50. Gara-gara Siswi SMP

258 35 4
                                    

"Hanya diam. Enggan mengucap sepatah kata, karena kita tak saling mengenal. Bahkan akan terjadi permusuhan."

Jemari Devid mulai keram, sedangkan lelehannya semakin terasa memilukan, cahaya lampu jalan yang menembus gorden berwarna krem di samping membuat Devid menahan ringisan—darahnya menetes di atas punggung Acha yang gemetar. Rasa pening di kepala kembali menyerang, hidungnya dibekam oleh jemari yang bergetar.

Perlahan, Devid melonggarkan pelukannya, untung saja kamar tak terang. Membuat Devid leluasa keluar dengan santai, agar Acha tak mencurigai tangan yang membekam hidungnya dalam-dalam.

Acha mendongak, Devid sudah keluar dari kamarnya. Tangisnya semakin keras, semua orang tak ada yang peduli, termasuk Devid. Ia membenturkan kepalanya ke lantai. Harapan hidupnya mulai pupus, tak ada yang peduli. Haruskah ia mati? Pikirnya.

Seluruh badannya gemetar, menuruni anak tangga yang seakan dipermainkan. Tangan Devid masih menahan cairan kental agar tidak keluar, kakinya menuju kamar mandi yang sepi. Langsung saja pintu dikunci, napasnya memburu, sesak, tubuhnya tersungkur di lantai dingin kamar mandi.

Tangan berlumuran darah itu mencoba memutar pancuran air. Namun, sangat sulit, dada Devid semakin sesak. Napasnya seolah terputus-putus, hingga air matanya menetes—dengan sekuat tenaga suara air yang keluar terdengar.

"Astagfirullah ... kenapa sakit gini? ringis Devid sambil membasuh sekitaran hidung dan bibirmya.

Wajah Devid memucat, tenaganya mulai terkuras. Namun, ia tak bisa berdiam diri hanya menunggu orang menolongnya, itu akan membuat semua orang tahu, dan rahasianya terbongkar begitu saja. Selesai membasuh wajahnya, Devid menatap langsung pantulan dirinya di cermin. Bibirnya memutih, matanya menyipit sayu.

Ia mencoba tersenyum, setetes air mata keluar, disekanya dengan cepat, lalu bergumam, "Ma, Cha ... kalian orang yang buat gua bertahan, yang rela menjauh dari kenakan remaja, kecuali perempuan." Devid tersenyum hambar.

Dibukanya pintu kamar mandi, meskipun di dalam masih terasa bau anyir. Namun, Acha sangat jarang memasukinya karena ada kamar mandi di kamarnya sendiri. Membuat Devid bersyukur lega. Langkahnya seperti seorang maling, agar Acha tak menyadari Devid baru keluar.

Sampai di depan pintu rumahnya, diintipnya lewat jendela yang menampakkan celah ruang keluarga. Masih sepi, televisi mati. Sudah dipastikan Dinda ada di dapur atau di kamarnya. Devid menggigit bibir bawahnya, tangannya siap mendorong pintu agar terbuka.

Klik!

Pintu tertutup. Matanya siaga, ia takut Dinda mendapati wajahnya yang sangat pucat. Pastinya ia langsung dibawa ke rumah sakit atau kepada sahabatnya sendiri untuk diperiksa, dan itu adalah hal yang dihindari Devid. Agar rahasianya masih terjaga aman.

Dirasa Dinda tak berada di dapur, langsung saja Devid berlari tanpa suara, aman. Ditutupnya pintu kamar, sudah pasti Dinda berada di kamarnya pula. Secepat mungkin, ia membuka lemari pakaian. Seperti biasa menelan sepuluh tablet berbeda bentuk dan warna.

Wajahnya masih pucat. Namun, ia tak peduli. Tubuhnya telentang, matanya yang sayu menatap langit-langit kamar. Terasa buram, sebelum semua lenyap, Devid menyambar ponselnya yang berada di atas nakas.

"Cairan kental datang, om," ucap Devid melapor.

"Besok kamu ke sini, jangan dipaksakan sekolah!" tegas Aryo.

Bibirnya kelu. "Iya."

Sambungan terputus. Begitu juga napasnya berubah memburu, dadanya terasa sesak. Aneh, padahal sudah menelan obatnya. Namun, Devid merasakan sakit yang teramat menyakitkan. Seolah rambutnya tertarik ke atas, hidungnya panas dan kerongkongannya yang kembali gatal.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang