23. Sebuah Awal

334 41 0
                                    

"Terdengar mengagumkan di luaran. Namun, semua hanya cap kepopuleran, bukan fakta menakjubkan."

Gerbang SMA Garuda telah dipenuhi ribuan siswa yang akan mendaftarkan diri, berbagai aksesoris memenuhi kelompok gadis berlipstik merah merona. Sesekali mereka saling bertingkah seolah memancing Devid agar mendekat.

Acha yang menyadari tingkah mereka meliriknya jijik. Seragam mereka sangatlah ketat, sedangkan Acha masih dengan kebiasaannya menyukai baju longgar. Kebetulan daftar gelombang satu ini hanya ditemani Dinda saja, karena Sinta masih dengan pekerjaan super sibuk.

Jika Acha bersama Sinta. Sudahlah, mereka bagai es batu walaupun ibu dan anak. Kadang, Acha ingin sekali ditemani, tetapi kadang pula mood-nya tiba-tiba ambyar begitu saja. Mengingat Sinta lebih protektif dalam menaggapi tingkah anaknya. Jika berada di dekatnya.

Seperti waktu pembagian rapot akhir pelajaran kelas delapan. Sinta menyempatkan diri memasuki kelas Acha yang terkenal kebersihannya dan nyaman, tetapi Sinta menunjukkan bahwa bangku di sana tidak harusnya masih digunakan siswa, apalagi anak satu-satunya.

"Harusnya, guru di sini melihat bagaimana dan takutnya mereka tak nyaman. Percuma saya membayar mahal, kalo akhirnya bangku saja tak enak diduduki!" ketus Sinta setelah mengambil rapot Acha.

Semua pasang mata orang tua murid di kelas hanya bisa menghela napas panjang. Cirinya sudah terbiasa mendapati orang tua yang tak biasa mendengar ungkapan anaknya. Jika, iya, pastinya tahu sebenarnya. Bahwa Acha tak menjadi bodoh karena permasalahan bangku, buktinya Acha tetap nomor satu.

Dinda mendapati nomor dari seorang siswa yang menjabat sebagai anggota OSIS atau penanggung jawab masa pendaftaran. Devid memberikan senyuman kecil kepada beberapa orang yang menatapnya damba, Acha menghela napas kasar, tak mendapati orang yang ia cari.

"Kita dapet urutan seratus lima ama enam. Padahal ... baru jam sepuluh pagi, udah banyak, ya," jelas Dinda seraya keluar dari antrian.

"Berarti emang SMA favorit, Tan, aku batu tahu loh," komentar Acha.

Devid masih menjaili gadis-gadis di antrian dengan mengedipkan mata manja andalan. Tak menghiraukan obrolan mamanya dan Acha.

"Mungkin. Tante, kan, orang Jakarta jadinya gak tahu. Mama kamu, gak ngomong apa-apa? Lagian, kan, asli sini?"

Acha mendengkus. "Terlalu sibuk dengan pekerjaan, gak ada waktu, Tan," balas Acha.

Mereka menaiki anak tangga menuju ruang pendaftaran kelas. Disambut oleh orang yang dicari Acha dan salah satunya sempat dibenci pula.

"Tunggu aja, nanti juga mama kamu sadar," ujar Dinda lalu diangguki Acha.

"Siang, Bu, Dek .... Urutan ke berapa?" tanya seorang lelaki berjas hitam dengan nametag Alex Andrian.

Seketika, Acha bagai tersiram lelehan aspal panas. Membatu tidak jadi, dingin tapi panas, pokoknya serba salah. Dinda menyerahkan dua lembar kertas yang bertuliskan keterangan nama siswa dan nomor urut.

"Anaknya kembar, ya, Bu?" tanya gadis cantik di samping Alex. Isabella.

Dinda terkikik menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Bukan, ini anaknya sahabat saya," jawab Dinda sambil mengelus pelan tangan Acha.

Acha yang masih terpaku akan pesona Alex di depan tak menghiraukan. Ia fokus, alis tebal itu terasa tegas akan kejantanan. Hidungnya tak terlalu bagai seluncuran anak TK tapi masih bisa dibilang mancung ke luar bukan ke dalam.

Devid menangkap basah Acha. Sudah pasti orang di depannya adalah ketua OSIS Garuda, dengan sengaja Devid menyikut siku Acha.

"Awas, nanti ilernya keluar," bisik Devid.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang