195. Jangan Dikasarin

16 3 0
                                    

"Makian kala amarah itu spontan, mohon maafkan jika lidah tak bertulang ini menyakiti tak disadari."

Jam tangan tak lama menunjuk tepat kumandang azan duhur akan tiba, tersisa lima menit lagi. Devit sengaja keluar dari apartemen sebelum salat zuhur karena ia berniat salat berjamaah di masjid yang mempertemukannya dengan ayah Gita dulu. Tak berharap lebih, ia hanya ingin menenangkan diri, menatap banyaknya umat muslim tergesa-gesa berdiri di shaf paling depan.

Mesin motor dimatikan, helm dibuka perlahan seperti kebiasaannya Devit langsung menyisir rambut dengan jemarinya. Lebih tepatnya merapikan. Hari minggu siang ini jalanan terasa sesak, matahari di atas sana pula sangat terik tak terbayang hangatnya kolam renang nanti yang akan Devit selami. Tatapan matanya beralih menatap deretan mobil mewah terparkir rapi di halaman depan tempat ibadah umat Kristen.

Ah, ya, sekarang kan minggu hari ibadah bagi mereka. Devit pun beranjak dari motornya, menjinjing tas tangan hitam berisi ponsel dan dompetnya. Sebelum langkah kakinya menjauhi motor, suara seseorang yang tak asing di telinga menghentikannya.

"Devit!"

Devit membalikkan badannya. "Angel?"

Angel melambaikan tangannya. Keduanya dipisahkan oleh tanaman hias yang menjadi pemisah antara masjid dan gereja. Jadi, Angel harus memutar ke depan jika ingin menghampiri Devit.

"Kamu mau ibadah?" tanya Angel.

Devit mengangguk cepat. "Lo juga?" tanyanya balik.

"Iya, tapi ... sekarang tinggal pulang saja! Kamu sama siapa? Sendiri?"

"Iya," balas Devit.

Anehnya jika bersama Angel, rasanya tak ada satu pun ide atau topik untuk meneruskan pembicaraan. Devit merasakan itu semua, apa karena mereka belum kenal dekat? Sedangkan Angel memang orangnya banyak bertanya, dalam artian senang mengajak berbicara lawannya.

"Gimana jika kamu selesai ibadah, kita pergi ke toko buku? Aku tadi liat, lagi discount all item, loh!" jelas Angel dengan wajah berbinar.

Devit menggeleng lemah. "Sorry, gua ada jadwal lain, kenapa gak ngajak Gita aja?"

Angel mengerutkan keningnya, lalu menjawab, "Kebetulan kita bertemu, aku jadi ngajak kamu, Devit!"

"Ohh, sorry. Lain kali, mungkin?"

"Gak papa! Silakan masuk, maaf mengganggu, ya!" Angel pun balik badan kembali ke pintu utama gereja yang tak pernah Devit masuki.

"Datar amat ngomong ama, tuh, cewek!" gerutu Devit lalu melanjutkan langkah kakinya, masuk ke dalam tempat wudu berakhir ke dalam masjid di mana suasananya sangat familiar, menenangkan jiwa. Memberikan waktu panjang untuk berserah diri kepada-Nya.

Selesai melaksanakan salat zuhur, Devit tak langsung beranjak pergi, tetapi ia sedikit mendengarkan ceramah dari imam yang tadi memimpin salat. "Dalam Al-Qur'an, kesabaran selalu disandingkan dengan amal sholeh. Ada diantara dalam surat Al-Baqoroh ayat 45 :"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang sabar."

"Kecuali bagi orang-orang yang sabar," ulang Devit membatin.

Kembali ke tempat yang tak terjamah Devit, di luar sana di tempat penuh sesak kerumunan manusia di mana Acha yang membuat perkara! Menghancurkan teriakan heboh penonton di samping kirinya menjadi makian tertahan dan tatapan tajam ingin menelan bulat-bulat, ada apa? Ya tentu saja karena guyuran es teh manis milik Acha yang terlempar!

"Wahhhh, Bang! Gak sengaja, nih!" Devit berteriak sebelum diteriaki balik korban yang mendapat guyuran es teh manis milik istrinya itu.

Acha tergagap tak mampu berkata apa-apa, sampai tak terasa tubuhnya sudah menjejak aspal kering. Sekarang Acha berdiri dikerumuni pasang mata yang menatapnya tajam penuh kebencian, sedangkan Devit mulai gemetar menelan ludah kasar mencoba berpikir cepat apa yang harus dikatakan sekarang!

Korban pertama dengan wajah sangar, berkaos tanpa lengan ada tato naga di ototnya. "Liat kondisi, dong! Oke kalo air putih, ini manis, anjing!" makinya.

Devit tergagap, "Maaf, Bang! Emang istri gua ini rada-rada gak bener!"

Acha menoleh cepat. "Maksud lo apa? Gua rada-rada gak bener? GILA, GITU!"

"Emang gila! Lu kan gua gendong di bawah ada orang, mana bawa minuman, ya tumpah lah, bego!" sentak Devid.

"Yaaa ... gua juga gak tau bakal tumpah, gimana, sih! Kenapa gak lu minum abisin gitu? Kan gak bakal kejadian kek gini!"

Sebentar, mengapa yang jadi adu mulut Devid dan Acha? Sedangkan korban yang basah karena es teh milik Acha hanya mampu melongo. Apakah mereka benar-benar sepasang suami istri?

"Nyalahin gua lagi! Lu yang beli es, tuh! Gocap lagi, mahal, CHA!"

"KENAPA GAK LU BAYAR CEBAN?!"

"MANA BISA!"

"BIS-"

"WOIIIII!!!!"

Sontak Acha dan Devid menghentikan adu bacotnya. Memberikan waktu bagi salah satu korban yang berani angkat bicara, ketika konser musik masih berlangsung!

"Udah, lupain aja! Nanti juga kena guyuran aer dari panggung!" Lelaki dengan tato naga di ototnya itu menepuk bahu Devid. "Cewek, tuh, jangan dikasarin, sekeras apa pun atau senyebelin apa pun!"

Hah? Apa kata dunia? Acha dan Devid saling bertukar pandang. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, mereka kembali bersenang-senang meneriakan lirik lagu! Kali ini Acha memilih menggandeng lengan kiri Devid, tak peduli dengan sosok penyanyi di panggung sana, ia hanya ingin bersama lelakinya saja.

"Sorry, ya, gua kasar banget tadi," lirih Devid merasa bersalah di sela jeda lirik lagu yang mengalun.

Acha tersenyum kecil. "Itu, tuh, spontan! Lo juga niatnya mau ngebelain gua kan?"

Devid menggeleng lemah. "Lo emang rada-rada, Cha! Tapi, gua tetep sayang ama lo, kok!" serunya diakhiri mengecup manja puncak kepala Acha.

Akhirnya konser musik yang berlangsung ramai dengan sedikit tragedi mengerikam, berakhir harmonis kembali memberikan waktu bagi semua penonton untuk keluar dari kumpulan lautan manusia menuju tempat parkiran. Kembali berdesakan, tetapi tidak dengan Devid dan Acha memilih masuk ke dalam kafe yang tak jauh dari sana.

Menghabiskan waktu berdua, tentunya mengisi perut yang terus berbunyi dari tadi. Suasana kafe nampak ramai mengingat konser musik baru selesai, tak terasa langit yang tadinya cerah dengan sinar matahari sekarang berubah warna menjadi gelap gulita. Lampu kota mulai menyala, termasuk beberapa kendaraan mencoba keluar dari parkiran.

"Besok mulai kuliah malem?"

Devid mengangguk lemah. "Sebelumnya, gua minta persetujuan pas awal daftar ke dosennya. Kalo melebihi jam delapan malem gua gak dateng, pasti kepaksa, sih, jam kuliah hari itu gua gak bisa hadir."

"Yaa ... lo tinggal usahain aja pulang lepas magrib? Masuknya emang jam berapa?"

"Jam tujuh malem, sih, lumayan kan? Tapi ... kayaknya bakal cape banget, gak, sih?"

Acha menepuk punggung tangan Devid. "Tenang, jalani aja, kalo lo gak bisa, tapi bisa mimpin perusahaan, gak usah deh susah payah luangin waktu ke kampus! Lo bisa juga kan manggil pembimbing ahli soal bisnis? Sekarang kan udah biasa sistem online, biar gak ribet gimana?"

Ada benarnya juga, tetapi Devid takut ia tidak mampu memahami semua penjelasan seseorang yang akan mengajarinya jika lewat online. Akan terasa setengah-setengah belajar mungkin? Ah, entahlah, bagaimana ke depannya saja.

"Nanti gua pikirin, deh, lo sendiri yakin mau di rumah aja?"

"Kenapa enggak? Nanti kalo gua ngajar di sekolah, pagi-pagi kayak kapal pecah gimana? HAHAH!"

Devid tak ikut tertawa, digenggamnya jemari Acha tenang. "Makasih, ya, lo selalu menjadi yang terbaik buat gua."

"Makasih juga, udah kembali ke pelukan," balas Acha tak mau kalah, bahwa ia sangat bersyukur akan kehadiran lelakinya lagi.

"Loh, Devid?!"

Acha dan Devid menoleh, mencari seseorang yang memanggil.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang