158. Tak Sepenuhnya Sama

24 5 0
                                    

"Tersiksa saat bibir ini hampir menceritakan luka. Walaupun awalnya, berniat membahas cerita bahagia."

Sepulangnya Devit ke apartemen, Acha langsung menyambutnya dengan ciuman di puncak kepala dalam. Devit tahu, ibunya itu sudah mengurung diri di rumah selama dua hari. Ia juga tahu, dengan berita Bram yang berhasil move on dari ibunya, dengan cara melamar perempuan lain. Siapa yang merasa tidak kehilangan? Ya, walaupun Acha mencoba ikhlas dan tidak memaki ke mana perasaan Bram sebenarnya?

Bukankah lelaki itu hanya mencintainya? Sulit mempertahankan rasa cinta selama sepuluh tahun lamanya! Sekarang, tanpa memberitahukan kabar luka itu, semua ungkapan mendamba. Mengharap membalas rasa yang Bram miliki. sudah pupus dengan kenyataan, bahwa lelaki itu pendusta! Buktinya meninggalkan Acha di detik-detik sama ingin menyerah menantikan Devid.

"Lancar sekolahnya?"

Devit mengangguk. "Ya gitu, ada aja pengganggu!"

Acha mengulum senyum, dielusnya bahu Devit sayang. "Kamu gak kayak papa kamu, Dev."

"Cerita dong, Ma, ya?" harap Devit, mencoba mengembalikan mood baik ibunya juga.

Mungkin akan sedikit mengobati luka merindu? Mengenang semua cerita masa lalu, Devit rela menghabiskan waktu hanya untuk menertawakan kelakuan papanya yang belum pernah ia gapai. Mendengar permintaan anaknya, Acha berpikir terlebih dahulu tidak ada salahnya bukan? Perlahan juga pasti Devit akan mengenal siapa papa sebenarnya.

Mereka berdua duduk di depan televisi yang tidak menyala. Secepat kilat Devit melempar ranselnya ke sofa lain, lalu mulai menyelipkan kedua tangannya di pinggang Acha. Kebiasaan yang membuat Acha merasa tenang dipeluk dari belakang oleh anaknya. Tidak lupa Devit menyerukkan kepalanya di bahu Acha. Sudah siap mendengar cerita bahagia bukan luka.

"Orangnya jail banget, suka mancing kerumunan buat ketawa. Dulu, mama emang gak satu kelas di SMA tapi banyak yang laporan, kalo papa kamu gak sekolah kelas berasa jadi kuburan," jelas Acha, kedua matanya menatap jauh ke depan. Mengintai gedung-gedung pencakar langit di luar sana.

"Tapi, papa kamu suka nyempetin dateng ke kelas mama. ngajak mabar, seketika kelas unggulan ribut karena banyak penggemar papa kamu yang datang!" Acha semakin menyandarkan tubuhnya ke belakang. "Dia selalu membuka kedua tangan untuk menampung senyum manis, tingkah genit semua siswi yang kecentilan!"

Devit tersenyum geli. "Playboy berarti, ya?" tanyanya diakhiri tawa.

"Ya, seperti itu. Dia juga selalu ada buat mama. Sampai, perjanjian diantara kita membuat mama benci sama dia, Dev, padahal mama yang membuat semuanya kacau."

"Janji apa?"

Tubuh Acha menegang, tak seharusnya ia membahas luka masa lalu yang pasti akan memanjang sampai menuju kecelakaan, hilang ingatan, terakhir hilang dalam kecelakaan pesawat terbang. Jadi, Acha memilih melepas paksa pelukan Devit. Berjalan lurus menuju balkon, tempat untuknya menyendiri. Menitikkan air mata sepuasnya.

Masih duduk di depan televisi, Devit pun menyambar ranselnya masuk ke dalam kamar. Mengurung diri dan menyalakan komputernya. Masuk ke beberapa akun sosial medianya. Sampai mendapat pesan dari Gita. Gadis yang akhir-akhir ini selalu memenuhi layar komputer atau ponselnya. Gadis yang enggan menghabiskan waktu, membahas lelucon dari Devit. Juga gadis yang beda dari yang lain, tak pernah menganggap Devit sangat istimewa di matanya.

"Semua manusia itu sama di mata Tuhan! jadi, jangan berharap gua kayak mereka tergila-gila gak jelas sama lo!"

Ok, Devit tidak keberatan. Toh, ia juga tidak gila akan pujian dan diagungkan oleh penghuni sekolah. Karena tujuannya dari rumah adalah untuk belajar, bukan mengharap digilai oleh perempuan. Setelah membalas  ucapan terima kasih dari Gita yang disematkan pula, bahwa sebenarnya ucapan tersebut sangat terpaksa! Bukan dari lubuk hati terdalam Gita sebenarnya.

Devit
Terus gua keliatan peduli?

Gita
Tauk! BODOAMAT

Percakapan menjelang malam itu berakhir, kala kumandang azan magrib terdengar. Gita juga sudah banyak dikenal orang rajin pergi ke masjid bersama ibunya. Mengikuti kajian islam. Sekelebat ide membuat Devit menahan senyum. Tatapannya mencari-cari sebuah kubah bulat di luar sana, sangat jauh dan mungkin perlu mengendarai motor?

Devit pun segera pergi untuk mengambil wudu. Seorang ayah yang seharusnya mengajari dari kecil pergi salat berjamaah ke masjid, tidak dapat ia rasakan. Acha yang mengurusnya malah meminta jadi seorang imam di rumah. Apakah setelah Devit sadar kewajibannya sebagai lelaki pergi ke masjid akan Acha izinkan? Selesai memakai sarung dipadukan baju putih lengan panjang, terlihat juga Acha segera memakai mukenanya,

Takbir dan salam. Zikir diakhiri doa penuh air mata. Devit mencium punggung tangan Acha, seraya berkata, "Devit mau keluar, Ma. Mungkin sampai jam sembilan."

"Mau ngapain? Bukannya besok masih harus sekolah?"

Devit menegakkan tubuhnya. "Ada, deh, pokoknya! Tenang, Devit gak bakal kemalaman, kok."

Acha mengizinkan. Toh, tidak salah juga anaknya keluar untuk menghirup udara malam bukan? Selesai membungkus tubuhnya dengan jaket kulit berwarna hitam. Devit segera menyambar kunci motornya di atas nakas, lalu mencium kedua pipi Acha yang sedang menunduk membaca kitab suci. Pintu apartemen tertutup pelan, meninggalkan rasa sunyi yang harus ditelan paksa. Bahwa anaknya itu, tak bisa dipaksa untuk diam mendampingi Acha setiap waktunya.

Devit masuk ke dalam lift, saat pintunya terbuka sepasang suami istri sudah menunggu untuk naik ke lantai atas. Devit melempar senyum, lalu berjalan cepat menuju parkiran. Menyalakan motornya, menerjang angin dingin di malam selasa ini. Setiap pergi ke sekolah, Devit tahu ia selalu melewati sebuah masjid besar yang megah. Untuk pertama kalinya ia menepi di depan sana dan terkejut pula, bahwa di samping masjid terisi penuh muslim. Di sampingnya terdapat gereja yang sama megahnya.

Beberapa jemaah mulai masuk satu per satu ke dalam masjid, tidak terasa waktu kumandang azan isya akan terdengar dalam sepuluh menit lagi. Devit melepas helmnya. Menatap takjud dua bangunan dengan kepercayaan yang berbeda. Namun, tetap aman dan tentram. Langkahnya menuju pintu masuk, mengikuti papan petunjuk tempat wudu khusus pria. Ia segera mengambil air wudu. Lalu dengan canggung masuk ke dalam masjid.

"Assalamualaikum," salamnya terlalu pelan.

"Waalaikumsalam," jawab seorang pria diperkirakan berumur lima puluh tahun. Berdiri di samping sebuah kotak amal.

Devit melempar senyum. Bukan untuk pertama kalinya ia melangkahkan kaki ke dalam sebuah masjid. Karena selama duduk di bangku SMP ia mulai membiasakan diri salat berjamaah di saf paling depan di masjid SMP nya sendiri. Tangannya meraba saku celana, merasakan sebuah dompet bersembunyi di sana. Tanpa berpikir ulang, Devit mendekati kotak amal yang sudah ditinggalkan jemaah tadi ke depan.

Selembar uang berwarna hijau dikeluarkan, lalu dilipat dan masuk ke lubang kotak amal. Terasa desiran halus di dadanya, ia pun segera berjalan menuju saf kedua. Di mana saf pertama sudah penuh diisi jemaah yang kebanyakan sudah tua. Kumandang azan berlangsung khidmat. Tidak lama, imam mulai takbir. Tepat di samping kiri Devit tetap kosong sampai satu rakaat dilalui.

Hingga di rakaat kedua, seorang pria datang terlambat. Setelan bajunya nampak rapi, memakai baju ala orang arab berwarna putih bersih. Devit dapat melihat jelas wajah berseri pria itu di sampingnya yang masih khusyuk salat karena tertinggal, sedangkan Devit masih berzikir sampai pria di sampingnya mengucap salam. Beberapa jemaah mulai saling menjabat tangan, Devit mengikuti dan terasa lengannya disentuh dari samping kiri.

"Pak," sapa Devit seraya menjabat kedua tangan pria di samping kirinya.

Pria itu memandangnya dengan kerutan di dahi. "Kayaknya, saya pernah liat kamu, deh, tapi di mana, ya?"

Devit tersenyum kecil. "Pasti anaknya sekolah di SMP Pancasila juga, terus diem-diem nyuri foto candid gua, terus bapaknya liat di galeri anaknya," tebak Devit membatin. "Mungkin, anak bapak satu SMP sama saya?"

"SMP Pancasia, kan?"

Tuh, 'kan siapa sih yang tidak mengenal Devit?

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang