166. Tetap Grogi atau Digas?

52 10 3
                                    

"Tak banyak perubahan. Sifatnya masih tetap sama, si pemancing tawa."

Ribuan kursi tamu berjejer rapi, mempersilakan para tamu undangan yang datang duduk manis siap menyaksikan detik-detik ijab kabul yang akan Bram lontarkan. Ternyata bukan kalangan biasa latar belakang Anya, beberapa saudara dekatnya adalah orang berada, kecuali keluarganya yang sangat terlihat sederhana.

Dari keluarga Bram juga terlihat hanya beberapa orang yang datang dan Acha mengenal orang-orang itu. Mereka yang tak terlalu mengharapkan Acha hadir dalam kehidupan, mereka yang menyindirnya terang-terangan bahwa Bram tak sepantasnya menunggu dan berharap kepada seorang janda.

Namun, rasa sakit hati yang dirasa sudah hilang terganti cepat oleh kehadiran Devid kembali ke dalam kehidupannya. Lihatlah! Jemari manisnya tak lagi teranggurkan, sekarang digenggam erat oleh lelakinya. Dari samping, hidung tegak Devid sangat nyata, ingin sekali ia mencubit hidung itu.

Tatapan mata bak elang itu menatap balik Acha. "Cieee, naksir ama gua, ya?"

"Udah lama kali!" sungut Acha seraya mengalihkan pandangannya, menyapu hiasan pernikahan yang nampak elegan menghiasi gedung berlantai tiga.

"Sejak kapan, sih? Kok, gua lupa, ya?" goda Devid memancing reaksi Acha.

Bukannya menjawab Acha malah menarik Devid agar segera duduk di salah satu kursi paling depan. Bukannya ingin menatap jelas Bram dan Anya nanti, tetapi ingin memperlihatkan kepada semua keluarga Bram juga beberapa teman Anya yang menganggap bahwa suaminya sudah meninggal! Padahal Devid masih hidup!

Devid tidak menolak, mereka berdua tepat berhadapan dengan kursi ijab kabul yang akan digelar. Suara sound system bergema, memberitahukan bahwa mempelai pria sudah siap dari balik ruangan lain. Di ruang terpisah, Anya menatap pantulan penampilannya di depan cermin. Sungguh menakjubkan! Tubuh rampingnya terbalut indah gaun putih berlambang suci.

Rambut sepunggung yang sedikit pirang tergerai indah, sebuah mahkota kecil menghiasi puncak kepalanya. Beberapa bunga mungil bertaburan acak di helai rambutnya, sangat indah! Lebih indah lagi Anya sudah membayangkan reaksi Acha nantinya. Anya memang tidak mengundang perempuan itu, tetapi Bram yang meminta langsung kepada Acha untuk datang.

"Lebih cantik gua kali, kalo Bram tetep milih Si Janda mungkin matanya udah buta?" gumam Anya seraya mengelus tangan mulusnya yang telanjang.

Dari ambang pintu ibunya datang tergesa, bola matanya terbelalak takjub dengan penampilan anaknya. "Kamu cantik banget! Pasti para tamu banyak yang muji!"

Anya berbalik. "Dari bayinya juga udah cantik, ih!" protesnya.

Tidak lama, acara siap dimulai Bram sudah duduk tegang di depan penghulu dan ayah Anya yang akan menjadi ayahnya juga. Sebelum mengempaskan bokongnya, Bram mencari-cari keberadaan orang yang ia harapkan datang. Dipastikan Acha akan bersembunyi, tak sudi menatap jelas ijab kabul yang sama sekali bukan yang Bram inginkan.

Setelah memastikan bola matanya tidak menangkap tubuh mungil Acha di barisan belakang, Bram mengembuskan napasnya kasar terpaksa berjalan kaku dan duduk di tempat saksi bisu pernikahannya. Tak mampu menatap deretan tamu undangan yang kebanyakan kenalan dari keluarga Anya, Bram hanya mampu memainkan jemarinya. Menunduk dalam sambil mengatur napas.

"Dia gak sadar kita duduk di sini," bisik Devid.

Acha mengangguk. "Gak papa, kita kasih kesempatan biar gak belibet waktu ijabnya."

Tangan Devid memainkan sehelai rambut Acha yang sengaja dilepas dari jepitan, menahan rambut lainnya. "Ditinggal sepuluh tahun, belajar dari siapa bales dendam ke orang lain?"

"Bales dendam? Siapa juga, ih! Gua cuma mau buktiin gua bukan janda dan lo gak mati di negeri orang!" oceh Acha.

Percakapan keduanya terhenti kala sosok Anya dengan gaun putihnya keluar, ditemani ibunya dan salah satu sepupunya. Beberapa tamu undangan mulai saling berbisik, menilai penampilan Anya yang sangat terlihat cantik, sedangkan Devid diam-diam mengintai gerak-gerik Acha.

"Lo lebih cantik dari dia, kok," ucap Devid membesarkan hati Acha yang sempat membatin, apakah wajahnya sudah mulai menua? Nampak tua? Tidak menarik lagi?

"Itu, sih, kata elo!" ketus Acha, mood-nya tiba-tiba buruk.

"Kok, ngambek? Salah apa gua, ih?"

Acha mendelik sebal. "Bisa diem, gak? Jadilah tamu undangan yang dipersilakan hanya menonton saja!" tegasnya.

Devid tidak peduli dengan ucapan Acha barusan. Ditariknya jemari Acha menuju bibirnya, diciumnya mesra lalu Devid mendapati tatapan tajam penuh emosi milik sang istri.

"Kenapa jadi ngambek, sih?"

Acha terdiam, ia juga bingung kenapa dia jadi aneh? Bukankah niat awal menghadiri pernikahan Bram hanya untuk memamerkan kehadiran Devid yang kembali? Mengartikan Bram harus mundur dan terpaksa mencintai Anya, bukan? Entahlah, Acha memilih menyandarkan kepalanya di dada bidang Devid.

Sampai suara penghulu bergema menanyakan kesiapan Bram untuk melangsungkan inti dari acara. Yaitu ijab kabul yang sakral, Anya sudah duduk manis di samping calon suaminya. Suasana dan dekorasi benar-benar harapan Anya. Paling ia syukuri Bram tak lama akan menjadi miliknya. Kecuali hati lelaki itu, terbukti dari tatapan matanya masih belum sepenuhnya yakin akan menikahkan Anya.

"Bagaimana sodara, Bram? Sudah siap?" tanya penghulu.

Bram mengangguk kaku. "S—saya sudah siap," gagapnya.

Anya menoleh takut, tadi tatapan matanya juga tidak tinggal diam. Mencoba mencari sosok Acha yang mungkin duduk di barisan belakang. Tidak mungkin janda tak tahu diri itu duduk di depan apalagi tanpa pasangan! Juga apakah tidak malu berhadapan dengan keluarga Bram?

Pikiran Anya yang mulai ketakutan akan tingkah Bram teralihkan oleh suara ayahnya. "Bram, kamu serius, kan?"

"Dengan duduk di hadapan penghulu kayak gini, Ayah masih ragu? Itu pertanyaan konyol," geram Anya, mencoba mengatur volume suaranya agar tidak didengar para tamu undangan.

Namun, Devid berhasil menangkap ucapan Anya di sana. Apakah ada masalah? Atau sebaiknya Devid dan Acha membiarkan Bram melihat kenyataan dan memaksa dirinya menikahi Anya lalu melupakan Acha? Sebelum idenya menunggu persetujuan dari Acha, suara penghulu kembali terdengar.

"Baiklah, acara akan kami tunda sepuluh menit lagi. Maaf sebelumnya, mempelai pria mungkin grogi, katanya ingin mengatur celana mungkin, ya, di kamar mandi," jelas sang penghulu dicampuri guyonan.

Devid memang seharusnya menyadarkan Bram detik ini juga. Ia dengan cepat menegakkan bahu Acha agar tidak bersandar di dadanya. Acha mendongak bingung dan tak mampu menghentikan tubuh lelakinya yang berdiri tegak di antara tamu undangan yang duduk rapi, lalu  Devid mulai beraksi.

"Yaelah ... groginya ditunda aja kali, kalo udah malem pertama aja baru digas! Gak ada groginya!"

Hening.

Semua tamu undangan, keluarga dari kedua pengantin juga calon pengantin di depan langsung menatap terkejut kehadiran Devid dan lelucon yang ia lontarkan! Seketika keheningan terganti dengan gelak tawa, banyak lemparan guyonan lainnya agar acara ijab kabul cepat dilaksankan. Beda hal dengan Bram, wajahnya mulai memucat, sedangkan orang lain? Tak tahu Devid! Tak tahu cerita panjang lelaki itu!

"Aduh ... bisa aja, nih. Gimana sodara Bram? Mau tetep grogi apa digas, nih?" tanya penghulu.

Bram bingung ia terlanjur berdiri dari duduknya, lalu tidak lama suara Devid kembali terdengar.

"Cepet, Bram! Perut gua udah bunyi minta diisi makan! Jangan nunggu bini gua ngajak keluar beli bakso, ya!"

Acha tak percaya dengan apa yang Devid lakukan! Terpaksa Bram menanggapi protesan Devid kembali duduk, siap mengucapkan ikrar pernikahan. Mengartikan, bahwa Anya akan menjadi istrinya! Sedangkan Anya baru sadar bahwa lelaki yang menghentikan Bram untuk menunda ijab kabul, adalah Devid. Devid suami Acha.

"Gak salah, dia mirip banget sama anaknya," batin Anya.

Note : Maaf, ya, hari ini sampai sabtu mungkin aku update malem sama cuma sebab. Soalnya jadwal tatap muka sesi 2 minggu ini, mohon maklum ya :)

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang