45. Tetangga Baru

273 41 0
                                    

"Menjauhi luka dengan cara bermigrasi ke salah satu kota, di sini semua akan terasa berbeda. Namun, biarkan diriku sama."

Richard

Wangi sop buntut khas masakan Dinda sudah memenuhi semua ruangan, membuat Devid mengendus-endus sampai di depan uap panas yang dinantikan. Dinda hanya terkikik melihatnya, setelah membagi sop dengan dua mangkok. Ia menyuruh Devid untuk makan malam duluan.

"Si Cangcuts di sini aja, Ma ... ngapain dianterin!" seru Devid saat langkah Dinda sudah sepenuhnya sampai di ambang pintu.

Dinda pun melirik anaknya. "Gak papa, mau liat Sinta juga," tolaknya seraya melanjutkan langkahnya.

Devid berdecak, ia pun mulai menuangkan sopnya dan secentong nasi putih. Tak lupa, tablet yang berada di kantong celana dikeluarkan. Sekarang, tabletnya bertambah, menjadi sepuluh bulatan yang biasanya hanya lima. Tentunya, Dinda tak tahu itu semua.

Setelah menelannya. Devid langsung menyuapkan nasi dengan kuah sop buntut. Tubuhnya mulai bereaksi, terasa rileks lagi. Di luar, Dinda menemukan mobil sedan hitam terparkir, tepat di depan pagar rumah yang ditempati Yogi.

Matanya menatap punggung seseorang yang sedang mengeluarkan koper dari bagasi. 'Secepat itukah pengganti Yogi datang?' batinnya. Hingga laki-laki jangkung itu menatapnya langsung, lalu tersenyum hangat.

"Maaf, Bapak orang yang mau isi rumah ini, ya?" tanya Dinda, tangannya menunjuk rumah mantan kediaman tetangganya.

Lelaki dengan rambut pirang kekuningan itu mengangguk, dalam remang-remang lampu jalanan, tak salah lagi, Dinda menatap bola mata yang berwarna biru terang.

"Iya, saya Felix ... senang bertetangga dengan Anda," ucapnya memperkenalkan diri.

Kedua tangan Dinda yang sedang membawa mangkok dengan uap panas, membuatnya hanya menganggukkan kepala. Suaranya tak salah lagi, terdengar orang luar negeri.

"Saya Dinda, rumah saya tepat di sebelah sana," tunjuk Dinda menggunakan dagunya ke arah pagar putih.

Sekali lagi lelaki itu mengagguk. "Mau ke manakah, Anda?" tanyanya.

"Tepat di antara rumah kita, itu tetangga dekat saya. Mari," pamit Dinda.

"Silakan," ucap Felix kembali mengeluarkan barangnya.

Dinda sudah menghilang masuk ke rumah Acha. Felix tertegun, ternyata di Kota Bandung orangnya ramah-ramah, setelah membawa kunci dari Pak Wawan pun ia merasakan tangan terbuka dan sopan santun yang terjaga.

Tangan kekarnya membawa langsung dua koper ke dalam rumah, di dalam lampu depan sudah dinyalakan. Seorang remaja menggunakan sweter abu terlihat memerhatikan keadaan rumah. Kedua tangannya tenggelam di saku sweternya, rambut berwarna pirangnya pula menegaskan kemiripan di antara mereka.

"Richard, ambilkan satu koper lagi di dekat mobil. Ayah lelah, lalu masukkan mobil ke garasi," titah Felix seraya duduk menyandarkan punggungnya.

Richard Hanz. Remaja blasteran Indonesia-Jerman itu mengangguk mantap, langkahnya lebar menuju luar rumah. Setelah perjalanan panjang dari Gun Tembawang, tanpa berhenti sejenak hingga sampai Kota Bandung pilihannya. Jalanan yang sepi, membuat Richard tak grogi mengendalikan mobil yang baru ia pelajari.

Koper dan tas kecil sudah masuk ke dalam rumah. Ayahnya tertidur dengan wajah memiring ke kiri, tanda sangat lelah. Richard pun mulai membereskan barangnya sendiri, langkahnya menaiki anak tangga menuju lantai atas. Di sana, semua pemandangan dan kemilau cahaya perumahan malam terlihat jelas.

Tak ada satu pun barang yang tertinggal oleh orang yang sudah mengisi rumah ini. Semua terlihat bersih, hanya beberapa debu jejak lemari tua di setiap penjuru. Tubuh tingginya menjulang, ternyata sebuah petakan khusus kamar langsung menghadap ke jalanan.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang