115. Pergi Ke Jerman

75 16 1
                                    

"Rasanya berat enggan berpisah, mengingat kembali perpisahan dahulu yang tidak pernah diinginkan. Semoga, semuanya baik-baik saja. Semoga, Tuhan dengan baik tidak merencanakan hal aneh lagi."

Ternyata kepergian Prabu tidak diberitahukan oleh Kirana sebagai istri keduanya. Mengingat Dinda pastinya tidak akan sama sekali peduli, juga memusuhi. Namun, mendengar Devid masih hidup Richard segera memberitahukan ada sebuah pesan yang harus didengarkan langsung, tanpa melalui sambungan telepon. Karena Karina pula semenjak ditinggalkan Prabu selalu sakit-sakitan, dengan senang hati pula suaminya yaitu Felix kembali membawa Karina, bersama Richard ke Jerman.

Jadi, Richard meminta Devid datang ke Jerman di minggu ini juga. Melihat kondisi ibunya dan pesan yang harus Devid dengarkan langsung. Bukan soal cinta monyet dahulu, ini serius dan Acha harus merelakan kepergian suaminya itu. Devid pun berjanji akan kembali dengan cepat, butuh dua hari saja, dipastikan waktu persalinan nanti Devid akan ada di samping Acha. Awalnya Acha merajuk enggan ditinggalkan, tetapi dengan lembut Devid merayunya lagi, bahwa ia harus pergi.

Agar Acha bisa melepaskan kepergian Devid dengan senang, hari itu pula mereka menghabiskan waktu berjalan-jalan di luar apartemen. Mengelilingi taman bermain melihat Acha tertawa bahagia, Devid juga merasa lega. Sampai memainkan air kolam kecil lalu pulang dalam keadaan basah, belum lagi hujan akan tiba tidak lama. Sayang, Devid tidak bisa mengajak Acha untuk berlari karena perutnya itu. Jadi, mereka pulang dalam keadaan basah kuyup.

Tidak terjadi apa-apa, Acha masih baik dan semakin manja enggan ditinggalkan oleh Devid. Mereka tiduran di atas kasur lipat sambil menonton film. Kembali, Devid memberitahukan kepada Acha jangan menonton sinetron Indonesia lagi, ia harus mematikan televisi mengistirahatkan otaknya yang kebanyakan mengulang alur cerita, memaki lalu menangis histeris.

"Awas, ya, kalo gua ke Jerman jangan sampe nonton tv!" peringat Devid, sambil menjitak puncak kepala Acha.

"Apaan, sih, terserah gua dong!" balas Acha tidak suka.

Devid mengingatkan entah ke berapa kalinya. "Lo mau anak kita baperan kek elu, ha? Nonton film nangis mulu, tiba-tiba kesetanan karena tokohnya jahat. Jangan, Cha ...."

"Ah, elu yang baperan!" seru Acha, Devid memeluknya greget dengan erat lalu mencium perut Acha yang besar itu.

"Terserah, awas aja ya dua hari jangan nonton tv sanggup, gak? Apalagi siaran berita hoax! Please nurut dong."

Acha mendelik sebal. "Siapa takut? Gua gak bakal nonton tv selama dua hari, berarti waktu lo datang gua bebas nonton lagi!"

"Iya ...."

Topik itu pun berhenti. Devid mengalihkannya menuju topik bayi yang akan lahir nanti, ia berjanji nanti di Jerman akan membelikan baju serupa untuk dia, Acha dan calon anaknya. Katanya baju hangat saja, agar selalu dipakai di saat kedinginan. Acha menyetujui itu, apalagi nanti jika mereka memutuskan berfoto bersama. Keluarga kecil yang bahagia. Semoga saja, semuanya berjalan lancar, apa yang diharapkan Tuhan kabulkan.

Karena besok Devid benar-benar harus ke Jerman, Acha pun membantu mengemas beberapa baju yang akan Devid bawa. Seperti baju hangat tentunya karena sekarang di sana musim dingin. Tidak lupa membeli oleh-oleh untuk diberikan kepada keluarga Richard. Acha menatap Devid yang sibuk memilih sepatu, persiapannya memang malam hari dan dia akan ditinggalkan dua hari. Rasanya enggan melepaskan.

Malam itu mereka habiskan menghayalkan masa depan lagi, masa persalinan yang tidak lama akan Acha rasakan. Di sana pula, impian Devid diutarakan ia yang akan mengumandangkan azan di samping telinga anaknya nanti. Bukan cowok lain, peringat Devid membuat Acha tertawa geli. Nanti, di saat Acha menjerit karena sulit mengeluarkan anaknya, Devid dengan siap menjadi papa muda yang merasakan cengkeraman Acha di seluruh tubuhnya. Devid tentunya rela, mengingat Acha lebih merasakan beban paling berat sebagai ibu.

"Waktu lu ngeden, gua siap siaga jadi buta ijo, tiba-tiba kebal karena lo cengkeram!" seru Devid membanggakan dirinya.

"Halah, gua tampol tuh muka juga langsung bales nampol gua lagi," balas Acha.

Belum lagi soal nama anaknya, Devid lagi-lagi berpesan ingin dinamakan Devid. Ah, Acha sudah enggan mendengar lagi ia menutup mulut Devid. Mereka pun berpelukan, memejamkan mata karena hari esok tidak akan lagi bersama. Ingat, hanya dua hari saja, batin Acha seraya mencoba tertidur pulas, sedangkan Devid masih mengelus-elus perut buncitnya dengan senang, merasakan ada kehidupan di balik lapisan tebal kulit Acha itu.

"Tidur yang tenang, ya," bisik Devid, mencium kening Acha lalu perutnya.

Perpisahan itu harus terjadi, setelah sebelumnya Devid memberitahukan kepada Dinda tujuannya, menuju Jerman di mana Kirana memiliki pesan dari ayahnya yang telah meninggal dunia. Awalnya pula Dinda tidak mengizinkan katanya sudah, semua tinggal masa lalu saja, mungkin soal harta yang tidak seberapa. Namun, Devid meyakinkan mungkin ada sesuatu yang penting, lagi dia ingin bersilaturahmi. Jadi, pagi itu tepat pukul delapan Acha dan Dinda mengantarkan Devid sampai bandara.

Dinda yang mengendarai mobilnya, sedangkan Devid dan Acha berada di bangku belakang sedang merasakan ketakutan akan harus dipisahkan. Cuma dua hari, sekali lagi Acha mengingatkan dirinya. Sesampainya di bandara, di mana Devid akan langsung terbang menuju Jerman. Sebuah pesan dan taruhan kembali diingatkan lagi, Acha tidak akan menyalakan televisi, tetapi harus jalan-jalan ke taman, agar anaknya tidak bosan di dalam apartemen saja.

Devid menggiring Acha dan ibunya sampai ke tempat tunggu para pengantar. Di sana Acha harus benar-benar melepas pergi Devid. Sedikit rasa khawatir enggan melepaskan, ada sesuatu yang mengganjal takut terjadi apa-apa. Lagi, Devid meyakinkan ia berjanji membawa oleh-oleh untuk anaknya nanti dari Jerman. Kalo perlu membawa ranjang bayi yang bagus, Acha tersenyum senang mendengarnya, tetapi ada setitik air mata yang berhasil lolos jatuh ke pipinya, Devid menghapusnya dengan cepat lalu menggeleng tegas, bahwa ia baik-baik saja.

"Jangan nangis, Changcuts, lo kenapa sih baperan banget?"

Pertanyaan Devid terdengar oleh Dinda. "Ibu hamil emang gitu, Dev, makanya mama bilang gak usah berangkat, gak terlalu penting juga mungkin."

Devid tersenyum kecil. "Udah terlanjur, Ma." Diliriknya arloji. "Lima menit lagi ada pemberitahuan, nih, gak bisa dibatalkan."

Acha memeluk Devid dengan erat, meskipun perutnya terasa tertekan tetapi ia kuat. Acha menangis kencang enggan ditinggalkan, Devid menariknya dengan pelan, meyakinkan semuanya baik-baik saja, ia akan kembali dalam dua hari nanti. Tidak lama, bahkan ia janjikan kepulangannya akan lebih cepat. Dinda pun mencium anak tunggalnya itu dalam-dalam, lalu pamit kembali ke mobil saja, katanya ia paling malas melihat orang yang disayangi mulai menjauh pergi.

Ah, dasar memang. Jadi, tinggal Acha dan Devid yang masih berdiri menunggu panggilan pesawat yang akan membawa Devid pergi. Karena Acha terus saja menggenggam jemarinya dengan erat, Devid mengeluarkan sebuah kamera kecil miliknya, katanya di sana ada video yang akan menggantikan dirinya selama dua hari tanpa di samping Acha. Acha pun menerimanya dan Devid melarang memutar videonya sekarang. Nanti, setelah ia benar-benar terbang ke Jerman.

"Udah, nanti gua dateng lagi kok, kenapa sih? Gua janji bakal kembali, ngapain juga lama-lama di sana, 'kan?"

Acha menunduk dalam, masih tersisa tangisan. Devid menarik Acha kembali ke dalam pelukan.

"Gua yang akan ada di samping lo waktu persalinan, gua yang akan azanin anak kita, pegang janji gua."

Selanjutnya, Devid meremas kedua bahu Acha, lalu mencium kening Acha dalam dan lama, sambil memejamkan kedua matanya. "Gua janji gak lama," putusnya.

Tidak bisa melarang lagi, panggilan kepada semua penumpang yang tujuannya sama dengan Devid sudah terdengar. Suaminya melambaikan tangan dengan wajah ceria, berbinar seolah tidak merasakan perpisahan yang enggan datang. Acha kembali menangis, melihat wajah istrinya kembali murung Devid menahan langkahnya untuk mundur. Ia harus menemui Richard dan Kirana, hanya butuh dua hari saja.

Cepet pulang, ya Dev

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang