"Harus sadar diri akan kesalahan yang diperbuat. Sampai, menghambat beberapa niat, mungkin karena masih tersisa kesalahan yang belum termaafkan."
Pagi di hari minggu terasa berbeda di mana ada pelakor di dalamnya. Ruang bergerak pun terasa sempit dan seolah ada orang yang berjaga dan mengawasi gerak-gerik. Padahal, yang ditempati apartemen siapa, tapi yang menjaga kesopanan siapa. Seperti biasanya, setiap pagi Devid tidak langsung keluar, ingat jika ada Devita tentunya. Karena ia malas berbicara basa-basi apalagi tentang masa lalu, yang kata Devita sangat menyenangkan sampe ginjal gatel jadinya.
Di dapur mungil tempat Acha bertempur dengan racikan dan bahan masakan yang telah dikaji, dipelajari ragam rasanya. Sekarang menu sarapan untuk bertiga adalah sayur sup daging sapi. Tidak ada menu spesial selain itu. Karena bagi Devid dan dirinya asalkan makan sudah jadi, asalkan perut kenyang tidak merasakan lapar. Tanpa diminta duduk santai menatap kegiatan Acha, Devita datang bermalas-malasan. Masih dengan baju yang dipakainya manggung karena Acha maupun Devita enggan memakai atau meminjamkan baju.
Melihat ke sekeliling tidak didapati Devid, Devita pun menarik roti dan memberikan olesan susu dan cokelat tabur. Polos sekali, ya, tuh tamu, batin Acha seraya memberikan bumbu penyedap. Sampai, harum wangi terasa menguap memberikan kejutan di darat. Setelah sup yang telah jadi, Acha segera membawa nasi dan menyimpan tiga mangkuk di meja makan untuk mereka bertiga. Tatapan Devita menatap malas Acha, penampilannya lebih menarik dirinya dibanding Acha, batin Devita. Namun, mengapa Devid seolah buta memilih perempuan di depannya?
"Ngomong-ngomong, lo kok gak hamil? Gak mungkin kan, nunda mulu kehamilan, atau jangan-jangan lo man—"
"Terserah Tuhan, dong! Emang elu berhak ngatur-ngatur hidup, gua?"
Devita menelan dalam-dalam roti yang digigitnya. Acha tersenyum miring melihat ekspresi Devita.
"Elo mau ngejatuhin mental gua, ya? Sorry, Vit ... salah orang!" Acha menekuk kedua sikunya, berhadapan langsung dengan Devita. "Gua bukan istri yang kayak di sinetron Indonesia, sekali dicaci atau disindir langsung lemah, lo salah orang!"
Wadidaw, Acha dengan percaya diri berkata demikian. Ya haruslah, mengingat Devita pula benar-benar merendahkannya. Seolah dirinya lemah dan bisa dengan gampang disingkirkan. Namun, itu bukan Acha Sastro Marisa. Cewek lemah langsung nangis karena tersindir oleh pelakor.
"Lagian, ya, gua lebih malu kali. Kalo ... udah tahu dia suami orang, eh malah dempet-dempetan, kek jablay!" Acha menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Ups, kek pelakor maksudnya."
Suasana di dapur bagi Devita sangat panas, ingin sekali ia menarik rambut Acha yang terjepit ke belakang. Namun, bukan waktunya, sekarang ia berada di apartemen milik perempuan itu. Tidak lama kemudian, Devid datang masih dengan baju yang semalam dipakai. Melihat wajah kusam dan ditekuk Devita, sudah dipastikan ada perang kecil barusan yang pastinya dimenangkan oleh Acha.
Setelahnya dengan perhatian sebagai istri yang mencintai suaminya, Acha membawakan sendiri khusus Devid. Mereka berdoa terlebih dahulu, lalu awal yang menyenangkan adalah Devid menyuapi Acha di depan Devita. Ye, siapa suruh mengganggu keromantisan mereka? Devita lagi-lagi menahan emosinya dengan cara mencubit pahanya dalam-dalam. Menghirup udara panjang dan membuangnya patah-patah, sampai sarapan pagi itu berakhir.
"Masakannya selalu, mantap!" puji Devid, diakhiri mencium pipi kiri Acha.
Acha membalasnya dengan kecupan singat pula di pipi kanan suaminya, sedangkan Devita terbengong-bengong. Masih ada yang harus Acha kerjakan, ia segera menuju kamar membawa baju cucian. Melihat kesempatan berdua di dapur, Devita yang siap melancarkan aksinya tiba-tiba Devid beranjak pergi, menuju kamarnya juga. Devita mendengkus sebal. Sialan, batinnya seraya beranjak menuju balkon. Di sana, terpampang jelas jemuran Devid dan Acha. Pemandangan celana dalam yang saling berhadapan, Devita ingin menjerit dan pergi dari apartemen itu.
Warna merah muda dan satu lagi abu kehitaman. Pastinya milik Acha dan Devid tentunya! Jadi, hanya kamarnya saja yang bisa menghentikan emosi terpendam itu. Devita masuk lagi ke dalam, bersiap melangkah menuju kamar dan lagi, pemandangan tidak diinginkan. Devid dengan mesranya menguncir rambut Acha, sedangkan Acha sendiri membereskan perabotan di sekitar televisi. Baiklah, ini bukan tempat Devita.
Langkahnya sengaja dihentakkan, agar menciptakan kegaduhan menandakan ia lewat. Namun, tidak terjadi apa-apa, Devita sampai masuk ke kamar dan dua manusia itu masih fokus berduaan. Secepat kilat, Devita menyambar tas kecilnya merapikan keadaannya sekarang, lalu menarik pintu keluar begitu saja tanpa pamit. Ah, senangnya Devid dan acha berhasil mengusir Devita dengan cara selembut kapas.
"Tanpa harus teriak mengusir pelakor dari apartemen sendiri!" seru Acha, sambil merebahkan tubuhnya ke sofa, merasa merdeka karena tidak ada lagi nyamuk yang mengganggu.
Devid pun segera menyusul, tidur di sampingnya. "Mungkim dia kesepian, gak papalah niat mengobati hati jomlo, ya, 'kan?"
Acha menampol kening Devid. "Bukan jomlo, tapi pelakor!"
"Iya, pelakor tak tahu malu ...."
Acara pagi hari penuh tawa itu segera terhenti, kala Acha memandang Devid dengan serius. Mereka pun duduk berhadapan. "Kenapa?" tanya Devid.
Digenggamnya jemari Devid kuat-kuat. "Ngerasa gak, sih? Kita belum minta maaf sama nyokap."
Devid terdiam, seketika mengingat ibunya yang berteriak menghentikan langkahnya agar tidak pergi meninggalkan rumah.
"Apa mungkin, ada sebabnya Tuhan enggak cepet ngasih kita momongan? Masih ada dua manusia yang terluka dan kita, belum minta maaf sama mereka."
Devid mengakuinya. Mereka sama-sama belum mendapat restu kedua orang tua. Namun, jika sudah sembilan bulan lebih menikah, apakah mereka akan dengan marahnya memaksa sebuah perceraian? Bukankah mereka merasakan bahagia, hanya sekarang, merasa sepi tanpa seorang anak yang diharapkan. Jadi, Devid menyimpulkan, besok mereka harus datang meminta maaf. Acha sendiri meminta agar dirinya pergi ke Bandung sendiri, sedangkan Devid menemui Dinda.
Awalnya mereka pula ragu, tetapi memang pasti di sana kesalahannya. Terakhir berjumpa waktu mereka kabur dan memilih tinggal di apartemen. Minggu itu, tidak biasanya dilalui dengan kebisuan, merangkai kata bersiap untuk esok hari. Jadi, mereka akan kembali meminta hari libur, demi masa depan, soal uang bisa dicari, tetapi bagaimana jika sebuah maaf dan restu belum mendapat jawaban pula. Di hari yang sama, dari Sinta ataupun Dinda, sama-sma merindukan anaknya.
Apalagi Dinda yang hanya memiliki Devid di hidupnya, ternyata memilih menjauh pergi. Maksudnya, ia sendiri menjodohkan Devid dengan Devita, agar anaknya tidak pergi jauh. Karena rumah mereka berdekatan, dipastikan setiap hari pula Dinda akan melihat anaknya bahagia. Namun, nyatanya tidak diharapkan, Devid pergi meninggalkan, kabar pernikahan bersama Acha membuatnya teramat kecewa lalu benar-benar kehilangan sosok Devid yang sulit ia temukan. Meskipun beberapa kali membujuk Devita agar berhasil membawa Devid kepadanya, tetapi selalu gagal.
"Gua baru sadar tau, untung si pelakor tadi ngungkit gua belum hamil. Jadi, gua mikir, mungkin ada sesuatu yang belum terselesaikan," jelas Acha.
Devid memeluknya erat. "Udah, besok kita minta maaf. Gak mungkin kan seorang ibu menolak maaf dari anaknya."
"Kita juga harus jelasin, selama ini alhamdulillah soal biaya hidup tercukupi."
"Iya, besok, ya."
Semoga dimaafkan, ya, mereka 😢
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
TeenfikcePINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...