor ataupun mobil, ia memilih grab sampai ke Bandung. Devid masih dengan motornya. Sebelum berpisah, mereka saling bercengkerama mencoba menepis keraguan dan pastinya akan dihadapkan dengan luapan emosi nanti.

Selesai sarapan dengan telur mata sapi, mereka segera pergi dari apartemen menuju kendaraan yang akan digunakan. Melihat pesanannya sudah datang, Acha mencium kedua pipi Devid, begitu pun sebaliknya. Selanjutnya, mereka berpisah. Acha menatap lambaian tangan Devid yang semakim mengecil, sampai tidak terlihat lagi. Ia menghirup udara dalam-dalam. Sekarang menuju Kota Bandung. Di mana Sinta dan Mahendra berada. Alamat rumah yang dulu sempat didatangi masih teringat.

Reina yang mengajak mereka bermain di depan rumahnya, sambil menari-nari di bawah guyuran hujan, sedangkan ransel mereka disimpan di pos satpam. Apakah semuanya masih sama? Ada kenangan yang tertinggal juga? Ya, seperti biasa Kota Bandung diguyur hujan sebelum Acha sampai di tujuan. Embunnya menempel di kaca mobil, ia mengukir namanya sendiri dan Devid. Ternyata masih sama, tanpa Devid akan sepi rasanya. Jalanan yang dilewati mulai Acha kenali, dulu bersama Devid berlarian karena hujan, lalu menaiki angkot dengan cepat.

Begitu banyak kenangan tentang mereka. Seketika, bayangan Richard datang, pemilik bola mata biru itu membuat Acha merenung. Dulu ia menyukai lelaki itu, hanya mengagumi ternyata. Bukan cinta, yang sejatinya hanya untuk Devid saja. Mobil pun berhenti tepat di seberang sebuah pagar hitam menjulang. Tidak salah lagi, itulah kediaman ibu dan ayah tirinya. Hujan pun tersisa hanya kubangan saja, tidak lagi berjatuhan deras dari langit yang tinggi di atas sana.

Acha berdiri di trotoar, mobil yang barusan ia tumpangi berjalan menjauh ke hilir. Rumah megah itu masih sama, taman di halamannya juga terlihat terjaga. Tentulah, di sana ada seorang pembantu, bukan Sinta yang membersihkan atau merawatnya. Tubuh Acha yang masih mungil seperti anak SMA melenggang, menyeberangi jalan yang membentang. Masih sepi keadaan di sana, sampai ia menatap ke balik kaca pembatas pos satpam. Tidak ada orang yang berjaga.

Tangannya menarik pagar agar terbuka, ternyata tidak terkunci. Tidak lama kemudian, seorang lelaki dengan seragam satpamnya tergopoh-gopoh menghampiri Acha yang kebingungan.

"Maaf, Neng, ada yang bisa saya bantu?" Kedua tangan menahan panas kopi hitam miliknya.

Acha tersenyum kecil. "Saya anaknya bu Sinta, apa dia ada di rumah?"

Seketika satpam itu terbelalak, lalu menundukkan kepalanya hormat. "Maaf, Non, saya kira tamu mau ke siapa," kekehnya, seraya mempersilakan Acha berjalan lurus menuju pintu utama yang tertutup.

Oh, ya, dulu pula Acha pernah masuk ke sana bersama ayahnya. Karena akan membawa buku pelajaran miliknya, tetapi kejadian malam itu membuat malam damai menjadi tegang. Ibunya datang dengan ayah Reina sambil bergandengan. Teriakan dan jeritan menggema, Acha yang enggan mendengar menutup telinga dalam-dalam. Ayahnya menampar ibunya penuh emosi, meneriaki selingkuh dan perusak hubungan orang.

Ternyata perempuan yang merusak dan membuat ibu Reina cerai adalah ibunya sendiri. Ah, Acha tak mampu melupakannya begitu saja. Sekarang, ia tepat duduk manis di sofa yang dulu di samping ayahnya pula menunggu Reina mengambil bukunya. Namun, sekarang berbeda, ia sedang menunggu kedatangan ibunya yang katanya sudah resign sebagai sekretaris di perusahaan Mahendra. Semenjak terdengar kabar bahwa Acha kawin lari.

Dulu, terbingkai foto Reina dan Mahendra di ruang tamu, sekarang bertambah di mana ibunya bersanding dengan cantik menggunakan kebaya, sedangkan Mahendra memeluk pinggangnya dengan mesra. Pendengarannya langsung menangkap, suara derap langkah yang lamban dari lantai atas. Memang Acha tidak bisa melihat langsung siapa orangnya karena tangganya jauh dari ruang tamu. Namun, bisa ditebak itu adalah Sinta.

Penampilan ibu yang sejak dulu tidak pernah ada di sisi, membuat Acha biasa saja. Ia tidak pernah merasakan rindu yang teramat dalam. Mengingat ia sendiri sangat jauh dan bisa dikatakan mungkin mereka bukan ibu dan anak kandung. Kedua mata bengkak karena lelah menangis, rambut tersanggul acak, sedangkan setelan yang dipakai masih baju tidur. Padahal sekarang waktu tepat menunjukkan pukul satu siang.

"Acha?" Suaranya terdengar parau, khas orang yang lelah menangis dan gemetar.

Kali ini, Acha merasa iba melihat Sinta dengan penampilan yang jauh seperti biasanya. Terakhir ia berjumpa hanya waktu di rumah Arga. Namun, sekarang apa? Mengapa Sinta menjadi perempuan yang tidak memperhatikan penampilannya? Atau ibunya itu sakit? Sakit karena memikirkan Acha yang menolak perjodohan?

"Ma, maafin Acha."

Tubuh Sinta bergetar, tangis pun pecah tidak pernah disangkanya setelah beberapa bulan ini Acha hilang tanpa kabar. Secepat mungkin Acha berdiri, berlari memeluk ibunya itu. Menangis haru bersama, kedua tangan Sinta mengerat, lalu mencium dalam-dalam puncak kepala anak tunggalnya. Ke mana kemarin? Mengapa hilang? Itu yang dipikirkan Sinta.

Acha menarik ibunya duduk di sofa, ia mencium pipi Sinta untuk pertama kalinya dan Sinta kembali menangis, tidak memercayai siapa yang ada di pelukannya sekarang. Lama mereka terdiam dengan tangisan, sampai Acha mengucapkan niatnya dan menjelaskan keadaan pernikahannya dengan Devid.

Mendengar kata pernikahan Sinta langsung memutus tatapannya, berpaling menatap halaman luar, lalu Acha menggenggam jemari dingin itu. "Ma, maafin Acha ...."

Kelopak mata berkaca-kaca itu masih enggan menatap Acha. "Di usia muda ini, Acha udah ...." Jeda, ada keraguan untuk mengungkapkan niatnya datang. "Udah siap jadi seorang ibu, Ma."

Sinta menoleh tatapannya tajam. "Siapa ayahnya, Acha!"

"Devid, Ma, bukan Arga," balas Acha.

Tidak ada lagi balasan, Sinta bersiap pergi, tetapi Acha menahannya, ia langsung bersujud menghadap kedua kaki Sinta, menciumnya dalam-dalam lalu menangis di sana. Sinta terdiam, Acha meracau menjelaskan keinginannya sebagai anak yang dulu, selalu Sinta lupakan. Dulu, selalu diatur akan semua yang dilakukan. Namun, Acha minta sekarang hanya sebuah restu, ia bahagia bersama Devid. Kalaupun Sinta berkata akan lebih bahagia dengan Arga, sedangkan dirinya tidak? Bagaimana akhirnya!

"Aku sayang sama Devid, aku sayang sama Mama. Coba, ngertiin perasaan Acha, Ma ...." Sesak Acha mengucap disertai derai air mata.

Sinta luluh akan penjelasan Acha, setelah tahu bahwa Acha menikah dan dia sendiri menunggu tiga bulan apakah Acha akan datang penuh penyesalan, ternyata tidak. Malahan anaknya itu datang genap satu tahun pernikahan. Berarti bukankah mereka cukup dalam segala hal? Namun, sekarang yang diinginkan belum tergapai. Seorang malaikat kecil hadir. Jadi, Acha datang ingin meminta restu darinya?

Ditariknya Acha dengan cepat, duduk kembali bersamanya, lalu Sinta mengangguk mengiyakan, Acha yang masih meminta maaf berulang-ulang membuat Sinta kembali memeluknya. "Mama salah, Acha mama yang harusnya minta maaf. Mama gak tahu diri, Nak!"

Hujan kembali datang, mewakili perasaan yang penuh luka. Menjelaskan dan menghapus prasangka menjadi doa. Doa seorang ibu agar anaknya bahagia. Restu selama ini belum terdengar, dengan tenang dan menyadari kesalahan, Sinta mendoakan agar Acha cepat mendapat momongan. Agar dia pula bisa menimang sang cucu, Acha bukan lagi menangis karena bersalah, ia menangis bahagia sekarang. Maafnya diterima oleh sang ibu tercinta.

Tinggal si Devid, guys apakah dimaafkan 😢

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang