73. Di Ketinggian 2.540 MDPL

108 26 18
                                    

"Di bawah langit malam, angin di puncak ketinggian, mendapati keromantisan yang nyata di depan."

Langit semakin menghitam, begitu pula dengan suhu di ketinggian yang kurang lebih 2.540 MDPL terbayang bagaimana dinginnya, bukan? Api unggun di tengah perkemahan menjadi penghangat. Walaupun dingin menusuk, mereka memaksakan diri tidak sampai makan di dalam tenda. Devid masih berada di samping Devita, sedangkan Acha di dekat Bram yang memperlihatkan potretan tadi sebelum pendakian. Semua orang telah curiga, bahwa Bram dan Acha memang memiliki status lain, bukan hanya teman biasa.

Namun, Bram hanya menanggapinya dengan canda. Toh, nyatanya dia cuma membantu Acha menemukan Devid yang sebenarnya. Jikalau, memang Devid yang ada di sana lupa ingatan, maka perjuangannya takkan terhenti. Ia harus menyadarkan lelaki itu. Walaupun rintangan di depan, sangat penuh liku. Tatapannya beralih menatap Acha, perempuan di sampingnya itu dengan santai menyuapkan nasi yang ditemani sup sayur, pastinya buatan chef Ikhsan. Dia lelaki satu-satunya yang bisa dibiliang langka. Karena, terlihat dari postur tubuhnya biasa, terlihat lelaki jantan, tetapi di saat menikmati masakannya sangat sempurna.

"Jadi leader?" tanya Acha, memecah keheningan.

Bram mengangguk. "Mau pindah kelompok?" tanyanya balik.

"Enggak, ngapain juga." Tangan Acha merapikan helaian rambut yang diterpa angin malam, hidungnya juga terasa tersumbat.

Melihat keadaan Acha yang dipastikan sangat kedinginan, Bram pun menyodorkan selembar penghangat hidung yang biasa pendaki pakai dan ditempelkan di tulang hidung. Acha menerimanya lalu membuka pelan pembungkusnya, ia ragu menempelkan. Hingga, jemari Bram yang menggantikan. Di bawah langit malam yang gelap, sedikit bintang terang menyelinap. Acha merasakan kedekatan yang teramat membutakan, ia lupa permasalahan tentangnya dan Devid.

Detik berikutnya, Bram menekan pelan plester hangat itu. "Udah, nanti gak dingin lagi."

"Thanks," balas Acha, seraya menunduk entah mengapa, ia menjadi gugup.

Tanpa mereka sadari, kedua bola mata hitam di ujung sana mengintai. Tangannya memang memeluk pundak temannya memberi kehangatan, tetapi mata dan pikirannya terfokus menatap adegan barusan. Jadi, mereka memang pacaran? Bram juga terkenal akan para mantan yang cantik, tetapi tidak sesering Devid berganti-ganti. Ia lebih memfokuskan diri dengan hobi, katanya untuk pacaran hanya bonus di jalan. Jangan lupakan, karisma Bram bisa dibilang lelaki idaman. Kebanyakan yang berhasil ia pacari, pastinya anak gunung yang menantang ketinggian.

Setelah makan malam selesai, pak Santo memberikan pesan untuk nanti pukul dua pagi, diharuskan cepat bangun dan bersiap summit attack jangan sampai ada yang halangan. Seperti malas bangun, kecuali ada yang merasa sakit jangan dipaksakan. Selanjutnya, pak Santo meminta Devita untuk jujur kepada anggota lainnya, bagaimana keadaan kakinya sekarang.

"Udah baikan, kok, cuma sedikit pegel aja," jelas Devita, pancaran bola matanya meminta agar ia bisa menaklukan puncak, ia juga menggenggam jemari Devid di sampingnya.

"Serius? Jangan dipaksakan, takut kenapa-napa soalnya track di depan makin menantang bukan gampang," komentar pak Bagas, mengingat ia juga yang sering dan semua jalur telah ditaklukan masih merasakan kesulitan.

Devita menyenggol bahu Devid. "Ngomong, dong ... gua mau ikuttt!" omel Devita.

Devid menarik napasnya panjang. "Kaki lo masih sakit, 'kan?"

"Enggak!" tegas Devita, matanya meyakinkan Devid bahwa ia baik-baik saja. "Gua janji, nanti turunnya dibantu sama ...."

"Saya aja," sela kak Bubun, mengingat ia harus bertanggung jawab juga.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang