63. Nabrak Dosen

166 24 3
                                    

"Gagal sekali bukan berarti arti berhenti. Akan ada harapan lagi, nanti dan esok hari."

Acha

Ruangan bernuansa putih itu terlihat bersih dan harum wangi menyegarkan dari arah pendingin ruangan. Bukan hanya omongan saja, memang kampus favorit penuh otak cerdas, disiplin, juga memiliki ruang nyaman untuk berpikir. Beberapa bangku berjejeran rapi, ditempati oleh calon mahasiswa yang telah bersiap mengikuti sleksi sekarang. Dari arah depan, Acha berjalan mantap mengedarkan pandangan menatap satu per satu orang di sana, sampai memutuskan duduk di bangku paling pojok.

Seorang perempuan tepat berada di depan membalikam tubuhnya, tersenyum simpul lalu berkata, "Udah ngasih formulir pendaftaran?"

Acha mendongak, mengernyit kebingungan. "Belum, ke mana ngasihnya?" tanyanya.

"Lah, tadi dosen ... kalian tabrakan di ambang pintu!" balas perempuan bermata sipit itu.

"Oh, itu. Jadi, gua harus ngapain nih?"

"Ke kantor aja, soalnya sekarang sleksi mau dimulai takutnya elo enggak kehitung kan belum ngasih formulir," jelasnya seraya menyodorkan tangan. "Gua Wirda, salam kenal, ya."

"Acha, makasih infonya." Mereka pun berjabat tangan, tak lama Acha memutuskan keluar dari ruangan mencari kantor yang pastinya harus ada dosen tadi.

Di luar, suasana masih sama penuh beberapa calon mahasiswa. Ada juga mahasiswa yang sibuk dengan tugas, terlihat dari jas almamaternya. Keren, pikir Acha. Ia berharap bisa diterima, selain ada kesempatan mencari keberadaan Devid di sekitar, memilih berlama-lama adalah kesempatan. Sampai, tubuh mungilnya menghadap sebuah papan peta, di mana keseluruhan sudut ruangan berada di sana beserta nama ruangannya.

Acha segera mengeluarkan ponsel, menangkap peta itu dengan kamera. Setelahnya, mengikuti arahan akan menuju kantor para dosen berada. Sepanjang perjalanan, kebanyakan sedang menundukkan kepala, entah itu menulis ataupun memainkan ponsel. Sampai di depan pintu yang dituju, Acha melongok ke dalam. Penuh dengan orang-orang pintar, kebanyakan sudah tua. Mengenakan setelah kemeja putih dan bawahan hitam.

Tak perlu banyak waktu, orang yang dicari tiba-tiba datang menghampiri, tetapi melewati Acha begitu saja, dengan cepat dikejarnya lelaki berkacamata itu. "Maaf, Pak!" seru Acha, berusaha menghentikan langkah lelaki di depan.

Seketika, tubuh tegap itu memutar, menyipitkan matanya. "Ada yang bisa saya bantu?"

"S—saya mau memberikan formulir pendaftaran. Dari Sastra Indonesia," jawab Acha.

"Sebentar, kamu yang tadi saya tabrak, ya?" tebak Arga, mengingat kejadian tadi, tiba-tiba ia tertawa. "Haha! Kamu pendaftar terakhir, berikan formulirnya."

Raut wajah Acha sudah tak bisa diartikan lagi, ia merasa aneh dan entahlah mengapa harus tertawa? Pikirnya, setelah diserahkan formulir itu Arga membacanya sekejap, hanya deretan nama gadis di depannya saja.

"Saya Arga, yang akan mengajar khusus Sastra Indonesia." Arga memperkenalkan dirinya. "Kamu telat datang. Jadi, beberapa penuturan singkat tertinggal."

"Maaf, Pak, padahal saya sudah masuk dengan jam yang tepat. Apa jadwalnya dirubah, ya?"

Arga mengedikkan bahu. "Kamu kesiangan, ya memang kampus kita selalu menerapkan di jam awal, bukan yang telah ditentukan. Karena jika sudah pada datang dan hanya satu orang telat, untuk apa menunggu? Lebih baik ia ditinggalkan."

Acha merasa lelaki di depannya itu memang menyindir dirinya, ia pun undur diri pamit, tetapi Arga segera mencegah agar mengikutinya ke sebuah ruangan. Sebagai hukuman karena telat datang, Acha tak bisa menolak biarkan menjadi pelajaran di mana sebagai mahasiswa di sana jangan tepat waktu, tapi awal sebelum waktu ditentukan. Pintu bercat putih itu terbuka, memberikan jalan untuk mereka, masuk ke dalam langsung disambut berjejeran buku-buku rapi.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang