"Jangan menyalahkan, kita harus sabar dan menjalaninya penuh ikhlas. Di ujung sana, keberhasilan menanti untuk digapai."
Setelah melepas rasa rindu bersama sang ibunda, Devid mendapat waktu hanya bersama Acha berduaan di halaman belakang. Terhampar kolam renang yang tak pernah disentuh oleh penghuninya, Dinda memutuskan untuk memasak menu makan malam nanti dan melarang Acha membantunya. Dinda ingin anak dan menantunya itu menikmati waktu berdua, setelah perpisahan selama sepuluh tahun yang lama.
Acha menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi panjang, di mana Devid pun duduk di sebelahnya dengan nyaman. Tatapan keduanya menikmati riak air kolam karena angin sore. Beberapa helai dedaunan mengotori kolam yang dasarnya sudah tak lagi bening karena kotoran. Devid pun menoleh, menarik bahu Acha untuk bersandar di dadanya.
"Ohh, iya, gua mau jelasin sesuatu yang pasti menurut lo aneh, kan?"
"Apaan?" tanya Devid sekarang pusat perhatiannya adalah Acha.
"Mama udah tau juga soal ini, awalnya heran kenapa kok Devit bisa cepet nyelesein bangku sekolah dasarnya? Pasti, ya, jawabannya loncat kelas!
Bahkan dulu waktu dia umur empat tahun, guru PAUD-nya nyaranin langsung masuk aja ke SD, ya gak bisa, dong! Semua itu ada aturannya, minimal kan sekarang enam tahun, ya? Nah, pas banget Devit umur enam tahun, baru gua daftarin ke SD.
Tapi ... bukan SD biasa, gua sebagai ibunya dan tahu betul tentang pendidikan. Dia tuh beda dari anak lainnya, terus gua mikir perasaan ngajarin dia belajar sesuai umurnya, kok! Sampe gua masih inget ama perkataan, Bram."
Acha menoleh. "Dia tuh anak spesial. Dia tahu, lo ibunya berjuang keras, berjuang sendiri tanpa sosok suami dan ayah bagi dia! Asal lo tau, dia tumbuh dewasa, saat anak-anak seumurannya nangis-nangis mau jajan mainan!
Gua sadar, Dev, dia anak yang ... bener-bener spesial. Setiap minggu harus ada buku baru buat dia baca, entah tentang masak atau dunia luar sana, dia bakal baca selama buku yang dibaca khusus untuk anak-anak!
Sampe pada akhirnya, dia kenal olahraga renang, ngerengek pengen ikutan. Gua? Gak bisa ngelarang dia! Di kelas satu itu, semua guru rapat dan undang gua, kalo Devit sebaiknya loncat kelas! Gua tadi bilang kan, SD-nya itu bukan yang biasa, gua masukin dia ke SD akselerasi, kebanyakan dan ciri anak-anak yang masuk ke sana itu memiliki kecerdasaan yang di atas rata-rata!"
Devid mengangguk setuju dan bangga mendengarnya. "IQ dia berapa waktu masuk SD?"
Acha mengerutkan keningnya, mencoba mengingat lagi masa itu. "Seratus dua puluh!"
Skor IQ dari 120-129 termasuk superior. Dari sana, Acha tidak lagi bimbang akan pergaulan Devit yang seharusnya kelas 1 SD karena loncat kelas ia masuk di kelas 3. Devit mampu beradaptasi dengan cepat, sampai pada akhirnya Devit lulus dari SD. Namun, Acha memilih memasukkan Devit ke SMP biasa, ia ingin Devit berbaur dengan banyaknya orang yang berbeda dengannya dan banyak perbedaan diantara mereka.
"Pas Bram minta izin buat ngajarin motor ke dia, gua gak ngelarang juga! Toh, waktu SMP bukannya lo juga udah bisa bawa motor, kan?"
"Iya, ya! Gua baru inget, Cha! Awalnya naik sepeda, kan?"
"Nah kan! Terlepas dari Devit yang gampang ngehafal sesuatu, emang salah juga sih dia kan masih di bawah umur, tapi ... dia kan gak nyampe jalanan gede penuh polisi yang patrol! Seenggaknya beban gua anter jemput dia sekolah berkurang, ya ... gitu deh dia juga udah janji gak bakal macem-macem!"
"Anak gua mah, gak keliatan bocah sepuluh taun, Cha! Liat postur tubuhnya juga, kayak anak SMA!" seru Devid mengingat awal pertama saat ia pulang, Devit yang membukakan pintu di saat itu pula Devid kembali teringat masa SMA-nya.
"Anak kita!" kritik Acha.
Devid mencubit hidung Acha. "Iya, Changcuts ... anak kita!"
Tak lama Dinda datang membawa manisan buah, ia juga meminta Acha untuk menghubungi Sinta untuk memberitahukan kabar bahagia atas kedatangan Devid.
"Hallo?" sapa Acha setelah panggilannya diterima.
"Iya, Cha? Kamu baik-baik aja, kan?"
"Baik, kok, mama Dinda ngundang mama ke rumah. Kapan waktu luangnya?"
"Ada apa, Cha? Kamu mau nikah lagi? Sama siapa?"
Acha meringis, sedangkan Devid yang mendengar percakapan keduanya berekpresi pasrah dengan keadaan.
"Bukan, ihh ... mama bisa kan ke sini?" tanya Acha lagi.
"Malam ini bisa kok, kebetulan mama sama papa lagi di Jakarta, nanti Reina juga nyusul pastinya!"
Mendengar nama Reina, Acha mengingat masa lalu saat merebutkan Devit dan kejadian tabrakan di saat hujan. Ah, jangan sampai Reina menghancurkan kehidupannya lagi, setelah Devid kembali! Ia takkan diam, Acha sekarang punya hak melarang Devid. Toh, dia sudah menjadi istri sahnya! Termasuk menjauhkan dari Devita!
Panggilan pun berakhir, Dinda memilih duduk di seberang Acha dan Devid. "Kalian belum ke rumah, Devita?"
"Tadi ketemu di depan, mungkin nanti juga ke sini," jawab Devid.
Acha penasaran dengan status Devita yang sudah memiliki anak. "Keluarganya baik-baik aja, kan, Ma?"
Dinda menoleh, lalu menggeleng lemah. "Hari ini, mereka mau sidang perceraian," lirihnya.
Acha terdiam, bingung dan merasa takut kehilangan Devid lagi.
"Kok bisa?" tanya Devid.
"Devita bilang, suaminya itu selingkuh! Tapi ... keluarga dari suamiya tidak terima Vita menggugat cerai karena hal yang katanya sepele," jelas Dinda. "Mama minta, kalian jangan terlalu percaya sama omongan dia, ya?"
Lah, kok? Mengapa Dinda malah berkata demikian? Bukankah Devita butuh teman saat keluarga kecilnya hancur berantakan?
"Mama sendiri yang liat, dia yang sering pergi dengan laki-laki yang berbeda. Ya ... kalian juga tau, bagaimana kerjanya penyanyi kafe yang pulang dini hari?"
"Oh, dia masih nyanyi?" tanya Acha memastikan.
"Iya, keluarganya pula sempat bimbang lahirnya cucu pertama mereka!"
Ternyata, setelah Acha mengurung diri dari dunia luar, orang yang pernah dekat dengan Devid sangat disayangkan alur perjalanan hidupnya. Namun, itu salah Devita sendiri, sedangkan Acha dan Devid dipisahkan karena takdir Tuhan! Ada benarnya juga, jika dulu saja Devid tidak pergi ke Jerman, pasti keluarganya akan baik-baik saja.
Di balik rasa kecewa itu semua, Acha sadar takdir tak seharusnya ia salahkan. Namanya juga takdir sudah ditentukan oleh Tuhan, ia hanya mampu menjalankan alur kisahnya saja. Sampai ia mengingat kedatangan Richard waktu itu, apakah ia akan membuka luka saat bercerita tentang kedatangannya?
Acha mengatur napas ia harus terbuka, jangan ada rahasia. Mengatur lalu merangkai kata apa yang harus ia ucapkan terlebih dahulu, sampai ia pun berucap, "Waktu itu, lo gak dikasih tau kan, Dev, kenapa Richard minta lo dateng ke Jerman?"
Devid menoleh, raut wajahnya terlihat suram. Devid menelan liurnya sebelum berkata, "Iya, dia cuma bilang bokap butuh gua."
Dinda menunggu apa yang akan dibahas oleh Acha. "Jangan bilang, dia sekarang minta yang datang, Cha?" tebaknya.
Acha menggeleng lemah. "Dia dateng ke Indonesia, minta gua tanda tangan di atas surat wasiat!"
Devid dan Dinda saling bertukar pandang. "Kapan meninggalnya aja kita gak tau, Cha, Si ANJING! Seenaknya minta tanda tangan di surat wasiat?!"
Digenggamnya erat jemari Devid yang dingin. "Tenang, dia balik lagi ke Jerman, kok, tanpa tanda tangan gua!"
Tak habis pikir, Devid memejamkan matanya keras. "Jadi, dia minta gua ke sana cuma buat warisan yang gak seberapa! Sampe akhirnya gua sepuluh tahun disangka meninggal!" Devid murka, ia melepas genggaman Acha lalu berdiri, menatap jauh ke depan. "Gila, tuh, orang! Anak kandung aja bukan, ANJING!"
"DEV!" teriak Dinda. "Semua sudah terlanjur, tenang jangan dengan emosi," papar Dinda.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Genç KurguPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...