128. Bram, lagi

25 3 0
                                    

"Tenanglah, jangan menganggap satu orang yang pernah bersalah akan seterusnya tetap bersalah. Semua orang butuh berubah, dari masa lalu yang membelenggu."

Aroma nasi goreng dengan kecap manis masih menyeruak, mengisi apartemen yang ditinggali. Semua barang tertata rapi di setiap tempat sesuai keinginan, di hari libur ini kedua penghuni yang masih sibuk di depan cermin mematut diri, saling melempar komentar akan penampilan barunya. Jarum jam dinding sudah menunjuk pukul tujuh lewat lima menit, dengan cepat wanita terpoles make up itu beranjak pergi.

Diikuti bocah kecil yang sudah terbalut kemeja putih, dipadukan jas hitam rapi. Sebuah pita kupa-kupa baru selesai ia pasang dengan ibunya. Mereka segera bersiap keluar dari apartemen. Tidak lupa membawa kado istimewa untuk sang pengantin. Suara bel membuat keduanya saling memandang, mempertanyakan siapa gerangan tamu yang datang.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Acha, di belakangnya Devit hanya diam ia masih mengingat janjinya. Jangan pernah pergi, tanpa izin Acha.

Sudut bibir Bram tertarik kaku. "Gua mau ngajak kalian bareng ke resepsi pernikahan, Arga."

Acha memalingkan pandangannya, menggigit keras bibir bawahnya. "Gak usah, gua masih punya mobil," tolaknya, seraya menarik Devit untuk jalan duluan melewati Bram.

Saat Acha memutuskan untuk menutup pintu, Bram sudah menggendong Devit berlarian menjauhi Acha.

"Ma—mama!" jerit Devit, tangannya melambai-lambai, meminta pertolongan.

"DEVIT!" Acha segera berlari mengejar, sampai ketiganya berhenti di dalam lift dengan napas memburu. "Lo kenapa, sih? Gua 'kan udah bilang, Bram!" murka Acha, menarik Devit agar diturunkan dari gendongan Bram.

Merasa sudah aman, Bram menurunkan Devit dengan lembut. Bocah itu segera merangkul kaki Acha ketakutan.

"Bercanda, Cha, lo napa, sih, sensi banget!" Tangan Bram terulur, mengelus sayang puncak kepala Devit. "Mama, kamu lagi PMS kali, ya, Dev," sindirnya.

Devit mendongak dengan kerutan dalam di keningnya. "PMS itu apa, Om?"

"PM—"

"Bram!" potong Acha, dengan tatapan penuh kekesalannya.

Pintu lift pun terbuka, memaksa Acha segera menarik Devit jauh dari jangakaun Bram. Sesampainya di depan parkiran, Acha segera mendekati mobilnya. Namun, sial! Ban depan sebelah kiri kempis parah. Acha mencari-cari keberadaan Bram. Lelaki itu sedang bersandar di kap mobilnya, bersiul manja dan Acha tak perlu bertanya siapa pelaku yang mengempiskan ban mobinya dengan sengaja.

Karena seingat Acha kemarin mobilnya baik-baik saja. "Dev, kamu tunggu di sini dulu, ya," titahnya, Devit segera mengangguk.

Langkah Acha mendekati Bram yang masih bersantai-santai, lalu meliriknya dengan sesungging senyum. "Jadi jalan sama gua?"  tanyanya.

"Maksud lo apa ngempisin ban mobil gua?" tuduh Acha dengan ekspresi menahan kekesalan. "Lo, gak ada kewajiban jadi seseorang yang harus jaga gua, bahkan ngasih apa pun untuk ngebahagiain anak gua!"

Tatapan Bram yang santai sama sekali tidak berubah, ia malah melempar senyum. "Dan lo, gak ada kewajiban larang-larang kemauan gua, Cha. Jadi? Gua ajak Devit masuk ke mobil, ya?" Bram siap melangkah, tetapi tangan Acha menahannya cepat.

"Gua naik taksi, gak usah sok care lagi, Bram!" Lalu Acha pun melepas cekalannya, mengajak Devit menunggu di trotoar saja.

Bram menatap kepergian keduanya, ia jadi merasa bersalah. Mengapa harus dengan cara gila dan sampah seperti ini? Lihatlah, Devit kepanasan karena terik matahari pagi. Walaupun memang panasnya dapat menyehatkan, tetapi bocah kecil itu terlihat kegerahan dan bodohnya lagi Bram tidak memperhatikan penampilan Acha yang berbeda. Memakai setelan kebaya, sedangkan rambutnya digelung ke belakang dihiasi jepit bunga.

Tanpa menunggu lama, sebelum taksi yang mereka tunggu datang Bram segera melajukan mobilnya. Berhenti tepat di samping Acha dan Devit yang menahan terik matahari, Bram keluar dari mobilnya, menarik paksa Acha untuk masuk ke dalam mobil. Tentu saja Acha berontak, tangan Devit yang digenggamnya terlepas.

"Bram! Lo ngapain, sih!" pekik Acha dan Devit sudah duduk di samping kemudi ketakutan.

Wajah berseri Bram berubah menjadi menakutkan, dengan tatapan tajamnya. "Gua cuma nemenin lo, Cha, gak lebih. Bahkan gua gak sampe maksa, agar lo mencintai gua detik ini juga," lirih Bram, ia segera menunduk memejamkan kedua matanya yang terasa perih. "Please, lo bukannya masih nganggep gua sebagai teman, kan? Masuk, Cha," lanjutnya.

Tubuh Bram menyingkir, mempersilakan Acha untuk masuk dan duduk di samping Devit. "Om ... Devit duduk di belakang aja, ya?"

"Gak usah, nanti kamu duduk di pangkuan mama," balas Acha, seraya menyusul Devit yang sudah duduk dengan wajah ketakutannya.

Setelah pintu mobil ditutup, Bram segera berlari menuju pintu kemudinya. Suasana menuju tempat resepsi pernikahan Arga, mereka bertiga hanya diam membisu tanpa berniat membuka percakapan. Penuh kecanggungan. Sampai di tujuan Acha segera merapikan penampilannya, disusul merapikan jas yang Devit pakai sekarang. Bram keluar menyusul, menunggu keduanya siap masuk ke dalam.

Acha menarik tangan Devit, lalu melempar senyum kaku dan Bram membalasnya sama kaku. Rasa canggung dan merasa bersalah membuat keduanya membuka pintu saling memaafkan, juga sekejap melupakan masalah kecil tadi. Jika dipikir-pikir Acha memang terlalu berlebihan, lihatlah Bram sekarang sudah mulai akrab kembali dengan Devit.

Masuk ke dalam gedung resepsi, semua tamu sempurna dengan penampilan paling mereka banggakan. Termasuk, Acha dan Bram, mereka sama-sama menggenggam jemari mungil Devit. Bak sepasang suami istri saja dan memang pantas dilihat juga. Namun, nyatanya tidak demikian, Acha masih berharap Devid yang menemaninya datang atas undangan Arga.

"Rame sama mahasiswa, ya," gumam Bram.

"Namanya juga dosen, nanti pasti ada yang kenal sama gua dan ngiranya ... lo suami gua lagi, Bram," terang Acha, nada suaranya mengartikan bahwa ia keberatan Bram ada di sisinya terus.

Pelan dan pasrah, Bram melepaskan genggamannya di jemari Devit. "Kalo mau pulang, hubungi gua. Please, Cha."

Acha menoleh. "Iya," balasnya singkat.

Selanjutnya Bram tidak ada di samping mereka, dia sudah pergi mungkin mencari teman lamanya yang mungkin datang mendapat undangan juga? Acha mengajak Devit duduk di sebuah kursi dengan meja bundar yang sudah memenuhi sebagian gedung acara. Tidak jauh dari pandangan Arga dan calon istrinya sudah berhadapan dengan seorang penghulu.

Ah, dulu Acha tidak semeriah ini bersanding dengan Devid. Dulu semuanya serba biasa dan sederhana. Tidak ada ribuan tamu yang berdatangan. Ibu dan calon mertuanya juga tidak datang, apalagi para tamu yang diharapkan? Dielusnya bahu Devit, anaknya itu menoleh dengan senyum kecilnya.

"Rame, ya, Ma?"

"Harus, dong! Kamu mau ngambil foto mereka?" tawar Acha seraya mengeluarkan ponselnya, ia memang sengaja belum memberikan ponsel khusus Devit. Karena takut mengganggu waktu belajarnya.

"Mau-mau ...."

Saat Devit menerima ponsel milik Acha, seorang perempuan dengan balutan gaun cokelat muda mendekat. Kerudung yang membentuk wajah lonjongnya sangat enak dipandang, ia tidak terlalu cantik, tetapi terlihat rapi dan berseri.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang