104. Bahagia Itu Sederhana

92 22 11
                                    

"Sederhana dan hanya kita yang bisa merasakan bahagia itu di setiap harinya."

Tidak tanggung-tanggung. Toh, Devid dan Acha memang telah halal. Postingan mengabadikan momen ijab kabul dan dengan mesranya Devid mincium kening Acha sudah beredar. Menjadi bahan obrolan, anak MAPALA, pula teman satu kuliah yang tidak disadari sering memperhatikan kedekatan mereka. Dinda dan Sinta pun angkat bicara, mereka bukan lagi marah, memaki tidak percaya. Mengingat keduanya sudah memiliki calon untuk anaknya. Namun, siapa sangka? Jika pun dipaksa cerai, itu takkan pernah terjadi.

Kepergian Devid dari rumah membuat Dinda berpikir ulang, memilih memusuhi anaknya karena berkhianat atau menerima maaf. Tidak mungkin, Dinda tidak akan menerima maaf anaknya itu. Maka, di hari itu pula Devid dan Acha pindah ke sebuah apartemen yang masih berada di kawasan kampus keduanya. Jadi, tidak ada perubahan. Bram mengetahui kabar pernikahan yang  membuatnya terkejut. Harapan bersama Acha sudah pupus, apa yang bisa ia lakukan selain memberikan ucapan selamat! Ibunya pula tahu, lalu hanya ditanggapi dengan senyuman miris.

Semua perabot rumah tangga tanpa diminta Chandra sudah memesan ke salah satu toko. Begitu pula janjinya, satu unit mobil diberikan atas nama Acha Sastro Marisa. Kebahagiaan di awal rumah tangga, sungguh tidak pernah terpikirkan oleh mereka. Melihat keadaan apartemen yang biasa, seperti memiliki dua kamar, ruang tamu mungil yang menyatu dengan ruang televisi. Tidak lupa dapur cantik dan kamar mandi. Balkon pun menjadi tempat favorit mereka, ada dua bangku kayu sebagai tempat istirahat dan menghirup udara malam dalam-dalam.

Terbiasa hidup sendiri di dalam kosan, Acha pun mengikuti alur kehidupannya dengan senang apalagi sekarang ada Devid di setiap waktunya. Tuhan benar-benar menjanjikan kebahagiaan di akhir, dengan gampang Acha diterima sebagai penjaga perpustakaan di salah satu SMP Jakarta. Tidak ada banyak syarat, mengingat pengetahuan Acha memang sudah mampu menjadi kepala perpustakaan. Di lain tempat, panggilan manggung selalu datang untuk Devid seorang. Semenjak kabar pernikahan sederhana dengan Acha, ia pun memutus kontrak dan Grilna tidak lagi menjadi manajernya.

Sudah dipastikan dari awal, Devid penyebab banyak orang menggemari Double D di mana paras sempurna dan cara memainkan gitarnya. Jadi, di saat berpisah dengan Devita masih aman saja. Namun, tanpa diminta tiba-tiba Devita selalu ingin manggung dengannya lagi.

"Lo jangan gitu dong, Dev, gua tau lo lebih diminati, tapi lo harus inget siapa yang ngajak manggung awalnya!"

Devita mengungkit masa lalu, mau bagaimana lagi? Devid hanya mengangguk saja, tapi tanpa Grilna yang mengatur acara. Mengetahui jawaban Devid, Acha pun tidak bisa melarang, memang nyatanya demikian. Sampai kadang pula, jadwal manggung mereka pulang tengah malam, terpaksa Devita menginap di apartemen mereka.

"Cha, enaknya kita buat anak berapa, ya?" tanya Devid, mereka sedang menonton sinetron Indonesia tepat salah satu tokohnya membopong anak kecil karena menangis.

Acha mendongak, menatap langsung Devid yang menanti jawaban. "Satu aja, jangan banyak-banyak!" ketusnya.

Devid menarik gemas hidung Acha, secepat mungkin Acha berusaha melepas. Namun, akhirnya berhasil membuat hidungnya sakit karena tarikan. Devid tertawa, lalu berkata, "Gua pengennya dua, lima, enam juga gak papalah!"

Ngomongnya lancar amat, ya, gak mikir gimana ke depannya. Acha menegakkan tubuh yang tadinya tiduran di paha Devid yang menyandar ke sofa.

"Gila, ngomong kek jalan tol!" Ekspresi Acha memang sangat berlebihan membalas ucapan Devid, tetapi itu adalah hal yang membuat Devid tanpa henti menggoda istrinya.

"Maunya berapa? Masa satu, nanti anak kita kesepian, kasian. Jangan disuruh ngejomlo!" balas Devid, seraya memainkan ikal rambut Acha yang tergerai.

Acha menyandarkan kepalanya di bahu lelaki yang hanya memakai kaus oblong berwarna abu. "Kita kan nikah muda, satu aja cukup. Nanti, kalo udah cukup umur baru nambah satu lagi," jelas Acha.

Acha memang sudah menunda kehamilan semenjak awal pernikahan. Tidak terasa, sudah lima bulan mereka menjalani hari-hari menyenangkan. Tanpa bulan madu karena dengan senangnya Tuhan memberikan pekerjaan full time bagi mereka. Jadi, sekaranglah sudah siap menciptakan seorang malaikat kecil di apartemen mungil itu.

"Ah, terserah pokoknya gua pengen lima! Pasti seru." Bayangan akan celotehan anak kecil mulai Devid rangkai di otaknya, lagi-lagi Acha bersungut lalu menabok paha Devid.

"Anjir, Mama muda jangan marah-marah loh ...." Tangannya siap menggelitiki pinggang Acha yang menjadi titik lemah. "Nanti kek kunti, mau?"

Acha mendelik sebal. "Kek kunti dari mana jalannya? Mimpi, ya?"

"Gua gak mimpi, cuma mau ngasih saran ... buat anak lima aja, udah cukup, kok!" balas Devid, sambil mengerucutkan bibirnya mendekati wajah Acha yang ditekuk.

Secepat kilat, Acha beranjak lalu pergi begitu saja ke kamar mereka. Devid terbahak. "Anjay, kode buat anak!!" serunya.

Acha yang berjalan santai menuju kamar menahan frustrasi. Devid selalu saja membuatnya mengukir senyum kecil. Walaupun tertahan karena menahan ego. Detik berikutnya, tubuh tinggi itu sudah mendekap tubuh Acha seperti memeluk guling. Tawa mereka pecah, kala Acha menghindar dengan cara menginjak jempol kaki Devid lalu terlepas dari kungkungan.

Lagi, seperti malam yang lalu mereka lalui saling kejar-kejaran di dalam kamar yang didekorasi monokrom kesukaan Devid. Potret pernikahan mereka pula menempel erat di dinding kamar, menciptakan kesan bahwa dunia hanya milik mereka berdua. Berhasil menangkap Acha dalam dekapan kembali, Devid segera membawa istri bocilnya itu ke atas ranjang.

Apalagi? Mereka saling menggelitiki tanpa henti. Acha yang berada di bawah dan kalah hanya bisa pasrah. Air matanya suda banjir menahan tawa. Begitulah setiap malam, tawa kebersamaan sebelum seorang malaikat kecil hadir di dalam perut Acha. Melupakan dahulu orang-orang yang tidak mengharap pernikahan mereka. Sampai, kabar mereka bahagia terdengar oleh Reina. Di mana, ia sendiri tidak percaya akan hadirnya Devid kembali.

Orang yag disukainya waktu SMA dan berakhir kala ramalan di sebuah pameran. Mengingat ibunya yang semakin parah akan sakit yang diderita, ajakan Mahendra untuk hidup bersama dengan Sinta. Sekarang dipertimbangkan, ia rindu akan sosok Devid yang dulu humoris. Apakah sekarang masih sama? Reina mengharap itu semua. Hingga, ia meminta nomor ponsel Acha, ingin bertanya kebenaran yang diberitakan.

"Pokoknya pengen anak lima."

"Satu!"

"Lima, Sayang ...."

"Satu, Kucrut ...."

"Sepuluh, ajalah!"

Tabokan telapak tangan mungil Acha mendarat di pelipis laki-laki yang enggan melepaskan pelukan.

"Tidur, besok masih harus kerja!" titah Acha, lalu merapatkan pelukan, menghirup dalam-dalam aroma lelakinya.

Devid menggigit penuh perasaan kening Acha. Itu kebiasaan yang aneh memang, tetapi Acha menganggapnya ketololan manusia yang tadinya sahabat menjadi suami teromantis di antara lelaki lain.

"Besok cuti, ah! Biar bisa buat anak!"

Acha tidak peduli, tetapi masih merasakan gigitan mungil Devid di keningnya. Sampai, senyap tidak bersuara lagi. Kebahagiaan yang sederhana. Harapan mereka berdua yang diucapkan dalam hati, adalah ingin seperti itu setiap malamnya sampai maut memisahkan. Lagi-lagi maut, menjadi patokan takut terpisahkan.

Reina! Apakah kalian mengingat cewek itu? 😨

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang