43. Pertanyaan

249 39 0
                                    

"Didiamkan, terasa mengganjal. Ditanyakan, tetapi kepada siapa? Membingungkan padahal belum jadian."

Sekembalinya Acha dan Alex, semua anggota OSIS telah menanti untuk pembukaan acara pentas seni. Dikarenakan jadwal yang harus dirubah mendadak, maka hari Senin ini tidak banyak peserta yang ditampilkan.

Devid masih dengan rahang mengerasnya, ia memasuki kantin tanpa Acha yang biasanya menemani. Sampai duduk di pojokan, Haris pula datang dengan tiga kawannya.

"Nyantai di belakang, Bro?" Haris tak gampang menyerah untuk menyeret juniornya masuk ke tim, apalagi Devid sudah terkenal sebagai mostwanted akan gampang menuju generasi ke depan.

Devid mendongak, menyimpan kembali ponselnya ke saku baju. "Gua di sini aja," tolak Devid sehalus mungkin.

Haris terkikik. "Elo mau ngikut jejak si Cupu, hah? Sok ngartis!" ketus Haris menyamakan Devid dengan Alex.

"Cupu? Gua bukan termasuk, cuma jaga body, gak lebih," jelas Devid, mengingat kebiasaan gank Moge hanya merokok, main kartu, ugal-ugalan, dan paling parah hingga mabuk kelimpungan.

Lagi-lagi, Haris terkikik. "Body? Lu bisa liat sendiri, Dev, tubuh gua kagak kerempeng," ucapnya berbisik, "walaupun sering ngisap!"

Devid bangkit dari duduknya. Tak salah lagi, berbincangan  di antara Haris memancing beberapa pasang mata untuk menyaksikan langsung tawar-menawarnya dengan ketua Moge.

"Gua beda," putus Devid seraya bangkit, berjalan menjauhi.

"Cabut! Semester ini gak berhasil, masih ada taun selanjutnya!" maki Haris lalu berjalan menuju antrean di depan.

Langkah Devid lebar. Telinganya masih merasakan panas yang menjalar sampai kepalanya, ia rasakan emosi terpendam lalu berbelok menuju persembunyian.

Di dalam bilik toilet, Devid terdiam, merasakan cairan merah mengalir perlahan. Wajahnya ditundukkan, agar semua lelahnya juga cepat mudar. Tiba-tiba, kerongkongannya gatal, menandakan sesuatu ingin keluar.

"Ukh! Ukh!" Devid terbatuk dengan napas memburu, kepalanya seakan berputar-putar. Tak bisa didiamkan lebih lama, Devid harus memberi tahu Aryo secepatnya.

***

Bel pulang sekolah berbunyi. Devid mendapati anggota OSIS pula sudah berbenah. Namun, pandangannya tak menemukan Acha di sana. Mungkinkah masih bersama Alex? Pikirnya. Sampai di parkiran, tangannya lemas hanya memutar kunci motor saja. Kakinya mulai keram, dengan cepat dihirupnya udara panjang.

Suara cekikikan Nada terdengar, membuat Devid refleks menaiki motornya cepat. Hingga teriakan mantannya sudah berdengung, membuat kepala Devid harus kembali berputar-putar. Sepanjang perjalanan, wajahnya semakin memucat. Bayangan di depan pun memburam.

"Akh!" pekik Devid sambil mengernyit menahan sakit.

Namun, Tuhan masih memberinya kekuatan, hingga kini motornya telah terparkir di halaman rumah Aryo. Secepat mungkin Devid mengetuk pintunya, tetapi dibuka oleh Sarah—istri Aryo yang dipenuhi polesan make up dengan ketebalan tak biasa.

"Devid? Ayo, masuk." Sarah mempersilakannya seperti biasa.

Devid melangkah, tetapi tiba-tiba hilang keseimbangan membuat Sarah terpekik memanggil suaminya. Aryo pun mengangkat tubuh Devid yang sudah tersungkur ke lantai, tak terlalu berat lalu ke ruangan khusus pasien, dengan cepat semua alat yang dibutuhkan telah siap memeriksanya.

Dalam dua puluh menit, Devid terbaring lemah karena pingsan. Saat matanya terbuka lebar, didapatinya Dinda dengan menggenggam tangannya erat. Sebelumnya, ia mendapati panggilan dari sahabatnya, membuat Dinda terpaksa meninggalkan Yogi dan Nia berbenah.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang