113. Menantikan Devid Junior

104 18 4
                                    

"Menunggu malaikat kecil yang dinantikan sejak lama, percaya di waktu yang telah ditentukan, pasti persalinan akan lancar."

Usia kandungan Acha semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Persiapan akan masa persalinan pula disiapkan dengan matang. Termasuk keranjang bayi dan peralatan lainnya. Mereka memutuskan agar bayi yang akan lahir nanti tidak berpisah dari mereka. Biasa, korban film Acha takut di saat anaknya tertidur sendirian di kamar khusus, sedangkan mereka berdua terlelap tidur tiba-tiba kepulan asap hitam, pertanda makhluk gaib bisa saja datang membawa pergi anaknya. Mendengar ketakutan Acha, Devid sampai beberapa kali menahan ingin menabok wajah polos istrinya.

Namun, usia kandungannya belum genap sembilan bulan. Jadi, mereka tetap konsultasi kepada dokter kandungan. Termasuk hari ini. Meskipun Devid ada beberapa jadwal manggung, tetapi ia sempatkan mengantar Acha mengecek bayinya yang dipastikan senang diperhatikan. Senandung lagu pop terdengar, membuat tidur nyenyak Devid terganggu. Sebelumnya waktu Solat Subuh ia tunaikan, tetapi setelahnya kembali tertidur pulas. Mengingat akhir-akhir ini Acha sulit tidur, terasa menahan beban yang berat katanya.

Jadi, dengan senang Devid selalu menemani istrinya. Entah menghabiskan waktu mengemil atau memilih nonton film. Yang paling tidak menyenangkan itu, kala Acha memilih sinetron Indonesia. Ujung-ujungnya memancing emosi, memaki, lalu menangis di pelukannya. Ada sedikit prasangka, kebanyakan nonton genre seperti itu bisa saja, anaknya nanti kena impasnya. Ah, diusahakan Devid sedikit demi sedikit melanggar Acha terus menonton.

Langkahnya dengan malas keluar dari kamar. Ruang televisi sudah berisik dengan siaran berita harian, sedangkan di ujung dapur Acha sedang sibuk dengan sayur sup. Namun, tidak dengan bibir mungil dan telinganya. Terselip ponsel di sana, sedang bicara dengan siapa? Devid duduk di meja makan, sesekali menguap dengan lebar. Tidak lama Acha berbalik, masih fokus mendengarkan suara seseorang di seberang telepon.

"Sore, ya, gua tunggu," putus Acha, seraya mematikan ponselnya.

Melihat Devid dengan wajah bertanya-tanya, Acha pun segera menuangkan sup daging sapi ke dalam mangkuk ukuran besar, lalu menyimpannya di atas meja makan.

"Ibu Reina meninggal."

"Kapan? Kita langsung ke Bali sekarang?"

Acha menggeleng lemah. Ia menceritakan kabar yang tidak diinginkan itu. Kata Reina, ibunya sudah lama mengidap diabetes dan hanya dirawat di rumah saja. Bukannya tidak mampu membawa ke rumah sakit. Di sinilah titik penyesalan, Mahendra telah memberikan transfer uang ke rekeningnya, tetapi dengan cepat Reina menghabiskan uang itu untuk berpoya-poya tidak mempedulikan keadaan ibunya yang semakin parah. Sampai, hutang menumpuk karena Reina merasa tidak puas atas uang yang diberikan ayahnya.

Alasannya untuk ibunya berobat, ia lakukan meminjam kepada rentenir. Sampai, kematian ibunya pula tidak langsung diketahui Mahendra. Reina takut, mengingat tidak ada jejak bahwa dirinya merawat ibunya sampai  masuk rumah sakit. Namun, apa pun motifnya mau ditutup rapat pun sebuah bangkai akan tercium pada waktunya. Seminggu kemudian Mahendra mengetahui kabar tidak diharapkan itu dari salah satu temannya yang ada di Bali. Hari itu pula, Mahendra datang memberikan ribuan tanya, tetapi Reina tidak menjawabnya.

Ajakan Sinta agar tinggal bersama Reina tolak. Seperti Acha, ia takkan bisa hidup damai meskipun di rumah sendiri. Karena ada satu manusia yang tidak diinginkan. Jika, Reina tidak menyukai Sinta, maka Acha sendiri tidak menyukai Mahendra. Seminggu berlalu, para rentenir mulai berdatangan ke rumah peninggalan sang ibu. Reina tertekan sampai hampir memilih bunuh diri. Mengingat ia tidak memiliki tujuan harus ke mana lagi. Jawabannya adalah sementara tinggal di apartemen Acha, hanya beberapa bulan saja, pintanya.

"Gak masalah, tapi gua tanya lu gak papa nampung dia?"

Pertanyaan Devid sulit dijawab. Mengingat kembali, bhawa Reina menyukai Devid. Namun, tidak mungkin juga, bukan? Sudah tahu dia sekarang suami Acha, apalagi sangat bisa dilihat oleh mata telanjang, bahwa Acha siap melahirkan anak mereka berdua. Jadi, mau bagaimana lagi? Setelah sarapan menyenangkan telah dilalui, seperti biasa Devid menggantikan tugas Acha, seperti menjemur pakaian dan merapikan ruangan.

Pagi pun beranjak pergi, tergantikan siang di mana Acha ingin konsultasi ke dokter kandungan. Devid pun mengiyakan, toh sekarang sudah awal bulan di mana akan genap Acha hamil sembilan bulan. Tidak lagi mengendari motor tentunya, sekarang Devid melajukan mobilnya dengan penuh kasih sayang, melihat Acha tersenyum lembut sambil mengelus-elus perut buncitnya. Wajah mungil Acha pula terlihat menggemaskan sekarang, mungkin memang sudah biasa bagi perempuan hamil?

Sesampainya di klinik dokter kandungan, Devid memapah Acha dengan romantisnya. Melewati beberapa antrian orang tua yang menunggu panggilan dari suster di sana. Kliniknya tidak kecil, megah seperti rumah sakit biasa. Mereka pun segera menuju ruangan yang sudah dihapal kapan dokternya bisa didatangi dan kapan tidak bisa didatangi. Ketukam pintu menjadi awal pertemuan, hingga perut besar Acha sudah dipasang alat deteksi janin di dalam.

"Alhamdulillah terlihat baik-baik saja," ucap dokter Riska dengan senang, sambil menggerakkan alat pendeteksi di atas perut Acha.

Melihat wujud bayinya di layar monitor, Acha tersenyum bahagia, nanti akan terlahir bayi mungil di pangkuannya. Setelah selesai dideteksi, Acha dan Devid duduk manis menghadap dokter Riska yang sedang menuliskan beberapa resep agar persalinan nanti lancar.

"Kira-kira kapan, ya, Dok, lahirnya?" tanya Devid, jawabannya sangat ia nantikan tidak sabar.

Dokter Riska mendongak lalu tersenyum hangat. "Perkiraannya minggu depan atau minggu ke tiga. Karena sekarang baru awal minggu dalam bulan ini," jelasnya.

Devid tersenyum bahagia seraya mengelus pelan bahu Acha. "Yang harus dihindari apa aja, Dok? Soalnya Istri saya ini rewel, mau ke mana-mana."

Acha menyikut Devid tidak suka, lalu dokter Riska menjawab, "Jangan banyak pikiran, apalagi tekanan saya takut terjadi kontraksi di mana si bayi belum saatnya lahir. Jadi, saya ingatkan kembali perbanyak istirahat dan bisa juga, Pak Devid membawa Bu Acha jalan-jalan biar nambah bahagia."

"Ahh, siap, dong! Nanti saya ajak keliling dunia kalo perlu."

"Ya, kali keburu berojol di negeri orang!" timpal Acha, lalu menabok kepala Devid dengan gemas.

Telunjuk Devid menodong Acha. "Tuh, Dok, Istri saya gak ada romantisnya, masa depan Dokter main tabok aja."

"Yang penting gak ditendang, ya, gak, Bu?"

Acha bertepuk tangan merasa menang. "Betul!"

Setelahnya, mereka memutuskan pulang, mengingat sore nanti Reina akan datang. Sebelum pulang, tidak lupa Acha mengingatkan stok makanan yang tersisa dan mereka pun pergi berbelanja. Masih dengan tangan siap siaga, Devid menggiring Acha masuk ke dalam toko bahan makanan, membawa beberapa mie instan dan bumbu khusus untuk makan malam nanti. Sesampainya di apartemen, baru juga Acha menghempaskan tubuh lelahnya ke sofa, sedangkan Devid siap membawa air minum untuknya, suara denting lonceng terdengar menggema.

Acha sendiri yang meminta untuk membuka pintu karena dipastikan yang datang adalah Reina, lalu Devid sendiri memilih membawa air minum untuk Acha. Benar saja, di saat tangan Acha menarik pintu, sosok yang dulu terkenal dengan rambut pendek yang terikat ke belakang, jarang memakai rok pendek, sekarang berubah drastis. Reina yang dikenalnya hilang entah ke mana. Namun, tidak dengan wajah cerianya.

"Acha!" seru Reina, tidak percaya perempuan di depannya dengan perut besar menyambut kedatangannya.

Acha mematung, ia barusan mendengar suara Reina, tapi apakah itu benar-benar temannya? Dengan penampilan yang tidak pernah terpikirkan!

Kek, apa ya penampilan Reina?

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang