"Sebuah masalah akan selalu ada jalan terangnya, jangan menyerah karena satu kali gagal. Cobalah sampai berulang-ulang."
Siapa yang masih bertanya-tanya bahwa semua yang terasa adalah mimpi indah Acha? Mimpi yang diharapkan takkan tersadarkan oleh kenyataan pahit. Karena kenyataannya Devid takkan kembali, mau hanya namanya saja apalagi tubuh utuhnya. Bayangkan, sepuluh tahun itu begitu lama, kematian adalah jawaban agar hati tenang.
Tidak banyak memikirkan manusia yang paling dicinta. Namun, Devid hadir benar adanya. Lelaki itu nyata dapat tergenggam, dipeluk dapat balasan, tetapi saat ditanya bagaimana alur kehidupan sepuluh tahun lamanya ia bungkam. Biarkan detik-detik awal pertemuan dihiasi senyum bahagia, bukan mengulang cerita penuh luka.
Acha tidak memaksa, sebelum kedatangan keluarga besarnya ia mewanti-wanti untuk menghindari tanya jawab seputar hilangnya Devid. Biarkan lelaki itu mengobati rasa rindu, biarkan ibunya sendiri memercayai bahwa anaknya masih hidup. Dalam keadaan utuh, sama sekali tidak ada perubahan, kecuali warna kulitnya.
"Gua percaya, ini bukan mimpi, Dev," lirih Acha, kedua matanya tak lelah memandang gurat wajah tak asing baginya.
Devid melempar senyum, lalu direngkuhnya kepala Acha, diciumnya lembut puncak kepala wanitanya. "Kayaknya, lo sering mimpiin gua, ya? Perasaan dari tadi ngulang ini bukan mimpi, ya? Gua percaya gak mimpi!"
Acha menyandarkan kepalanya di dada bidang Devid. "Gak sering, sih, sekalinya mimpi pasti bikin gua mewek! Lo ngeselin, sih, orangnya!"
Sebuah tinju tanpa tenaga tepat sasaran mengenai sebelah kanan dada Devid. Lelaki itu terkekeh, digenggamnya kepalan tangan Acha. Entah untuk keberapa kalinya, jemari mungil itu berada dekat di hadapan mulutnya. Diciumnya mesra.
"Perasaan gua mimpiin lo seminggu lima kali, terus ada bayangan bayi yang mau gua azanin. Gua juga selalu berakhir nangis." Jeda, Devid mengatur napasnya. "Lo pernah ngerasa bosen nunggu gua?"
Bukan pernah lagi. Bahkan Acha selalu mengeluh dan berniat menyerah, lalu memilih Bram yang menjanjikan kebahagiaan. Ah, Bram! Acha baru tersadar besok adalah hari penting bagi lelaki itu. Sebelum ia membahas pernikahan Bram, suara ponsel dari atas nakas terdengar memenuhi kamar yang temaram. Tubuh Devid paling dekat di samping nakas, dengan tangan kirinya ia sambar.
Acha menerima ponselnya, membaca cepat nama Bram si penelpon. "Siapa?" tanya Devid.
"Bram," jawab Acha.
Dahi Devid mengerut dalam. "Oh, masih deket?"
Acha mengedikkan bahunya. "Ceritanya panjang dan sekarang lo harus dengerin masalah tahun ini, bulan ini! Jangan ungkit dulu kenapa gua bisa masih deket sama dia!" terangnya.
Suara ponsel yang memanggil masih berbunyi, tanpa menunggu lama Devid mengangguk setuju.
"Halo?"
Acha mengangkat panggilan Bram, tidak lupa mengeraskan volumenya agar Devid juga bisa mendengar. Di ujung sana terdengar suara tak asing yang segera menjawab.
"Cha, lo gak lupa, kan?"
Devid memandang Acha penuh tanya, lalu mata tajamnya melirik jam dinding tepat pukul sembilan malam. "Jangan-jangan, Si Bram ngajak maen malem?" batin Devid.
"Enggaklah, kenapa?"
Mulut Devid bergerak-gerak mempertanyakan maksud dari percakapan yang sama sekali tidak ia mengerti. Acha segera memberikan kode agar Devid diam dengan meletakkan telunjuk di depan bibirnya.
"Lo tau sendiri, Cha ...." Bram menahan erangan kesal di ujung sana. "Gua cuma mau nikah sama lo! Bukan sama, Anya!"
Devid terdiam membatu, salah satu tangannya yang mendekap Acha tiba-tiba mengendur, Acha harus segera meluruskan masalah besar yang tak seharusnya didengar. Dicekalnya cepat pergelangan tangan Devid. Memaksa langkah lelaki yang ingin keluar pergi tertahan.
"Please," lirih Acha.
Devid kembali duduk di samping Acha, lalu Acha kembali berucap, "Lo pernah bilang, Bram. Kalo Devid hadir buat gua, ada di samping gua lagi, lo bakal pergi, kan?"
"Gua inget, kok, dan sampai detik ini Devid belum balik buat lo, kan?"
Mendengar apa yang Bram ucapkan, Devid semakin geram ia siap merebut ponsel dari tangan Acha. Namun, Acha segera menghindar. "Percaya sama gua, Dev!" bisik Acha.
"Tapi besok lo harus nikah sama, Anya, Bram! Itu pilihan lo sendiri! Siapa yang berani tunangan? Lo, kan?" tanya Acha.
Bram terdiam sejenak, lalu membalas, "Gua bakal tanggung jawab, tapi ... gak lama gua bakal ceraikan dia terus nikah sama, lo!"
Sorot mata Acha dan Devid sama-sama terpaku, tak mampu menjawab apa pun.
"Lo denger, kan, Cha? Kecuali kalo Devid datang ada buat lo, gua bakal lupain lo dan ngejauh dari kehidupan lo, Cha."
Acha menimang jawabannya. "Ok, gua bakal dateng ke pernikahan lo besok!" putus Acha, mematikan sambungan telepon.
"Jadi, kalian bukan cuma deket doang?"
Suara Devid kentara menahan emosi. Acha segera mendekat, didekapnya cepat tubuh Devid yang hangat.
"Lo denger sendiri, kan? Dia berharap lo gak kembali lagi, Dev!"
"Semua orang berharap kek gitu," balas Devid cepat.
Acha mendongak. "Terus lo nganggap penantian gua selama ini apa? Bukan cuma Bram yang mau nikah sama gua, Dev! Arga, guru di SMP Gua ngajar! Banyak! Dan gua gak peduli sama mereka semua, gua cuma nunggu lo, Dev!" jerit Acha.
Devid bingung harus membalas apa, sampai Acha kembali berucap, "Besok, kita buktiin ke semua orang. Bahwa lo masih hidup, bahwa lo suami gua! Dan gua bukan janda yang ditinggal mati ...."
Kembali tetes air mata menggenang, Devid tidak sudi melihat istrinya menangis. Apalagi karena dirinya yang salah paham, dengan cepat didekapnya Acha seerat mungkin. Dibisikkinya dengan janji-janji yang takkan ia ingkari, tidak lama tangisnya mulai hilang.
"Maafin gua, lo gak salah! Gua yang berpikir negatif tadi," lirih Devid, disekanya jejak air mata di kedua sudut mata Acha. "Mau 'kan maen keluar malem ini, bareng gua?"
Acha tertawa, didorongnya Devid agar menjauh. "GAK MAU NOLAK!"
Kembali sebuah pelukan diberikan, lalu Devid segera menyambar ransel satu-satunya yang ia miliki. "Gua kayaknya butuh baju baru, deh, Cha buat besok."
Acha mendekat. "Oh, iya, besok kita harus tampil elegan! Kalo perlu lebih cakep dari pengantinnya!"
"Gila, lo! Tapi boleh juga, gantengan gua kali daripada Si Bram!"
Gelak tawa kembali pecah, setelah menyelipkan dompet ke saku jaket dan Acha yang menyambar tas kecilnya. Mereka berdua segera keluar, lalu langkah Devid berhenti tepat di depan pintu kamar anaknya.
"Cha, jangan anmesia gitu, dong! Kita udah punya anak masa maen keluar berduaan!"
Acha baru tersadar, saat tangannya siap menarik knop pintu kamar anaknya, Devid segera menghalangi. "Biar papanya yang nyapa anaknya!"
Pintu kamar tidak dikunci, bayangan Devit yang sibuk berhadapan dengan tumpukan novel karyanya dan kedua lubang telinga dijejali earphone.
"Assalamualaikum, Devit!"
Devit menoleh, lalu melepas salah satu earphone-nya. "Waalaikumsalam, pakek salam segala, haha," kekehnya.
Devid menyandarkan tubuhnya di ambang pintu. "Papa sama Mama mau malem sabtuan dulu, kamu sebagai anak yang berbakti kepada orang tua diharap jangan ikut. Kasih waktu dulu kami malsab berdua, ok?" ucapnya panjang lebar.
"Iya, silakan, Devit juga lagi gak mau keluar," balasnya.
"Siapa juga yang ngajak kamu keluar, Dev ...."
Pintu kembali tertutup, seulas senyum menghiasi dan Devit sangat bahagia tak mampu diutarakan lewat kata.
"Terima kasih, Tuhan," gumamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Fiksi RemajaPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...