"Percuma. Mau pulang cepat ataupun lambat, semua seperti biasa. Sunyi, bisu, tak ada kehidupan."
Acha
"Kayaknya lo tomboi, ya?" tanya Devid sambil menumpu dagunya dengan tangan.
Reina tertawa sumbang. "Tiga tahun, gua jadi ketua basket di SMP kebayang, gak?"
"Pantes!" seru Devid.
"Widih ... nanti mau masuk juga, dong, di sini?" tanya Acha.
"Iya, soalnya gua ngajuin non akademik basket," jawab Reina sambil menyuapkan nasi terakhirnya. "Kalian?"
"Gua, sih, lebih ke sastra, si Devid renang," jawab Acha.
Reina mendongak menatap Devid. "Suka renang? Kirain, lo sukanya ngegombal, doang!"
Devid terkikik. "Hobi gua anti mainstrem, soalnya tertutup. Nanti kalian liat bagian privasi gua. Hahaha!" ujar Devid
Reina dan Acha saling berpandangan lalu mengepresikan seperti jijik akan penuturan Devid.
"Lah, emang bener!" Devid mendekatkan kepalanya agar bisa berbisik di antara Acha dan Reina.
"Cuma pakek sempak ...," bisik Devid.
Acha menjambak rambut Devid. "Ihhh! Lo kagak bisa bedain cewek ama cowok, hah? Ngomongin begituan!" geram Acha.
"Anjing! Acha, sakit!!" ringis Devid langsung menarik tangan Acha.
"Huh!" sungut Acha.
"Bodoamat!" ketus Devid sambil mengeluarkan ponselnya.
Ia pun menelpon Dinda yang tak kembali dari tadi. Diangkatnya saat panggil ke dua, ternyata sudah pulang duluan karena ada pesanan kue mendadak dari temannya. Terpaksa Acha dan Devid harus memakai uang jajannya untuk ongkos naik angkot.
Mereka keluar dari kantin bersamaan, begitu pula Reina yang diajak pulang bareng oleh Devid. Kebetulan kompleknya blok A sedangkan Devid dan Acha blok B. Makanya mereka memilih naik angkot bersamaan.
Acha selalu ingin dekat kaca yang terbuka. Sepoi angin yang menerpa wajahnya membuat inspirasi berimajinasi semakin tinggi, pikirnya. Terlihat awan semakin menghitam, untung saja di dalam angkot hanya mereka bertiga saja. Tawa Acha menggelegar, teriakan kecil sambil menyembulkan kepalanya ke luar jendela.
Devid menyadari ketidak warasan Acha. Hujan akan tiba, dari kecil mereka sangat menyukainya, termasuk mandi hujan sampai Acha demam. Namun, Acha tak pernah bersedih, setiap dia sakit hanya satu hari saja terbaring di ranjang.
Seperti mamanya. Hanya mengelus, memberikan obat pereda lalu kembali berkutat di meja kerjanya. Acha sudah terbiasa, senyuman tersungging jika semua akan terjadi kembali.
"Gimana kalo kita turun bareng ama, Reina?" tawar Acha.
Devid menjawab, "Boleh, tapi ini hp gua kalo basah gimana?"
Reina masih bingung akan tawaran Acha. Ia menanyakan kenapa harus berhenti di kompleknya. Bukankah blok B masih sekitaran empat puluh meter dari sana. Acha menjawab dengan wajah berseri-seri, bahwa mereka akan main hujan-hujanan.
"Kalo gitu, simpan dulu tasnya di depan pos satpam rumah gua, biar gak basah. Gimana?" tutur Reina.
"Ide bagus!" seru Devid sambil menyerahkan ponselnya karena kebetulan Devid tak membawa ransel.
Sesampainya di depan rumah berpagar tinggi. Mereka langsung disambut hujan lebat seketika, Acha menyerahkan ranselnya lalu merentangkan kedua tangan sambil menghirup bau hujan kesukaan. Devid dan Reina berlarian menuju pos satpam.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Teen FictionPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...