169. Jangan Nolak

62 13 11
                                    

"Kadar bahagia seseorang itu tidak selalu sama dan kamu, tidak berhak berkomentar."

Acara masak-masak di dapur yang selama sepuluh tahun lamanya hanya diisi oleh Acha dan Devit sekarang tidak. Ada banyak guyonan yang terlontar, diiringi tawa sampai langit di luar sana berwarna hitam legam. Tak lama juga kumandang azan terdengar dari tayangan televisi, memaksa keempat orang yang berkumpul di sana memisahkan diri.

Acha mengajak Gita ke kamarnya, mencari baju ganti. Karena Acha jarang memakai pakaian Islami ia hanya mampu meminjamkan sweter dan sebuah rok hitam yang sering Acha gunakan saat hari jumat untuk mengajar. Jadi, Gita masih bisa memakainya dengan nyaman, sedangkan kerudungnya berganti menjadi warna krem seperti sweter yang dipakai.

Gita memang tidak meminjam sementara baju Acha, tetapi Acha yang memberikan. Karena merasakan gerahnya berada di dapur untuk menyiapkan makan malam, rasanya sangat penuh keringat. Tidak mungkin kan terus memakai bajunya sampai malam hari. Setelah antre untuk mandi, untuk pertama kalinya Gita merasakan kehangatan di keluarga Devit. Sangat menyambutnya hangat, penuh kebahagiaan dan sekarang mereka akan melaksanakan salat magrib berjamaah.

"Dari dulu Devit suka jadi imam di rumah, jadi jarang ke masjid," terang Acha.

"Ohh, gitu, ya, Tan?" Gita pun mengangguk paham diam-diam dia  mempertanyakan Devid yang jarang dibicarakan oleh teman sekelasnya itu, padahal ayahnya sangat kocak, pikir Gita.

Sampai jam makan malam pun tiba, Gita yakin walaupun ia tak hadir di antara keluarga Devit masih tetap akan ada bahan bincang untuk ditertawakan. Pastinya gara-gara Devid dan anak satu-satunya, sedangkan Acha bagaikan penonton yang harus tertawa di setiap komedi yang dibawakan. Tak biasa, bahkan Gita rasa saat makan di rumahnya akan sepi, hanya terdengar bunyi alat makan saja.

Karena ayahnya melarang siapa pun berbincang saat makan, termasuk ibunya sendiri dan adiknya yang masih duduk di bangku kelas 2 SD terpaksa bungkam walaupun banyak cerita untuk dibagikan kepada anggota keluarganya. Sekarang Gita merasa beda ia sesekali tersenyum kecil, saat Acha bertanya ia harus menegak air minum terlebih dahulu.

"Jadi, selain satu kelas kalian juga satu bangku?" tebak Devid.

"Ya enggaklah, Pa ... Devid juga masih punya temen cowok kali!" ketus Devit.

"Siapa juga yang mau satu bangku ama manusia kek dia!" sungut Gita membatin.

"Iya, ih, Papa nanya tuh yang bener, dong!" komentar Acha.

"Hehe, namanya juga bercanda, ya, Om," sela Gita mencoba menenangkan.

Devid menghentikan suapan terakhirnya. "Kalo serius juga gak papa, kalian cocok, kok!"

Gita mengulum senyum bingung harus menjawab apa, sedangkan Devit sudah menunduk dalam menahan kesal karena tingkah papanya yang sudah lama ditunggu datang. Lihatlah! Ternyata sikap bercandanya sangat keterlaluan! Bisa saja Si Gita malah menganggap Devit menyukainya? Menyukai cewek judes? Oh jangan sampai terjadi!

Makan malam yang sangat berarti itu selesai dengan cepat, berakhir melaksanakan salat isya yang mengharuskan Gita pamit pulang. Walaupun ayahnya belum menghubungi dan menandakan sudah berada di perjalanan untuk menjemputnya. Namun, Gita tetap ingin keluar dari apartemen itu dengan cepat. Ia mulai kesal dengan Devit apalagi papanya itu yang mencoba menyindir-nyindir soal cinta.

Bukankah mereka masih duduk di bangku SMP dan sangat aneh membahas tentang cinta? Jangan lupakan pula bola mata Gita sudah ternodai melihat jelas dada putih Devit setelah latihan renang! Gita masih mengingat jelas raut wajah lelaki itu yang terlihat kelelahan dengan beberapa helai rambut hitam yang masih basah berantakan! Ah, sial mengapa Gita terus membayangkan kejadian gila itu?

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang