132. Sebatas Teman

25 5 0
                                    

"Teman yang selalu menolong, bukan calon teman hidup yang akan menggantikan kehadiranmu dalam pikiranku."

Andai Acha tak pernah mengenal Bram. Mungkin semuanya akan baik-baik saja, takkan menyakiti hati seseorang yang sudah berani jujur mengungkap isi hati bahwa ia benar-benar mencinta. Namun, jika andaiannya itu dikabulkan Tuhan kemungkinan juga Acha belum bisa menyadarkan Devid dari lupa ingatannya yang sengaja dibiarkan. Bahkan ditambah, agar menjauhi kehidupan di masa lalunya.

Bram dengan gampang meminta Devit menjejakkan kakinya, di mana ia menjejak barusan. Pindah menuju jalur paling kanan, dengan lihai seoalah tak membawa beban apa pun. "Ke sini aja!" titahnya, meminta agar Acha mengikutinya.

Acha yang masih di jalur paling kiri perlahan berpindah, mengikuti Bram. Ia sudah pasrah menurut saja karena di sana benar-benar sulit, ingin kembali ke bawah, tetapi sudah berada di pertengahan tanjakan, ingin ke atas kaki sulit mau di kemanakan. Hingga Acha berhasil mencapai ke jalur kanan. Mulai ancang-ancang langsung lompat ke depan, di mana Bram bersiap menggapai tangannya, sedangkan Devit sudah merebahkan tubuhnya kelelahan.

Terpaksa Acha menerima uluran tangannya, dengan penuh kehati-hatian, digenggamnya oleh Bram kuat dan langsung maju. View-nya terasa ada di film Teletabis. Jadi, bukitnya terlihat jelas menonjol. Sayang, ada beberapa bukit yang longsor, dari kejauhan seperti jalan beraspal, padahal nyatanya itu pasir hitam atau pasir yang hilang rumput hijaunya.

Tangan berotot Bram sudah tak bisa dihitung lagi, bagaimana ia menarik dan menjaga keseimbangana Acha ataupun Devit yang sekarang sudah merebahkan diri. Tepat di atas 1721 MDPL Pos 1 Panyawangan. Ternyata di pos 1 itu ada sebuah shelter. Keindahan ladang sayuran tertata rapi, berjejeran sesuai aturan. Ada juga terlihat di kejauhan sana para petani membungkuk.

Mengangkat ramai-ramai pupuk, sampai mulai memanen tanamannya. Acha menghirup udara dalam-dalam. Sungguh! Tanjakan yang berhasil dilalui dengan susah payah membuatnya lelah. Mereka memang berjalan seolah menciptakan gundukan baru, untuk ditapaki. Mengingat jalurnya adalah bukan yang lama karena sudah tertimbun longsoran dan banyak lubang.

Terpaksa para pendaki harus rela menapaki gundukan baru sesuai perkiraan. "Eh, ada kabut, kayaknya di atas mau hujan," tebak Acha, Bram melihat sekeliling membenarkan tebakannya.

"Iya, lagian kata yang di bawah juga lagi suka badai," balas Bram.

Devit yang tiduran di antara keduanya, hanya mampu memejamkan mata, hidung mancungnya memancing semua orang untuk menjawil gemas. Bocah itu mengembuskan napas terputus-putus, lalu menegakkan tubuhnya. Menatap ke sekeliling, di belakang banyaknya bukit yang semakin jelas, sedangkan di bawah sana bak lukisan ladang sayuran petani.

Langkah Devit menjauhi Acha dan Bram, sebuah papan petunjuk membuatnya tertarik mendekat. Tertera peringatan, bahwa jalur yang sedang Devit tapaki jika terus berjalan lurus menuju jurang, adalah dulunya jalur resmi. Namun, adanya longsoran jalur itu ditutup diharapkan kepada semua pendaki untuk mengambil jalur lain.

"Jangan maju, Dev," peringat Bram. "Banyak pendaki yang bilang, gunung ini, tuh, miniaturnya semeru."

Acha menoleh. "Kenapa emangnya?"

Bram menggenggam pasir hitam di tangan. "Bukan tanah yang mengotori, ya, kayak semeru pasir kerikil gini," terangnya.

Dari atas, beberapa pendaki datang siap pulang ke bawah. Sebagian menyapa mereka, sebagian lagi memilih beristirahat di pos satu itu. Untuk menghargai sesama pendaki, mengingat waktu yang dihabiskan sudah cukup lama, rombongan Acha segera bersiap kembali melanjutkan perjalanan.

"Dev ...!" panggil Acha, seraya menjinjing carrier miliknya.

Devit menghampiri, segera menggendong daypack miliknya. "Masih jauh gak, Ma?"

Acha memicingkan matanya, menatap jauh tanjakan yang akan mereka lalui nanti. "Keliatannya udah mau nyampe, deh!" balas Acha, berharap Devit semangat untuk kembali berjalan tanpa Bram tuntun ataupun gendong.

"Jangan lemah, dong! Kakek Tua juga kuat!" sindir Bram, mengingat makian Devit.

"Hu! Devit 'kan masih kecil, suka lelah," gerutunya, seraya menjauhi Bram yang sudah dianggapnya musuh.

Bram mencibir, "Om Bram ... Devit capek, gendong, dong!"

Devit mendelik kesal. "Devit, kuat! Gak lemah!" Ia pun menarik tangan Acha agar segera berjalan menjauhi Bram.

Perjalanan yang dilalui semakin menyiksa, terik matahari benar-benar menghanguskan semangat juga menghabiskan satu per satu botol air minum. Pasir yang sudah mengering menyulitkan kaki untuk melangkah, saat menjejek seketika pasir itu menenggelamkan kaki beralaskan sepatu. Berkali-kali Devit merengek, meminta berhenti karena beberapa krikil masuk ke dalam sepatunya.

"Ihhh! Gak enak, Ma!"

"Bentar, Sayang ...."

Mencoba untuk menanganinya dengan sabar dan cepat, akhirnya Acha berhasil menemukan jalur memanjang dengan hiasan padang sabana kanan kiri. Devit juga sudah tidak mengeluh tentang krikil di dalam sepatu, mulutnya sudah tak bisa dikendalikan karena banyak mengoceh tentang indahnya hiasan alam ciptaan Tuhan yang benar-benar menakjubkan.

Dari belakang Bram ikut tersenyum juga. Napasnya teratur, kedua tangannya direntangkan. "Devit!" panggilnya.

Bocah yang masih dengan topi hitam di kepalanya itu menoleh. Bram menghirup udara dalam-dalam, lalu mulai berteriak, "AAA ...!"

Teriakannya menggema, nyaring dan Bram merasa setengah bebannya hilang. "Coba, teriak!"

Devit mengangguk cepat, Acha yang berdiri terimpit di antara kedunya hanya mampu tersenyum kecil. Devit sudah bersiap, kedua tangannya direntangkan juga mengikuti apa yang tadi Bram lakukan.

"AAA ...!" Kedua mata bocah itu memejam, lalu melirik Bram.

"Enak, kan?" tanya Bram. "Cha, lo gak ada niatan teriak juga?"

Acha tersadar, ia menggeleng lemah. "Lanjut, yuk, kayaknya di depan pos dua, deh!" balasnya, mengalihkan pembicaraan.

Bram tidak mempermasalahkan, di pos dua itu terlihat beberapa pendaki sedang istirahat bahkan ada yang tiduran dengan hammock yang terpasang. Bram menyusul rombongannya duduk lesehan, beralaskan rumput pegunungan. Irsad terlihat menyapa pendaki itu, mereka sedikit berbincang. Tidak lama, pendaki lain yang turun sampai di depan pos.

"Langsung lanjut?" tanya lelaki yang tadi dengan nyaman tiduran di atas hammock.

Empat pendaki yang baru sampai langsung terhempas, tiduran dengan nyaman. "Bentar, lima menit."

Jauh dari jangkauan, saling berhadapan sebuah pos dari jalur Citiis terlihat jelas di seberang sana. Dulu Bram juga pernah menaklukan gunung Guntur itu dan ia masih mengingat, bagaimana perjalanan atau rintangan yang harus dihadapi. Devit menjadi tanggung jawabnya nanti. Ia pun mendekati salah satu pendaki yang sudah bersiap memanggul carrier-nya.

"Aman di atas, Bang?" Bram duduk di sebelahnya.

Lelaki berambut gondrong itu melempar senyum. "Malemnya diterjang badai, Bang! Usahakan diriin tenda deket batang pohon. Kalo bisa, sih, yang ada daun-daunnya soalnya angin juga gede," jelasnya.

Pendaki lain menimpal, "Sesuai laporan pendaki yang sudah turun, katanya badai enggak bisa diperkirakan bahkan sampai ada tendanya kebawa terbang. Jadi, kalian harus pakek tenda yang ada flysheet-nya, ada 'kan?"

Flysheet adalah tenda pendukung yang bentuknya mirip tenda pramuka, tetapi lebih sederhana karena biasanya tidak memiliki penutup samping, depan dan belakang. Fungsinya digunakan sebagai pelindung tenda dari hujan maupun cuaca. Selain itu flysheet juga berfungsi sebagai pengganti tenda, dalam keadaan darurat fungsi dari flysheet ini mampu memberi perlindungan untuk bermalam atau saat kondisi hujan.

Bram mengingat tenda yang dibawanya, lalu mengangguk. "Ada, aman, kok."

"Itu aman Insya Allah, jangan lupa juga nanti jangan jauh-jauh dari pendaki lainnya, takut yang tidak diinginkan terjadi dan usahakan harus ada pohon, agar bisa menahan angin."

Bram mengangguk. "Kalo pagi? Cuacanya aman?"

"Alhamdulillah, cerah banget!"

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang