97. MT. PRAU 2.565 MDPL

111 24 5
                                    

"Apa pun yang ingin digapai, harus diiringi perjuangan."

Kenapa disebut Gunung Prau? Karena bentuknya seperti perahu. Gunung Prau akhir-akhir ini sangat populer dan cukup gampang, cocok untuk pendaki pemula. Gunung Prahu terletak di kawasan Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, Indonesia. Memiliki ketinggian 2.565 MDPL (meter di atas permukaan laut). Gunung Prahu terletak pada koordinat 7°11′13″S 109°55′22″E. Merupakan tapal batas antara empat kabupaten yaitu Kabupaten Batang, Kabupaten Kendal, Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo.

Pendaki yang berkunjung ke gunung yang terkenal sebagai golden sunrise-nya pulau Jawa ini bisa mencapai ribuan. Tidak jarang pula karena membludaknya para pengunjung dan pendaki, viral kemudian berbagai foto yang menunjukkan kepadatan tenda di areal puncak, atau macetnya lintasan pendakian. Jalur pendakian Prau via Patak Banteng adalah jalur pendakian yang sering dipilih pendaki. Alasannya karena jalur ini sangat pendek dan cepat sampai di puncak. Cukup terjal dan menanjak. Tapi hanya butuh 2 jam untuk bisa sampai ke camp area.

Lama perjalanan dari Jakarta membuat Devid dan Acha belum juga sampai base camp pula sudah kemalaman. Mereka langsung mendekati beberapa homestay di mana, katanya untuk pembayaran secara cuma-cuma atau seikhlasnya. Sesampainya di sana, Devid segera meminta izin kepada seorang lelaki yang memiliki tubuh tegap dan wajah tegas, seperti biasa orang Jawa.

"Silakan, Mas, mau naik, ya?" tanya lelaki itu dan bernama mas Bimo.

Devid mengangguk cepat. "Iya, Mas, harusnya kita berangkat dari Jakarta malem, ya, biar sampe di sini dini hari."

"Nah, iya, kenapa enggak malem?"

"Ada masalah tadi," elak Devid, lalu mengajak Acha masuk ke rumah mungil khusus penginapan itu.

Di sana terdapat kamar mandi dan dua bilik kamar tidur. Sangat nyaman dan orang-orangnya juga ramah. Tadinya, Devid ingin memutuskan perjalanan malam sampai puncak, tetapi melihat kondisi Acha yang seperti kelelahan, ia tak sanggup mengucapkan. Mengingat lagi, temannya itu ingin meringankan beban. Jadi, perjalanannya pula harus santai.

Malam itu, setelah menghabiskan nasi goreng yang dibeli Devid dari salah satu pedagang, kembali lagi berpisah dihabiskan hanya beristirahat di masing-masing kamar. Devid tahu, Acha masih memendam kecewa kepadanya. Bagaimana ia bersikap waktu di pesta, di mall, perkumpulan MAPALA. Sungguh, tidak bisa dimaafkan dalam sekejap memang. Biarkan esok hari saja, pikir Devid, lalu merebahkan tubuhnya memaksa kedua matanya terpejam.

Pagi berada di kaki gunung adalah pagi yang menakjubkan. Dinginnya udara menjadi alarm bangun pagi. Sebelumnya Devid mengajak Acha sarapan terlebih dahulu. Setelah selesai memberikan persyaratan pendakian terlebih dahulu, seperti surat sehat tidak lupa sebuah keresek khusus sampah diberikan oleh Rangers dan sebuah arahan larangan disebutkan. Dilarang membawa pisau lebih dari 15 cm dan tisu basah. Untung saja, Acha sudah diberitahu oleh Bram agar tidak membawa barang kedua itu. Selesai berdoa mereka berdua mulai masuk ke jalur pendakian, tanpa mengabadikan momen di awal gapura.

Masih tersisa rasa canggung tentunya. Ada dua pilihan dari base camp sampai pos 1 bisa dilalui dengan menggukan jasa tukang ojek atau berjalan kaki saja. Kurang lebih bisa mengeluarkan kocek 50.000 rupiah. Jalanan yang mereka lalui berupa tangga tanah menanjak, masih juga terdapat banyak rumah pedesaan. Tidak lama, membentang jalan berbatu di depan cukup untuk satu mobil. Terlihat pula beberapa saung yang didirikan, ternyata warga yang berjualan.

Memang, pendakian melalui jalur Patak Banteng menyusuri perkampungan penduduk sekitar 500 meter sebelum jalur makadam menanjak. Setelah jalur makadam, ada tanah padat terbuka dan dimanfaatkan oleh warga untuk berkebun. Acha menatap sekilas dagangan yang dijejerkan, ada gelang kayu juga sticker pendakian karena mereka melalui jalur pendakian Patak Banteng. Tiba-tiba, Acha berhenti, menahan lututnya dengan kedua tangannya.

Devid pun berhenti di sampingnya, padahal mereka belum mencapai track sebenarnya, tetapi Devid juga harus bersiap dengan tenaga perempuan di sampingnya yang masih menghirup udara panjang.

"Masih kuat? Di depan ada warung makanan tuh."

Acha memicingkan matanya. Benar saja, ada banyak gubuk lain di depan, ia pun kembali melangkahkan kakinya, sedangkan Devid mencoba menyamakan jalannya agar terlihat santai. Sampai di salah satu warung, Devid segera mengajak Acha untuk duduk meluruskan kedua kaki yang pastinya terasa pegal. Dirasa tenaganya kembali kuat berjalan, Acha pun mulai melangkahkan kakinya lagi.

Hingga mereka sampai di pos 1 Sikut Dewo Devid memutuskan kembali beristirahat. Membeli makanan yang dapat mengganjal perut karena berjalan menanjak. Tidak lupa persediaan air dilihat lagi takut kurang samapi di atas. Kali ini, istirahatnya tidak lama, mereka segera melanjutkan perjalanan. Bisa dihitung warung yang berjauhan di sisi kiri ada sebanyak 5 dan di antara semuanya paling banyak dikunjungi adalah warung paling akhir.

Banyak pendaki duduk santai di warung itu. Namun, Devid tidak kembali berhenti mereka sampai melewati Pos 2 Canggal Walangan barulah di sini terasa track pendakian yang sebenarnya. Acha menggunakan dengan hati-hati Tracking Pole miliknya. Sekarang didominasi cemara dan pinus. Di depan, tampak jalur pendakian yang menanjak sejauh mata memandang. Tidak bisa dihindari, sekarang tangan Devid menuntun Acha yang kesulitan menaiki tanjakan penuh akar pohon.

Mereka berhasil melewati dan sampai di pos 3 Cacingan terlihat awan menghitam di atas mereka. Dipastikan akan turun hujan tidak lama, selama beristirahat Acha membuka pembekalannya bersantai setelah melewati tanjakan yang sangat sulit tadi. Devid pun duduk di sampingnya, masih tidak ada perbincangan. Sampai, salah satu di antaranya memberanikam diri.

"Pake jas hujan, kayaknya gak lama hujan deh."

Acha menatap langit di atas, terlihat menggelap memang. Tanpa menunggu lama segera mengeluarkan jas hujan miliknya, lalu memakainya di depan Devid yang masih terdiam dan malah memperhatikan Acha. Dirasa Devid memerhatikannya, Acha berpaling pura-pura tidak tahu.

"Masih kek bocil."

Ha? Maksudnya apa coba? Gak mungkin Devid bilang bocil ke pepohonan yang ada di dekat mereka. Jadi, Devid menilai tubuh Acha?

"Iya gua gak bohai kek cewek, Jakarta!" balas Acha, seraya membuka kemasan kue ringan di tangan.

Devid terkikik. "Lo belum pernah pacaran, juga?"

Seketika Acha terdiam, lalu menatap balik Devid. "Sekarang udah waktunya bisa, soalnya taruhan waktu dulu cuma sampe SMA," jelas Acha, kembali mengingatkan pertaruhan yang dia lontarkan dan dia sendiri yang kalah.

Devid mengangguk lalu memakai jas hujannya. "Sekarang bebannya makin nambah, gak?"

Wajah Acha memerah. Apakah Bram menceritakan tentang niatnya ke puncak? Ah, sialan memang. Acha hanya diam, enggan menjawab dan menghabiskan kue miliknya. Hingga, tetesan air langit benar-benar turun. Jadi, perjalanan mereka akan semakin banyak rintangan? Jalur yang licin, belum lagi beban di belakang punggung, tentunya Devid sekarang tepat di belakang tubuh Acha, ia siap menahan. Jika, sewaktu-waktu hilang keseimbangan.

Guyuran dari langit menjadi saksi lagi. Saksi perjuangan mereka sampai puncak sebenarnya, untungnya tidak ada kabut tebal yang menghalangi pandangan. Mendekati camp sunrise, jalur pendakian sudah landai dan terpampang area lapang yang biasa dijadikan tempat camp. Area ini merupakan tempat favorit dan sesuai namanya, menjadi spot terbaik menyaksikan matahari terbit.

Akhirnya, mereka berhasil tepat hujan berhenti. Di mana seperti perkiraan memakan waktu 2-3 jam sampai puncak dan berhasil tepat pukul sebelas menjelang siang. Mereka berada di puncak sekarang, menyaksikan deretan gunung. Namun, sayang karena selesai hujan kabut menghalangi pesonanya.

"Besok pasti keliatan semua deretan gunung di sana," ucap Devid, tatapannya masih mengagumi pemandangan di depan.

"Semoga, sekarang diirin tenda aja?"

Devid melirik Acha yang sama menatapnya, menunggu jawaban. Tanpa ragu, tangan kanan Devid terulur, menghapus setitik air hujan yang menggenang di pelupuk mata Acha. Rasanya, semua seolah imajinasi saja, Acha diam terpaku, degup jantungnya sudah tidak karuan lagi, sampai sebuah senyuman terukir indah dari bibir yang di hari-hari lalu, hanya bisa kaku terdiam.

Ya ampunnn, rasanya uwaa kebayang bangettt.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang