"Butuh pelukan dari seseorang yang diharapkan datang, bukan tangis pilu anak kecil yang merasa bersalah menyakiti hati ibunya."
Hari sabtu yang cerah, tetapi tidak dengan keadaan hati Acha selalu sama seperti hari-hari biasa, semenjak kehilangan Devid untuk ketiga kalinya. Rasa hampa adalah jawabannya. Demi meyakinkan pertanyaan sang buah hati yang tak lelahnya mengulang pertanyaan sama. Tentang apakah Acha baik-baik saja? Apakah ibunya banyak pikiran karena mengajar anak SMP yang mulai bandel di kelas?
Untuk menutup pertanyaan itu, sengaja Acha mengajak Devit ke tempat permainan anak yang ada di dalam mall. Devit mendapat teman dengan cepat, mereka berlari ke sana kemari sampai lupa waktu. Bagi Acha sudah cukup mengobati rasa penuh salahnya, ia sangat sulit menjaga rahasia bahwa ayah Devit sebenarnya hilang entah ke mana.
Beruntung para orang tua ataupun teman Devit tak banyak menyinggung kebenarannya bagaimana. Masih berada di tempat permainan, Acha melirik ponselnya. Sebuah undangan berbentuk video sudah Arga bagikan. Ternyata dia akan menikah dengan mahasiswinya sendiri. Seperti yang dulu selalu diinginkan, saat diam-diam Arga menyukai Acha.
"Suka berharap banget, mahasiswi dinikahi dosennya sendiri. Lucu, gak?"
Acha mengangguk terpaksa. "Lucu, Pak."
Sekarang keinginan Arga tercapai juga dan Acha sama sekali tidak kenal dengan mahasiswi itu. Dipastikan usinya baru menginjak 20 tahun. Besok adalah hari pernikahannya, siapa yang akan menggandeng tangan Acha nanti? Ia tersenyum kecil, ada jemari mungil buah hatinya. Nanti, Acha akan mengubah bocah itu dengan balutan jas hitam, tidak lupa dasi kupu-kupu putih.
Langkah Devit mendekat, tersenyum senang menghampiri Acha. Keringat memenuhi dahi putihnya. Segera Acha menarik sebuah tisu dari dalam tas kecilnya. "Kayak seru banget, siapa nama temen kamu itu?"
Devit duduk di samping Acha, mengembuskan napas kasar. "Gak tau, Devit gak nanya," balasnya, dengan tatapan polos anak kecil.
Acha gemas melihat ekspresinya, lalu menjawil kedua pipinya. "Harusnya kenalan, dong!"
"Hehe, ke mana, ya." Devit mencari-cari teman barunya tadi, tetapi bocah bermata sipit itu sudah hilang dari pandangan.
"Udah pulang mungkin. Kita makan siang, yuk!" ajak Acha, seraya menarik Devit untuk berdiri.
Mereka pun berjalan pergi, menjauhi tempat permainan mencari tempat makan. Menghabiskan waktu makan berdua, tidak lupa menyempatkan untuk salat duhur di musala. Setelahnya, Acha memilih kado pernikahan untuk esok hari. Mengetahui calon mempelai wanitanya behijab, ia membeli setelan baju syar'i juga kerudungnya.
Ternyata tipe Arga jauh dari dugaan. Acha kira akan sama dengannya, yang hanya memakai setelan biasa tanpa make up tebal menghiasi. Nyatanya benar-benar memberikan kejutan dan Acha bersyukur. Semoga saja dengan Arga yang menikah bersama perempuan salihah, dapat melupakannya dengan gampang. Karena walaupun sudah tersebar kabar mereka akan menikah, Arga selalu menghubungi Acha di waktu yang tak tepat.
Seperti di waktu jam tidur, alasannya selalu tak nyambung dan Acha memilih mematikan ponselnya daripada menimbulkan fitnah. Saat Acha sedang melihat-lihat deretan kemeja putih polos, tangan Devit menarik bajunya.
"Ada apa?"
Tangan kiri Devit menunjuk-nunjuk ke arah lain. "Om Bram, Ma! Ada di sana tadi!"
Acha tergagap, "O—oh, ya, gak papa. Kamu tetep sama mama, jangan ke sana ok?"
Devit merajuk, "Ya ... Devit 'kan udah lama gak ketemu, terakhir waktu jenguk sakit 'kan, Ma?"
Ah, ya, Acha memang mencoba menghindar dari Bram semenjak hari itu. Sudah terhitung satu minggu lamanya. Devit manyun tak suka, lalu ia berlarian menjauhi Acha. Menyadarkan bahwa keadaan tidak baik-baik saja, dengan cepat Acha mengejarnya. Namun, terhenti kala sosok Anya masuk dari pintu depan dibuntuti Bram.
![](https://img.wattpad.com/cover/225183986-288-k554922.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEGI EMPAT 3 [END]
Teen FictionPINDAH KE DREAME Rank 19-08-21 #1 Devid #1 Indomembaca #2 Bestseller #2 Akudandia #4 Trend (Series 1 & 2 Di Dreame 16+) Follow sebelum baca, ya, guyss. Kepergiannya hanya meninggalkan jejak seorang anak. Janjinya menemani hilang begitu saja, berlal...