62. Taklukan UI

185 30 12
                                    

"Semua akan terasa gampang. Jika, kita berani berusaha dan ada tujuan tertentu yang seolah menyemangati dari jauh. Padahal, tak tahu entah di mana, wujud aslinya."

Acha

Acha membeli nasi goreng untuk makan malamnya. Memilih dibungkus saja karena tak mau lagi ada acara kambing congek seperti tadi, hanya seharga lima belas ribu semua bisa terjaungkau. Selesai membayar mereka pun berjalan pergi, perut Ardila tentunya sudah kenyang. Bagaimana tidak? Makan dibumbui rasa cinta bagaikan double makan. Berbunga-bunga penuh ceria. Ah, Acha tak memiliki itu semua.

"Sorry, ya gua jadi gak enak." Ardila menatap Acha yang sudah tertawa sumbang. "Kok, ketawa, sih!"

"Kirain lo gak merasa bersalah!" balas Acha.

"Ya ... gimana lagi cowok gua emang gitu, haha."

"Kalian pacaran udah lama?"

Ardila mengangguk. "Iya, waktu seharusnya masih di bangku kelas dua SMA ini malah kerja."

"Oh, sorry gua gak maksud ngungkit masa lalu." Acha menatap raut wajah Ardila yang berubah, mungkin dia sedikit kecewa.

"Gak masalah. Oh, ya tadi cowok di depan lo ngapain diem mulu?"

Sudah dipastikan, pertanyaan Ardila tertuju kepada lelaki yang Acha tabrak tadi. Oh, ya bagaimana ia menjelaskan? Sebelum Acha angkat bicara, Ardila sudah berbicara lagi.

"Ganteng, tuh! Pinter amat ya dapet yang kek gitu," puji Ardila tak menyangka, belum juga sehari di Jakarta udah dapat gandengan, pikirnya.

"Dih, apaan gua gak kenal!" ketus Acha sewot. Di depan gerbang kosan terlihat menjulang tinggi, dengan cat hitam.

"Halah ... pertahanin aja, Cha ganteng juga!" goda Ardila seraya menyenggol bahu Acha. Namun, Acha tak mempermasalahkan mereka telah tiba di tikungan jalan, di mana Acha naik tangga dan Ardila belok kiri masih di lantai bawah.

"Gua kagak kenal, dih ...." Sambil memutar bola matanya kesal, sedangkan Ardila terus tertawa sampai mereka terpisahkan.

Ruangan mungil yang masih belum diberikan pewangi itu sekarang adalah kamar Acha. Miliknya sendiri dan bebas beraksi. Namun, semua kebahagiaannya telah direnggut oleh Devid. Acha menepis bayangan itu lagi, di mana tatapan terakhir diberikan. Kebingungan. Tentu saja karena lelaki itu baru bangkit dari kubur mungkin sedikit lingkung? Ah, entahlah Acha sudah lapar ia pun segera menuangkan nasi goreng masih mengepulkan asap harum.

Suara kendaraan di malam hari menjadi teman. Bising knalpot dan sirine polisi juga pengantar tidur. Selesai membereskan alat makan, Acha membuka ponselnya ada beberapa pesan dari Sinta menanyakan persetujuan bahwa ia akan membeli sebuah TV untuk Acha. Secepat mungkin, Acha membalas tidak, untuk apa? Jika, ingin menonton film bukannya ada internet sekarang? Tinggal cari saja di laptop atau ponsel. Dasar memang, orangtua aneh, pikirnya.

Sebelum meringkuk bergelung bersama selimut. Acha memastikan semua keperluaran pendaftaran kuliah sudah dipastikan aman. Jangan lupakan pula, besok adalah hari pertama pengintaian ia berharap semua akan terlaksanakan sesuai jadwal. Setelah dirasa aman, kembali membaringkan tubuhnya di sebuah kasur hanya untuk satu orang saja. Andai, ada ranjang besar seperti di kamar terdahulu. Namun, Acha harus tahu sekarang kehidupan yang beda bukan menentukan enaknya di mana.

Rasa lelah membuat tubuhnya langsung teristirahatkan. Lupa dengan segala masalah, tertidur pulas. Walaupun di luar bising kendaraaan takkan pernah berhenti barang sejenak. Lantunan ayat suci di seberang kamar pula tak lagi terdengar, semua penghuni kos-kosan sudah menjumpai alam mimpi, bersiap hari esok yang dinanti. Dari luar, tepat masjid berada tak lagi tertinggal orang di sana. Semua sudah keluar menapaki jalan aspal, memutup pintunya lalu mengucap salam.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang