"Tuhan memberikan kesempatan untuk berdamai, dengan kenyataan seseorang yang mengejar cinta, sayangnya telah dicuri paksa oleh pujangga jauh di sana."
Pagi yang biasanya didapati Acha telah bersiap pergi ke kampus, tidak Ardila dapati sekarang. Ia masih memakai baju tidurnya, belum siap pergi bekerja, soalnya dia masuk sip siang. Karena takut terjadi sesuatu, Ardila pun menghampiri kamar Acha yang dari luar terlihat lampu kamarnya masih menyala, sedangkan gorden yang biasa terbuka masih menutup juga. Sebelum ia memutuskan mendorong pintu, diketuknya pelan, sambil memanggil nama Acha beberapa kali, tetapi nihil, Ardila tidak mendengar sahutan dari dalam.
Tanpa menunggu waktu lama, diputarnya knop pintu, tidak dikunci. Ardila mendorongnya sampai pintu itu terbuka lebar, hingga kedua matanya menyaksikan Acha yang terbaring dalam keadaan tidak biasa. Ia segera menghampiri tubuh menahan dingin, Ardila merasakan baju Acha sangat basah dan tangannya menyentuh kening temannya itu, terasa panas. Sebelum membawa sesuatu, Ardila memilih keluar mencari bu Siti untuk membantunya. Setelah didapati bu Siti, mereka berdua kembali ke kamar Acha.
"Astagfirullah, Neng ... bangun!" seru bu Siti sambil menggoyang bahu Acha, benar sekali bajunya basah.
Tadi malam, Ardila juga tidak tahu bahwa Acha pulang dalam keadaan basah kuyup. Mereka berdua pun membawa Acha sampai terbaring di tempat tidurnya, bu Siti segera menghubungi Sinta, tetapi wanita itu sulit dihubungi mengingat hari kerja yang padat. Segeralah, Ardila membawa air hangat untuk mengompres. Bu Siti berinisiatif mengganti baju Acha yang setengahnya sudah kering di luar. Acha masih belum sadar, Ardila memunguti pecahan ponsel Acha.
Ia melihat tubuh Acha yang diam membisu, ada rasa khawatir, apakah Acha mendapati tekanan dari ibunya? Sampai ia frustrasi? Ardila sama sekali tidak mengetahui permasalahannya, kecuali Bram saja. Ia ingin menghubungi lelaki yang dekat dengan Acha, tetapi lewat apa? Ia sama sekali tidak memiliki nomor ponselnya. Sampai, Sinta yang ditunggu mengangkat telepon pun menyapa bu Siti dengan ramah, gemetar menyampaikan kabar bahwa Acha tidak baik-baik saja.
Benar saja, Sinta langsung memekik di seberang sana. Namun, sayang, pekerjaan baginya lebih penting, dibanding mengurus Acha yang sekarang sakit demam. Anaknya sudah besar pula, juga ada ibu kosan dan Sinta dapat memberikan pelajaran. Jika, Acha tinggal bersama Sani ia akan baik-baik saja belum lagi dapat perhatian dari dosennya sendiri, biarkam anaknya itu menanggung keinginannya. Hingga, Sinta pun memutus percakapan, ia tidak bisa menjanjikan akan menjenguk Acha, kecuali menghubungi Arga adalah keharusannya.
"Nanti, biarkan dosen Acha masuk, ya, Bu, dia baik kok. Saya akan menghubunginya untuk menjaga, Acha."
Sambungan telepon pun terputus, bu Siti menatap Ardila yang menunggu. "Dia gak bakal ke sini, sibuk kerjaan, tapi dosennya Acha yang gantiin katanya."
Ardila mengerutkan keningnya. "Ya udahlah, asalkan kita juga jaga dia, Bu," balas Ardila.
"Ehh ... kamu, kan, mau kerja, Ar, biar ibu aja gak papa, kok!"
"Kan, siang ... sekarang kasih aja minyak herbal, Acha harus makan."
Setelah berupaya menyadarkan Acha, kelopak mata yang tadi malam lelah menangis itu terbuka pelan. Meninggalkan jejak lebam kecil, lalu memerhatikan kedua orang yang dikenal berada di sampingnya. Acha tersenyum kecil, berterima kasih masih ada orang-orang yang mencintainya di dunia. Pandangannya mengarah ke ambang pintu dan penjuru kamar, tidak didapati sosok ibunya itu.
Ardila segera memberikan air minum, Acha pun meminumnya, tetapi perutnya itu terasa kembung. Kepalanya juga seolah berputar-putar, denyutan di sebelah kanan membuat Acha terdiam sejenak, lalu menyandarkan tubuhnya ke ranjang. Bu Siti duduk di sampingnya, seraya mengaduk bubur ayam untuk Acha.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Fiksi RemajaPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...