184. Akhirnya Tenang

14 1 0
                                    

"Mau serame apa pun suasana di sekitar, kalo gak ada orang yang diharapkan datang semuanya datar! Budek nih kuping, mata apalagi buta kali."

"Apaan!" ketus Devit lalu menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang kasur. "Gua cuma mikiran keputusan aneh dia gak dateng aja," lanjutnya.

"Ya sama aja lu berharap dia dateng, intinya!"

"Iya, sebagai temen sekelas!" balas Devit dengan cepat.

Firman terkekeh, "Tenang, Dev! Kayaknya bukan gua doang, deh, curiga lu suka ama Gita!"

"Suka itu normal, kalo gua mutusin buat pacaran baru! Menggegerkan dunia dan seisinya!" Devit pun bangkit, tawa Firman menggelegar memenuhi kamar kecil itu.

Membuka pintu balkon, mendapati kerlip cahaya kota di sana, tepat di samping lebatnya pohon pinus yang menghitam karena gelap.

Di langit sana, bertaburan bintang. Pas banget malam ini, enak kalo diajak nyanyi-nyanyi bareng diiringi gitar dan benar saja! Di lantai bawah, suami Bu Yasmin sudah siap dengan dua gitar di bawah. Devit? Jangan tanyakan kemampuan bermain gitarnya! Selesai melaksanakan salat isya, semua anak mantan kelas 7A berhamburan keluar dari kamar masing-masing. Duduk manis beralaskan karpet lembut.

Di atasnya bertaburan gemintang, Devit ditunjuk memainkan gitar oleh Bu Yasmin. Tak bisa menolak ia pun berjalan ke depan, duduk di samping suami wali kelasnya itu. "Yuk, rekomen kita nyanyi lagu apa?" tanya Bu Yasmin.

Cintya mengacungkan tangannya. "Diri dari Tulus, Bu!" sarannya.

Bu Yasmin mengangguk mantap. "Oke, semuanya?"

"Okeee, Bu!"

Devit pun mencari kunci gitarnya untuk lagu yang akan dibawakan. Setelah memahami terlebih dahulu, suami Bu Yasmin mulai memainkan gitarnya, disusul Devit.

"Luka, luka, hilanglah luka .... Biar tentram yang berkuasa ....

Kau terlalu berharga untuk luka, katakan pada dirimu ... semua baik-baik saja ...."

Selesai menghabiskan satu lagu, gitar yang Devit mainkan berpindah tangan pada temannya. Ia memilih duduk di antara teman lainnya, mengelilingi api unggun yang dibuat, mengahatkan tubuh. Namun, tidak dengan pikiran, masih melayang jauh mempertanyakan sedang apa Gita di sana?

"Ciahhh! Ngelamunin apa, Maseh!"

Devit menoleh. Ah, ini dia teman sebangku Gita! Namanya Ica, kadang cerewet kadang jadi pendiem. Seperti hari sebelum ini, Ica entah ke mana tak terlihat batang idungnya di samping Gita biasanya ia akan meneriaki bahwa Devit dan Gita cocok untuk menjalin asmara.

"Gak," balas Devit singkat.

Ica merapatkan jaket ke tubuhnya. "Tau gak, lu? Gua dari sebelum berangkat ke sini sampe barusan aja, udah mabok nelpon si Gita kagak diangkat mulu!"

"Hah? Seriusan?" Sontak Devit bertanya. Karena bukankah tadi sore Gita mengangkat telepon darinya?

"Serius! Jangan-jangan, kalo elu yang nelpon mah diangkat, tuh!" ujar Ica, ia pun menengadahkan sebelah tangannya. "Pinjem hp lu, dong! Gua gini-gini kan temennya si Gita, asli dia gak ngabarin apa-apa ke gua!" jelasnya.

"Gak, ah, lu juga punya hp," tolak Devit, lalu bersiap menjauhi Ica.

Ica segera mencekal tangan kanan Devit. "Gak nyampe lima menit, Dv! Cuma nanyain kabar dia dong!" pinta Ica memaksa.

Terpaksa Devit mengalah, membiarkan Ica menelpon Gita dengan ponselnya. Dua kali panggilan, Gita tak langsung menjawab, Ica ikut gregetan sampai panggilan pun terjawab.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang