44. Jatah

296 43 6
                                    

"Gua gak sesuci yang lo pikirin. Tapi, seenggaknya, gua jaga semua adegan spesial cuma buat lo seorang."

Devid

Halaman rumah Yogi telah dipenuhi orang-orang dari blok B dengan ramai. Semua penghuni menyalami kepergian, Dinda sudah menangis dari tadi yang tak terima pula harus terpisahkan dengan Decha, bayi mungil dengan lesung pipi yang dalam. Celotehannya terdengar, terbaring di roda bayi berwarna biru langit, tak lupa mainan plastik di tangannya.

Devid terlihat membantu mengangkut beberapa barang ke dalam mobil boks, termasuk para suami yang bergotong-royong mengangkut barang berat, seperti lemari dan ranjang besi. Tak sampai dua mobil, semua barang telah terangkut. Sampai bersih, tak tersisa di dalam rumah. Bertepatan kumandang Azan Maghrib. Membuat mereka harus melepas selamanya kepergian Yogi dan keluarganya.

Acha tergesa-gesa setelah memberikan ongkos, lalu memasuki rumahnya, berjalan cepat ke lantai atas untuk mengganti baju seragamnya dengan baju santai. Sampai di bawah, ia langsung menghampiri orang yang akan pergi.

"Tante ... Om ... Decha ...," rengek Acha, sudut matanya mulai berair.

Yogi mencengkram bahu Acha. "Neng, jaga diri di sini, ya, semoga kepergian kami. Gak buat berubah, meskipun Kota Bandung kelihatan ramah, ada beberapa orang yang jahat mengincar diam-diam," pesan Yogi.

Acha seolah mendengar nasihat seorang ayah yang selalu ada untuk anaknya dan nyatanya, tak pernah terasa. Ia mengangguk cepat, air matanya sudah membasahi pipinya. Tak bisa menahan haru, baru kemarin ia menangisi pertengkaran dan kini harus kembali menangisi kepergian.

Nia menyeka air matanya perlahan. "Tante bakal tunggu, Neng Acha mampir ke Garut lagi, ya, biar Decha gak kehilangan," ucap Nia.

Devid sudah berada di antara orang yang dicintainya. "Jangan nangis, dong, kita fotbar, ya?"

Tubuh Acha bergetar, mulai merasakan kembali kehilangan seseorang, dengan cepat dipeluknya erat oleh Nia. Dinda menyandarkan kepalanya ke bahu Devid, sedangkan Sinta tak terlihat batang hidungnya.

Setelah mengabadikan momen terakhirnya, tetangga mulai kembali bersalaman. Semua telah usai. Berakhir memisahkan. Kepergian keluarga Yogi seakan menjadi hampa dan sepi. Sekarang, halaman rumahnya tak dipadati orang-orang dan barang.

Tinggal Acha, Devid dan Dinda yang tinggal. Tiba-tiba Pak Wawan sudah berada di hadapan mereka, tangannya menggenggam kunci rumah yang sekarang kosong.

"Beginilah kehidupan. Datang dan pergi, jadi kalo saya itu, orangnya jangan mencintai sesuatu dengan dalam. Susah! Cintailah, Tuhan ...," jelasnya dengan senyuman.

"Maksudnya apa, Pak?" tanya Acha.

"Ya, gitu. Saya gak suka mencintai, takutnya kehilangan, pergi dan nangis, hehehe."

Acha dan Devid saling berpandangan. "Bapak gak bakal nangis, nanti juga ada yang menggantikan, om Yogi! Gitu, 'kan?" tanya Devid.

Pak Wawan menelan ludahnya kasar. "Ya ... itulah kehidupan, datang dan pergi!" ulang Pak Wawan lalu pamit pulang.

Setelah mobil hitamnya menghilang. Acha bergumam, "Siapa yang ngegantiin, ya? Jangan bilang anak bawel! Gua gak suka."

Devid menimpal, "Nanti, kalo anak kecil yang datang, gua suruh jadi alarm bangun pagi tau rasa, hahaha!"

Acha menatapnya tajam. "Gua mah kagak peduli, Kucrut!" ketus Acha.

Dinda hanya geleng-geleng kepala, ia pun pergi begitu saja. Dirasa sudah menjauh, Acha memantapkan diri untuk melayangkan pertanyaan yang ia baca dari pesan yang masuk, Reina kembali mengingatkannya.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang