"Semangat. Berjuang itu menyakitkan, tetapi percayalah ada kebahagiaan yang menjanjikan, kecuali kamu memilih berhenti di tengah jalan."
Sore yang dinantikan pun tiba, bersiap dengan menyamar agar kedatangannya tidak ditolak cepat oleh orang yang sangat ingin diajak bicara. Penampilan Acha terlihat berubah total, berkat ide Bram tentunya. Tadi, sebelum berangkat menuju perumahan elite yang jauh dari kosan Acha, mereka segera membeli wig berwarna cokelat tua dan panjangnya sampai punggung. Tidak lupa sebuah masker hitam, kacamata hitam juga.
Seragam yang digunakan juga seolah diturunkan dari sebuah perusahaan, terlihat formal. Jadi, Acha akan menyapa orang yang membuka pintu rumah Devid dan menyamar ingin bertanya-tanya soal kontrak panggung, setelah semua aman, Bram pun semakin menambah kecepatan laju mobil karena sudah diberitahukan oleh mata-matanya yang tinggal di kompleks itu, di hari kerja Dinda selalu pulang sore, untuk malamnya kadang tidak ada di rumah juga.
Sampai di depan dua rumah megah, Bram menghentikan laju mobil, tidak salah, seperti titik lokasi yang diberikan dan tangkapan foto yang ada di ponselnya. Acha yakin, sebelah kanan milik Devid, ia mulai merapikan penampilannya, sedangkan Bram melihat keadaan sekitar, dipastikan Devid belum pulang, setahu dia ada jam manggung sekarang. Selesai dengan penampilan aman, Acha membuka pelan pintu mobil, ia memberikan jempolnya, pertanda semua aman.
Bram bertugas berada di luar sana, melihat siapa yang akan masuk ke rumah Devid. Ada ketakutan juga, langit mulai menghitam. Segera mungkin ia akan memberitahu kepada Acha lewat pesan, langkah mungil Acha mendekati gerbang yang tertutup rapat, setelah mencoba mendorong bahwa tidak dikunci, gerbang itu pun terdorong ke kiri. Memberikan jalan, bagi Acha yang memakai rok sepan selutut, kemeja putih lengan pendek dan mendekap sebuah map berisikikan buku catatan.
Langkahnya masuk ke pekarangan yang terlihat bersih, tetapi melihat bayangan rumah di depannya sepertinya sangat sepi. Sampai di undukan tangga terakhir, Acha mempersiapkan diri, suaranya harus berbeda juga, sedikit berwibawa. Diketuknya pelan pintu itu karena tidak didapatinya lonceng, lama pintu terbuka dengan lebar, setelah ketiga kalinya menjeda, pintu pun terbuka.
Sosok Dinda yang masih menggunakan baju kantoran sangat berbeda. Dulu, ibu satu anak itu selalu memakai baju rumahan dan dilindungi celemek agar adonan kue hiasnya tidak mengotori baju. Namun, yang dilihat Acha sekarang berbeda. Rok sepan semata kaki dipadukan kemeja putih yang ditutupi oleh jas hitam. Rambut di belakang terlihat digelung mungil, senyum hangatnya membuat Acha rindu masa lalu.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Acha tersadar, lalu menundukkan sedikit kepalanya. "Maaf, Ibu, mengganggu aktivitas di sore harinya. Saya perwakilan dari kafe Green Tea, ingin mengajukan kontrak panggung Double D."
Tidak ada perubahan yang terlihat dari raut wajah Dinda, di saat Acha menjawab. "Ohh, harusnya langsung saja ke manajernya, tapi karena sudah terlanjur ke sini. Saya saja yang uruskan, mari masuk."
Berhasil, Acha sampai masuk ke ruang tamu yang elegan itu. Tidak jauh dengan rumah milik Arga. Terhiasi ukiran di kayu-kayu dinding, berwarna keemasan, pula sekelompok hiasan mungil di lemari kaca. Acha duduk manis di salah satu sofa, lalu Dinda pamit untuk membawa minum. Jika, Acha tidak menyamar, dipastikan saat membuka pintu, wajah Dinda sudah memerah lalu mengusirnya.
Namun, kenyataannya tidak, Acha berhasil masuk ke dalam. Apa selanjutnya? Di saat Dinda datang lagi, penampilan Acha akan berubah, Acha sebenarnya akan hadir di rumah itu. Tanpa menunggu lama, wig, masker, kacamata hitam, ditanggalkan oleh Acha. Sekarang, ia tinggal menunduk, dengan perubahan rambut sebahu hitam. Suara sandal pertanda langkah Dinda mendekat, semakin membuat Acha tertantang.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Teen FictionPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...